Saya tergelitik untuk mem-posting beberapa foto demo yang terjadi selama peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei kemarin. Dan seperti biasa, tiap kegiatan aksi massa terpusat di titik Nol Kilometer. Demo buruh menyebabkan macet? Mmm..kalau melihat foto aksi para buruh yang full memenuhi jalan, pastinya Tugu Jogja hingga Jl. Maliboro kemarin macet. Hehehe….
Aksi Mayday di Jogja kemarin dipenuhi massa dari Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Persatuan Perlawanan Rakyat Indoensia (PPRI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serikat pembantu rumahtangga, Serikat Pekerja Carrefour Indonesia (SPCI), Kongres Aliansi Buruh Indonesia (Kasbi) dan beberapa alinasi buruh lainnya.
Isu yang digulirkan para buruh ~ mengutip reportase kawan saya Oleg ~ adalah rendahnya kesejahteraan buruh. Isu lain adalah penanganan buruh di DIJ yang sangat lemah terkait sistem kerja kontrak, outsourcing, pembarangusan serikat pekerja, ketiadaan jamsostek ataupun upah tidak sesuai dengan Upah Minimal Provinsi (UMP). Sedangkan di Taman Budaya Yogyakarta, Jaringan Masyarakat Peduli Buruh Yogyakarta memberi anugerah pada serikat kerja berprestasi.
Isu sama yang bergulir tiap tahunnya. Sayangnya tetap saja tidak didengarkan oleh pemerintah.
Isu ini juga makin diperdebatkan dalam ruang jejaring sosial seperti Facebook. Saya mem-posting sebuah status hari ini di FB saya sekitar pukul 11.00 WIB: “selamat hari buruh! naikkan gaji buruh, turunkan gaji presiden, anggota dpr, menteri dan direktur bumn!! ~ saya juga buruh ~”
Status saya mendapat respon dari empat orang dan ‘dijempoli’ enam orang yang jadi teman saya di FB. Di antara pemberi komentar di status saya, ada yang kawan saya yang berkomentar : “Kalau mau naik gaji ya harus naik kelas jadi pengusaha dong…hehehe”.
Teman saya yang mengomentari saya, seorang peneliti politik, juga memposting sebuah ide di FB-nya: “Pemerintah hrsnya mewajibkan pd tiap2 perusahaan utk menjadikan hari buruh sebagai hari kemitraan buruh - pengusaha. Buatlah acara senang2, ada dangdutan, ada lomba2, ada donor darah, ada pemberian bea siswa kpd anak2 buruh, ada makan bersama,dll. Pokoknya kegiatan2 positif yg berkontribusi utk meningkatkan kemitraan buruh-pengusaha. Buruh senang, Pengusaha pun tenang...Selamat hari buruh!”
Salah satu alasannya adalah ketika demonstrasi buruh berakhir rusuh malah nantinya akan menjadikan para investor kabur. Ujung-ujungnya buruh yang rugi karena tidak punya pekerjaan. Sekilas alasan ini memang masuk akal.
Tapi kalau aku pikir-pikir ~ sekelebat saja sih ~ tidak adil nampaknya harus membebankan masalah investasi ke pundak buruh yang sudah merana. Pemerintah dalam hal ini kementerian tenaga kerja tetap tidak memiliki daya tawar di hadapan para kapitalis a.k.a pengusaha, untuk meningkatkan taraf kehidupan para buruh yang terus menerus diinjak. Artinya : tetap saja pemerintah loyo.
Ini menjadikan antagonime kelas antara kaum pekerja dan majikan, mau tidak mau, masih relevan untuk diperdebatkan.
Dan meski menjadi kelompok mayoritas dalam Negara ini, dan juga di Negara-negara yang lain, nasib buruh tetap tidak lebih baik. Piramida sosial menunjukkan buruh berada di paling bawah dalam strata sosial masyarakat. Sebagai dasar dari piramida maka jumlahnya paling banyak dan dengan kualitas diri yang inferior. Artinya mereka adalah kelompok yang paling mudah dieksploitasi oleh kelompok yang ada di atasnya. Ini juga menjadi salah satu pemicu munculnya gerakan marxisme agar tidak ada lagi kelas sosial.
Tentunya para buruh 'memberontak' terus menerus dieksploitasi. Lagi-lagi pertentangan antar kelas menjadi hal klasik yang akan terus berulang sampai kapanpun.
Aku gak tau apakah ideologi Marxis menjadi paham yang dianut oleh para buruh, terutama mereka yang rajin berdemo memperjuangkan nasib kita, aku dan kamu. Sebagian besar mungkin tidak peduli dengan sebutan ideologi diusung mereka ketika berdemo. Satu-satunya yang dipahami oleh mereka ~ dan aku ~ bahwa kesejahteraan harus jadi milik bersama, bukan milik para pengusaha apalagi para penguasa. Sedangkan para kapitalis, yang kini menjadi penjajah baru masyarakat dunia, tentu tidak mau hal ini terjadi.
Pemerintah, sebagai regulator dan punya kuasa lebih, lagi-lagi tetap tidak mampu berpijak pada mereka yang berada di lapisan terbawah piramida. Terkotak pada kebutuhan investasi, lagi-lagi buruh harus rela untuk dipinggirkan dan sedikit diinjak.
Siapa yang masih ingat kalimat ini?
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Foto-foto : Dadang A. Setyawan (Jogja Raya files)
Aksi Mayday di Jogja kemarin dipenuhi massa dari Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Persatuan Perlawanan Rakyat Indoensia (PPRI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serikat pembantu rumahtangga, Serikat Pekerja Carrefour Indonesia (SPCI), Kongres Aliansi Buruh Indonesia (Kasbi) dan beberapa alinasi buruh lainnya.
Isu yang digulirkan para buruh ~ mengutip reportase kawan saya Oleg ~ adalah rendahnya kesejahteraan buruh. Isu lain adalah penanganan buruh di DIJ yang sangat lemah terkait sistem kerja kontrak, outsourcing, pembarangusan serikat pekerja, ketiadaan jamsostek ataupun upah tidak sesuai dengan Upah Minimal Provinsi (UMP). Sedangkan di Taman Budaya Yogyakarta, Jaringan Masyarakat Peduli Buruh Yogyakarta memberi anugerah pada serikat kerja berprestasi.
Isu sama yang bergulir tiap tahunnya. Sayangnya tetap saja tidak didengarkan oleh pemerintah.
Isu ini juga makin diperdebatkan dalam ruang jejaring sosial seperti Facebook. Saya mem-posting sebuah status hari ini di FB saya sekitar pukul 11.00 WIB: “selamat hari buruh! naikkan gaji buruh, turunkan gaji presiden, anggota dpr, menteri dan direktur bumn!! ~ saya juga buruh ~”
Status saya mendapat respon dari empat orang dan ‘dijempoli’ enam orang yang jadi teman saya di FB. Di antara pemberi komentar di status saya, ada yang kawan saya yang berkomentar : “Kalau mau naik gaji ya harus naik kelas jadi pengusaha dong…hehehe”.
Teman saya yang mengomentari saya, seorang peneliti politik, juga memposting sebuah ide di FB-nya: “Pemerintah hrsnya mewajibkan pd tiap2 perusahaan utk menjadikan hari buruh sebagai hari kemitraan buruh - pengusaha. Buatlah acara senang2, ada dangdutan, ada lomba2, ada donor darah, ada pemberian bea siswa kpd anak2 buruh, ada makan bersama,dll. Pokoknya kegiatan2 positif yg berkontribusi utk meningkatkan kemitraan buruh-pengusaha. Buruh senang, Pengusaha pun tenang...Selamat hari buruh!”
Salah satu alasannya adalah ketika demonstrasi buruh berakhir rusuh malah nantinya akan menjadikan para investor kabur. Ujung-ujungnya buruh yang rugi karena tidak punya pekerjaan. Sekilas alasan ini memang masuk akal.
Tapi kalau aku pikir-pikir ~ sekelebat saja sih ~ tidak adil nampaknya harus membebankan masalah investasi ke pundak buruh yang sudah merana. Pemerintah dalam hal ini kementerian tenaga kerja tetap tidak memiliki daya tawar di hadapan para kapitalis a.k.a pengusaha, untuk meningkatkan taraf kehidupan para buruh yang terus menerus diinjak. Artinya : tetap saja pemerintah loyo.
Ini menjadikan antagonime kelas antara kaum pekerja dan majikan, mau tidak mau, masih relevan untuk diperdebatkan.
Dan meski menjadi kelompok mayoritas dalam Negara ini, dan juga di Negara-negara yang lain, nasib buruh tetap tidak lebih baik. Piramida sosial menunjukkan buruh berada di paling bawah dalam strata sosial masyarakat. Sebagai dasar dari piramida maka jumlahnya paling banyak dan dengan kualitas diri yang inferior. Artinya mereka adalah kelompok yang paling mudah dieksploitasi oleh kelompok yang ada di atasnya. Ini juga menjadi salah satu pemicu munculnya gerakan marxisme agar tidak ada lagi kelas sosial.
Tentunya para buruh 'memberontak' terus menerus dieksploitasi. Lagi-lagi pertentangan antar kelas menjadi hal klasik yang akan terus berulang sampai kapanpun.
Aku gak tau apakah ideologi Marxis menjadi paham yang dianut oleh para buruh, terutama mereka yang rajin berdemo memperjuangkan nasib kita, aku dan kamu. Sebagian besar mungkin tidak peduli dengan sebutan ideologi diusung mereka ketika berdemo. Satu-satunya yang dipahami oleh mereka ~ dan aku ~ bahwa kesejahteraan harus jadi milik bersama, bukan milik para pengusaha apalagi para penguasa. Sedangkan para kapitalis, yang kini menjadi penjajah baru masyarakat dunia, tentu tidak mau hal ini terjadi.
Pemerintah, sebagai regulator dan punya kuasa lebih, lagi-lagi tetap tidak mampu berpijak pada mereka yang berada di lapisan terbawah piramida. Terkotak pada kebutuhan investasi, lagi-lagi buruh harus rela untuk dipinggirkan dan sedikit diinjak.
Siapa yang masih ingat kalimat ini?
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Foto-foto : Dadang A. Setyawan (Jogja Raya files)
Comments