Skip to main content

Diam itu Emas

Ada sebuah ungkapan yang sangat terkenal hingga sekarang: "Diam itu Emas"

Sebuah sikap yang dipilih oleh mantan Presiden RI, Megawati Soekarnoputri. Namun bukan karena Megawati aku membuat catatan ini. Tentu saja bukan. Aku menulis karena aku mulai menyadari bahwa tampaknya aku bukan tipe orang yang bisa menyampaikan pendapat atau ide secara verbal. Beberapa kali, orang salah paham dengan sikap apalagi dengan pernyataanku. Kakakku adalah orang yang aku anggap sering menyalahpahami diriku ketika aku berpendapat.

Ibuku pun menyatakan aku orang yang tertutup. Sudah puluhan tahun aku tidak pernah sungguh-sungguh bicara mengenai hal yang penting. Salah satu yang penting adalah mengenai siapa lelaki yang aku idamkan, seperti apa pria yang telah memikat aku. Hmmm...no comment, coz she knows about me.

Sebenarnya aku bukannya tidak mau mengungkap apa yang ada di otakku. Cuma banyak pengalaman yang membuatku memilih untuk tidak buka suara kecuali untuk hal-hal bersifat umum dan netral. Untuk hal yang sifatnya sensitif, aku memang lebih memilih orang yang aku percaya.

Meski sudah mencoba memilih tema aman dalam diskusi, tetap saja kesalahpahaman terjadi. Yang paling gres adalah aku dicaci maki teman di lapangan gara-gara aku dituduh membobol berita. Kesepakatannya berita X itu ditulis buat esok hari. Pada kenyataannya, sblm kesepakatan itu aku sudah mendapat konfirmasi dan kulaporkan ke bosku. Tidak mungkin aku menarik lagi penugasan yang sudah berhasil aku kerjakan

Tapi disini, aku juga dilematis. Temanku kadung mencapku sok ekslusif terhadap berita-berita tertentu. Padahal itu cuma tiga kali, dua berita sebelumnya aku sampaikan secara terbuka di forum. Tapi toh aku tetap dicibir.

Aku pun berpikir, penting tidak untuk menyampaikan bahwa aku sudah mendapat konfirmasi. Aku memutuskan tidak. Karena toh nantinya mereka juga akan marah padaku. Yang tidak kuperhitungkan adalah mereka sangat murka teramat sangat hingga enggan untuk bertegur sapa. Mungkin karena anak baru, aku dianggap lancang untuk mendapatkan informasi lebih cepat.

Ah sudahlah.

Pada kenyataannya, dalam caci maki mereka, aku mencoba menjelaskan. Tapi karena terlalu marah, mungkin mereka enggan untuk mendengar atau membaca. Mungkin karena terlalu lelah dituduh macam-macam, aku pun enggan untuk menjelaskan panjang lebar.

Dan aku pun memilih diam dan tidak berkomentar. Bukan karena benci. Tapi aku makin mengerti ada beberapa orang untuk mengerti mengenai sikap dan bicaraku. Aku juga tidak mahir dalam bahasa verbal, cuek terhadap penilaian orang terhadapku. Kesalahpahaman juga beberapa kali dalam bahasa tulisan, ada yang menganggap ku sombong, sok serius dan sok pinter. Hahahahaahahha......

Apapun itu, aku sekarang memilih untuk tidak mau bicara banyak. Aku juga terpaksa tidak menyampaikan salam dari dsalah seorang kawanku - yang kebetulan lelaki - pada ibuku. Khawatir ibu akan salah paham mengenai pria itu.

Jadi aku memilih diam saja. Bukannya tidak inging berkisah dan tertawa bersama. Tapi dalam diam aku berharap tidak ada salah paham yang tercipta.
Karena toh, tidak semua orang paham dan mengerti sikap orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Dan tidak ada kewajiban orang untuk menyukai kita

It's a sweet present on my birthday this year. I am always remember.

Good night.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej