Kamis, 28/04/2011 09:33 WIB
Laporan dari Pulau Buru (1)
Pulau Buru Tak Lagi Menyeramkan
M Anis - detikNews
(Foto: M Anis)
Namlea - Brakk!! Suara jembatan apron KMP Temi menyentuh dermaga feri pelabuhan Namlea, ibukota Kabupaten Buru, Maluku. Feri yang juga mengangkut belasan kendaraan roda 4 itu tiba di pelabuhan tujuan setelah berlayar sekitar 9 jam dari Ambon. Jarum jam masih menunjuk angka 4 pagi. Pulau Buru masih gulita. Hanya tiga buah lampu di pelabuhan yang menyala. Pulau yang namanya terkesan menyeramkan itu telah berada di depan mata.
Pulau Buru memang punya masa lalu yang menyeramkan. Ini akibat pulau yang luasnya 11.117 Km2 itu pernah dijadikan lokasi penahanan bagi sekitar 12 ribu orang tahanan politik pada awal pemerintahan Soeharto. Tetapi kini Pulau Buru sudah berubah. Penempatan para tapol di Buru pada akhirnya malah meninggalkan berkah. Apalagi setelah pemerintah mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa sekitar tahun 1979 - 1980, maka Pulau Buru menjadi lumbung padi terbesar di Provinsi Maluku.
Para bekas tapol yang memilih menetap di Pulau Buru bersama para transmigran, hingga kini telah berhasil mencetak sawah beririgasi teknis seluas hampir 20 ribu hektar. "Penduduk asli Pulau Buru tidak ada satu pun yang punya keahlian sebagai petani. Karena itu saya berani memastikan, pertanian bisa berkembang di sini karena kedatangan orang-orang dari Pulau Jawa, entah dia sebagai tapol atau sebagai transmigran," kata Emil Salim Malaka, penduduk kota Namlea, Ibukota Kaupaten Buru.
Di pasar Namlea, beras hasil pertanian lokal melimpah dan dijual dengan harga murah. Meskipun beberapa pedagang masih menjual bahan makanan pokok tradisional yaitu papeda atau sagu dan singkong, tetapi pada umumnya masyarakat setiap hari sudah makan nasi. Papeda atau singkong rebus memang masih dimakan oleh sebagian penduduk, itu pun hanya untuk makan siang selain juga terhidang nasi.
Memang, di sekitar Kota Namlea yang berada di lembah dan menghadap lautan, sama sekali tidak nampak lahan pertanian kecuali lahan kosong ditumbuhi berbagai jenis tanaman liar termasuk kayu putih (Meialeuca leucadendra L). Bahkan hingga ke pedalaman sekitar 30 kilometer, tanah berbukit di kanan kiri jalan hanya berupa hutan. Tetapi begitu memasuki Desa Savana Jaya di Kecamatan Waeapo yang berjarak 40 kilometer dari Namlea, mulai tampak lahan menguning dengan padi yang siap dipanen, maupun lahan basah yang mulai ditanami bibit-bibit padi. Setelah itu, hingga ke wilayah Kecamatan Air Buaya, pemandangan tak ubahnya pedesaan di Pulau Jawa.
"Hasil pertanian di Kabupaten Buru makin tahun makin meningkat sehingga sektor pertanian melampaui sektor perikanan," kata Bupati Buru, Husnie Hentihu di rumah dinasnya hari Rabu (6/4/2011) dua pekan lalu. "Apalagi setelah Presiden SBY melakukan panen raya di sini Maret 2006, semangat penduduk untuk mencetak sawah makin terpacu sehingga setiap tahunnya tercetak sawah baru seluas seribu lima ratus hektar," kata Husnie bangga.
Antara tahun 1969 - 1971, ketika sekitar 12 ribu tahanan politik mulai ditempatkan di Pulau Buru, masih belum ada jalan beraspal di luar kota Namlea. Para tapol itu dibawa ke pedalaman dengan perahu melalui Sungai Waeapo, dan kemudian ditempatkan di barak-barak yang disebut unit, yang dibangun di tepi sungai. Mereka ditempatkan secara terpisah di 20 unit dengan jarak satu unit dengan unit lainnya sekitar 5 kilometer.
Sekarang, jalan beraspal mulus sudah menembus pedalaman Pulau Buru, menghubungkan unit satu dengan lainnya, bahkan hingga mencapai kota Namrole, ibukota Kabupaten Buru Selatan, dan terus ke pesisir selatan Pulau Buru yang menghadap ke Laut Banda. Jalanan selebar 4 meter yang menembus pedalaman dari Namlea itu, sayangnya, sempat dipersoalkan oleh para kontraktor di Kabupaten Buru bahkan juga di Ambon. Sebab proyek besar itu dikerjakan oleh kontraktor yang juga anggota DPR-RI bernama Sonny Waplau melalui beberapa perusahaannya antara lain Pt Multididya Tehnical, PT Tarawesi dan PT Equator.
"Pembangunan jalan hotmix itu adalah proyek multiyears. Tahun lalu nilainya Rp 200 miliar, tahun ini Rp 100 miliar. Lumayan besar, tapi kontraktor lokal sama sekali tidak ikut menikmati, meskipun Sonny Waplau asalnya juga dari Maluku," kata Amir Latuconsina, Ketua DPD Gapeknas (Gabungan Pelaksana Konstruksi) Provinsi Maluku. "Sonny Waplau adalah anggota Komisi 5 yang antara lain membidangi masalah perhubungan. Selain itu dia juga anggota Panitia Anggaran. Maka perlu dipertanyakan, bagaimana proyek hotmix ini hanya jatuh ke dia," tanya Lutfi Assegaf, Wakil Ketua DPD Gapensi Provinsi Maluku, di tempat terpisah, di Namlea, pekan lalu.
Terlepas dari proyek besar yang dipersoalkan kontraktor lokal itu, tetapi Pulau Buru memang terus memperbaiki diri. Pulau yang terdiri dari dua kabupeten yaitu Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan ini sekarang tidak terisolir lagi. Sejak tahun lalu, setiap malam secara bergantian dua buah kapal yaitu KMP Temi dan KM Elizabeth melayari Ambon - Namlea - Ambon. Sedang Cassa 220 berkapasitas 20 kursi yang dioperasikan PT Nusantara Buana Air setiap hari Kamis dan Jumat terbang dari Ambon - Namlea - Namrole - Ambon.
Pulau Buru adalah anugerah Tuhan. Di Dunia, hanya ada dua negara yang menghasilkan kayu putih, yaitu Indonesia dan Vietnam. Di Indonesia, tempat penghasil kayu putih itu tak lain adalah Pulau Buru. Di semua lahan kosong, hutan dan bukit-bukit yang ada di pulau ini, pohon kayu putih tumbuh liar sebagai semak belukar. Sebelumnya, selama bertahun-tahun pemanfatan kayu putih itu dimonopoli oleh seorang pengusaha. Tetapi sejak tahun lalu, beberapa warga termasuk seorang pemuda bernama Agil Buftan, 35 tahun, menangkap dan mengembangkan tanaman yang jadi ikon Pulau Buru ini.
Dengan mendidirkan badan usaha CV Elan Vital, Agil memiliki 4 ketel penyulingan dengan kapasitas produksi antara 2 sampai 2,5 ton/bulan, dan mempekerjakan sekitar 70 orang. "Delapan orang operator ketel berstatus pegawai tetap, sedang sisanya pegawai borongan yang tugasnya memetik daun-daun kayu putih di hutan. Sekilo daun kayu putih hasil petikan mereka saya beli Rp 400. Kalau setiap orang setiap harinya bisa memperoleh 100 sampai 140 kilo, hasil mereka termasuk lumayan untuk ukuran Namlea," kata Agil menjelaskan. Saat ini, lanjutnya, harga sekilo minyak kayu putih produksinya Rp 130 ribu/kilogram. "Saya akan meningkatkan kapasitas produksi, dan BRI telah setuju untuk memberi KUR kepada saya. Mudah-mudahan segera terealisasi," kata alumnus perguruan tinggi swasta di Malang, Jawa Timur ini.
Pertanian, kayu putih, sayur mayur, buah-buahan, adalah hasil tanah Pulau Buru yang tidak saja bisa dinikmati oleh penduduk pulau yang seluruhnya berjumlah sekitar 120.000 jiwa, tetapi juga dinikmati penduduk pulau-pulau sekitarnya termasuk penduduk ibukota Provinsi Maluku, Ambon. "Saya yakin, Pulau Buru terutama Kabupaten Buru akan terus berkembang untuk mengejar ketertinggalannya dari wilayah lain di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Persoalannya kan cuma satu, belum ada investor yang menanamkan modalnya di sini," kata Wakil Bupati Buru, Ramly Umasugi, hari Jumat (8/4/2011) lalu.
(asy/asy)
Laporan dari Pulau Buru (2)
Kayeli, Kota yang Hilang
M Anis – detikNews
Benteng VOC Kayeli (Foto: M Anis)
Jakarta - Dari pantai Namlea, ibukota Kabupaten Buru, Desa Kayeli kelihatan hanya sebesar titik putih di seberang lautan. Malam hari, desa yang masuk Kecamatan Waeapo itu berubah jadi seperti seekor kunang-kunang. Sinarnya timbul tenggelam dipermainkan ombak, lantas hilang di kegelapan.
Namlea dan Kayeli berada dalam satu garis pantai yang melingkari Teluk Namlea. Jalan pintas tercepat menuju desa itu dari Namlea hanya menggunakan perahu, menyeberangi Teluk Namlea dengan jarak tempuh sekitar 45 menit. Dengan kendaraan darat, waktu tempuhnya bisa empat jam melalui daratan dan pegunungan di pedalaman.
Kayeli adalah kota yang hilang. Sebelum tahun 1919, Kayeli menjadi ibukota Pulau Buru, yang luasnya 11.117 km2, dan sekarang wilayahnya meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Buru, dan Kabupaten Buru Selatan dengan ibukotanya di Namrole. Kabupaten Buru Selatan berasal dari pemekaran Kabupaten Buru, berdasar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2008.
Kejayaan Kayeli sebagai pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru ditandai dengan berdirinya sebuah benteng yang dibangun VOC tahun 1785. Benteng setinggi 2,5 meter itu masih berdiri tegar meskipun ditumbuhi semak belukar, melingkari areal seluas hampir satu hektar. Benteng ini dahulu adalah pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru, di bawah administrasi Provinsi Amboina dengan salah satu gubernurnya yang terkenal yaitu Gouverneur Bernadus Van Pleuren.
Karena musibah banjir besar yang meluap di sungai Waepo di pedalaman pada awal abad 19, Kayeli hancur total. Pemerintah Belanda kemudian memindahkan ibukota Pulau Buru ke Namlea. Pemindahan ibukota secara resmi ini terjadi pada 31 Agustus 1919, bertepatan dengan hari ulang tahun ke 39 Ratu Wilhelmina, yang lahir 31 Agustus 1880. Ratu Wilhelmina meninggal tanggal 28 November 1962 pada umur 82 tahun.
Saat masih dijajah Belanda, Kayeli dan daerah-daerah sekitarnya di Pulau Buru berada di bawah kekuasaan raja-raja bermarga Wael, Hentihu, Bessy dan Warhangan. Raja Kayeli sendiri bermarga Wael. Setelah kemerdekaan, kekuasaan para raja hanya menyangkut tanah ulayat dan menjaga kebudayaan. Meski kekuasaannya sebatas masalah budaya, tetapi sampai sekarang keturunan raja masih dihormati dan diakui oleh masyarakat setempat, terutama masyarakat asli yang tinggal di pedalaman.
Mochamad Fuad Wael, 59 tahun, adalah keturunan raja bermarga Wael yang kini menjadi pemimpin adat. Masyarakat Kayeli dan Namlea memanggilnya Papa Raja. Ditemui di rumahnya di Desa Kayeli, Papa Raja mengakui bahwa posisinya kini hanya sebatas pemangku adat. "Sebagai pemangku adat, saya sering diminta untuk menyelesaikan masalah yang timbul di masyarakat. Kalau ada persoalan, kita coba dahulu menyelesaikannya secara adat. Kalau secara adat tidak selesai, baru kita bawa ke hukum negara. Persoalan yang sering muncul biasanya menyangkut sengketa tanah," kata Papa Raja, putra Raja Ishak Bin Mansyur Wael, hari Kamis (7/4/2011) di rumahnya di Kayeli.
Ratusan hektar tanah di Pulau Buru yang sekarang ditempati para transmigran dan para bekas tahanan politik, dahulu adalah tanah milik Raja Wael. "Tahun 1954 ayah saya menghibahkannya kepada pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno. Tapi tahun 1968 - 1969 pemerintah Indonesia menjadikannya tempat tahanan bagi mereka yang dituduh komunis," cerita Fuad Wael. Tanah-tanah di Pulau Buru sebagian tidak bersertifikat, karena masih banyak yang statusnya tanah ulayat.
Kayeli kini menjadi desa mati. Bekas-bekas kejayaannya hanya ditandai dengan situs benteng VOC, dan sebuah meriam kecil berkarat yang dipasang di depan pintu gerbang kampung. Moncong meriam peninggalan VOC itu mengarah ke pantai.
Masuk ke desa melalui pintu gerbang, hanya beberapa anak kecil nampak bermain kejar-kejaran. Di seluruh desa hanya ada sebuah warung kecil yang menjual kebutuhan sehar-hari. Itu pun dengan dagangan yang tidak terlalu lengkap. Beberapa wanita berkerumun di depan warung, inilah satu-satunya keramaian yang ada di desa Kayeli.
Bentaran biji coklat yang dijemur penduduk hampir memenuhi jalan kampung, nyaris tak mengganggu karena memang tak ada lalu lintas kecuali orang berjalan kaki. Jumlah sepeda motor di desa ini bisa dihitung dengan jari, sedang kendaraan roda empat tidak ada sama sekali. Mata pencarian penduduk Kayeli, selain nelayan juga berkebun coklat.
"Desa Kayeli memang belum merdeka," kata Kepala Desa Kayeli, Muhammad Wael. Mengapa? "Karena sejak jaman penjajahan sampai sekarang ini kami penduduk Kayeli belum pernah menikmati listrik PLN," jawab Muhammad. Berpenduduk 181 KK atau 801 jiwa, hanya beberapa rumah di antara 167 rumah di Kayeli yang memiliki genset untuk pembangkit listrik sendiri. "Dari dulu petugas PLN sudah sering datang menyurvei, mengukur dan mendata, tetapi tidak pernah ada realisasinya. Jadi kami pasrah saja, karena kami memang belum merdeka," kata Muhammad sambil tertawa.
Abdul Jabar Wailusu, anggota Komisi C DPRD Kabupaten Buru ditemui terpisah, mengaku sedih juga melihat penduduk Desa Kayeli yang masih dalam kegelapan. "Bukan cuma Kayeli yang belum dijamah listrik PLN, tapi juga desa-desa pesisir sekitarnya seperti Desa Pela, Keyit, Walapia, Masarete dan Desa Kaki Air. Tahun lalu Komisi C berkunjung ke Kementerian ESDM, dan masalah perlunya penerangan untuk desa-desa pesisir itu kami ajukan. Tapi sampai sekarang belum ada respon. Kami juga sudah ke PLN Provinsi Maluku, hasilnya sama saja. Jadi saya cukup memaklumi apabila banyak penduduk Kayeli yang mengaku mereka belum merdeka," kata Abdul Jabar Wailusu ditemui di Namplea hari Kamis (7/4/2011) malam.
Berdiri di pelabuhan Namlea pekan lalu sebelum tengah malam, Desa Kayeli sudah hilang dari pandangan mata. Kunang-kunang yang berasal dari listrik rumah penduduk bergenset, sudah dipadamkan. Kayeli, kota masa silam, hilang di kegelapan.
(asy/asy)
Laporan dari Pulau Buru (3)
Cerita Pendek Dariyun
M Anis - detikNews
Patung Pelda Umar (Foto: M Anis)
Namlea - Sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan, di Desa Wanakarta, Kecamatan Waeapo. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila.
Patung ini bukan hanya untuk menghormati Pelda Panita Umar, tetapi lebih dari itu, patung ini ternyata juga sebagai catatan hitam. Begitu jasad Panita ditemukan tewas dengan tangan terputus, maka tanpa penyelidikan, hari itu juga segera saja 12 orang tahanan politik penghuni barak Unit 5 diciduk. Empat orang ditembak mati, sisanya berhasil melarikan diri, tetapi empat orang kemudian juga ditemukan mati di Namlea. Sedang sisanya lagi yang empat orang, berbulan-bulan kemudian baru ditangkap dan langsung dieksekusi.
Gugurnya Pelda Panita Umar menggetarkan sekitar 12 ribu tahanan politik yang menghuni 20 unit barak penampungan di Pulau Buru. Siapa pun bekas tapol yang saat ini masih hidup, pasti tergetar hatinya apabila ditanya tentang peristiwa itu. Karena perlakuan yang dialami oleh seluruh tapol akibat tewasnya Pelda Panita Umar dirasakan amat luar biasa. Sampai saat ini tidak pernah ada penyelidikan mendalam tentang kematian Pelda Panita Umar. Ia dinyatakan gugur saat menjalankan tugas, dan patungnya bisa dilihat oleh siapapun yang melintas di jalan raya penghubung Kabupaten Buru dengan Kabupaten Buru Selatan.
Dariyun Suwardi Saiin, 72 tahun, mantan tapol yang setelah dibebaskan lebih memilih tetap tinggal di Pulau Buru daripada pulang ke Cianjur, Jawa Barat, hanya menghela nafas panjang ketika disinggung kembali peristiwa terbunuhnya Penita Umar. "Sudahlah, saya kembali merasa sakit kalau mengingat apa yang diterima sebagian besar tahanan setelah peristiwa itu. Saya dan beberapa teman yang masih hidup di sini sudah melupakannya," kata Dariyun, yang sekarang tinggal di Desa Savana Jaya, Kecamatan Waeapo.
Dariyun lebih senang menatap masa depan di sisa usianya. Karena itulah, ketika bulan November 1979 sekitar 12 ribu tahanan dibebaskan, ia bersama 300 temannya memilih tetap tinggal di Pulau Buru. Sebab bersama para transmigran yang mulai didatangkan, para bekas tapol itu memperoleh 2,5 hektar tanah yang terdiri dari 1 hektar sawah, 1 hektar ladang ditambah 0,5 hektar pekarangan untuk mendirikan rumah. "Dari 300 orang yang memilih tetap di sini, lebih dari 50 orang telah meninggal," kata Dariyun hari Rabu (6/4/2011) petang.
Menikah kedua kalinya dengan Rininta di Pulau Buru, Dariyun yang bersama istrinya membuka warung makan sederhana dikaruniai 3 anak, masing-masing Astriani Saraswati, Diyanti Wulaningrum dan si bungsu Dimas Rangga yang masih berusia 7 tahun. "Merekalah masa depan saya. Kalau saya sendiri sudah hampir selesai," kata Dariyun sambil memeluk anak bungsunya, Dimas Rangga.
Rangga merengek. Ia minta dibuatkan mie rebus. Dariyun segera bangkit dan masuk ke warungnya. Tak lama kemudian ia keluar sambil membawa semangkuk mie rebus panas yang diserahkan kepada anaknya. Rangga segera melahapnya. "Tunggu sebentar, biar dingin dulu," kata Dariyun pada Rangga.
Saat menikah dengan Rininta tahun 1985, usia Dariyun 42 tahun, sedang istrinya berumur 22 tahun. Rininta putri Kapten Busono, intel Kodam Pattimura. "Waktu hendak menikah, saya banyak diprotes teman-teman ayahnya. Mengapa anak tentara dikawinkan dengan bekas tapol. Saya bilang, yang menjalani dan ayahnya saja tidak keberatan, kok orang lain yang protes. Memangnya kalau bekas tahanan politik juga tidak boleh menikah, tanya saya pada mereka," cerita Dariyun.
Sebenarnya waktu diciduk dari rumahnya tanggal 28 November 1965 oleh aparat Koramil Kecamatan Pacet, Cianjur, Dariyun sudah mempunyai istri dan seorang anak, Tavip Budiawan, yang saat itu masih berusia 1 tahun. "Tahun 1967 ketika saya masih ditahan di Kodim Cianjur, istri saya datang bersama seorang tentara. Ia minta saya menceraikannya karena mau kawin dengan tentara yang mengantarnya itu. Ya sudah, kalau sudah seperti itu buat apa dipertahankan," kata Dariyun.
Selama 4,5 tahun Dariyun ditahan di Kodim Cianjur. Kemudian dipindahkan ke Nusa Kambangan. Setelah 4 bulan di Nusa Kambangan, pertengahan 1970 dengan KRI Ujung Pandang Dariyun bersama tahanan-tahanan lainnya dibawa ke Pulau Buru. "Dari tahun 1970 sampai sekarang saya belum pernah meninggalkan Pulau Buru. Kalau nanti saya meninggal, saya ingin dikuburkan di pulau ini," kata Dariyun sambil mengelus kepala Dimas Rangga yang asyik melahap mie rebusnya. "Tapi sebelum meninggal, saya ingin menengok Cianjur. Anak saya dari istri pertama, Tavip Budiawan yang sekarang bekerja di Singapura, sudah janji mau ngajak saya menengok kampung," tambahnya.
Laki-laki jangkung ini mengaku ditahan dengan alasan yang tak jelas. "Saya dulu bekerja di perkebunan teh Ciseureuh, Cipanas, Cianjur, milik PT Mulia. Seperti kebanyakan buruh lainnya, terus terang saya ikut serikat buruh perkebunan Sarbupri yang mungkin dianggap underbouw PKI sehingga saya diciduk Koramil," cerita Dariyun.
"Tetapi selama penahanan, baik di Kodim Cianjur, di Nusa Kambangan maupun di Pulau Buru, hanya ada tiga pertanyaan yang harus saya jawab dan saya akui, yaitu kamu latihan di Lubang Buaya, kamu anggota PKI atau Pemuda Rakyat, dan mana senjata yang kamu miliki. Sampai sekarang saya tidak pernah bisa menjawab ketiga pertanyaan itu," tambahnya. "Tapi sudahlah, bertahun-tahun saya ditahan tanpa diadili, adalah juga masa lalu saya. Masa depan saya adalah anak ini," kata Dariyun sambil memeluk Dimas Rangga, yang telah menghabiskan mie rebusnya.
Suara azan Maghrib berkumandang. Begitu azan berhenti, Desa Savana Jaya yang memang tenang karena tak banyak orang dan kendaraan berlalu lalang di jalan raya, terasa semakin sepi. Di alun-alun, sebuah bangunan besar dengan atap seng dan tiang kayu tak lagi berdinding, nampak gelap dan menyeramkan. Beberapa ekor kuda dan lembu masih merumput meskipun hari mulai gelap. Bangunan semi permanen yang tak lagi berfungsi ini adalah bekas gedung kesenian untuk berbagai kegiatan para tapol.
Desa Savana Jaya, ketika masih dihuni para tapol lebih dikenal dengan sebutan Unit 14. Unit ini pada tanggal 20 Juni 1972 diresmikan namanya menjadi Desa Savana Jaya. Peresmian dilakukan oleh Jenderal M. Panggabean yang ketika itu menjadi Panglima ABRI. Berbaur dengan para transmigran, bekas para tapol, termasuk Dariyun, kini menghabiskan hidup dengan bertani.
Hasil pertanian bekas para tahanan politik dan para transmigran itu menjadikan Pulau Buru sebagai lumbung padi bagi Provinsi Maluku. Selain hidup tenang, mereka juga bisa hidup dengan layak. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berhasil, sehingga di Desa Savana Jaya maupun desa-desa lainnya yang dihuni bekas tapol dan transmigran seperti desa Waefele, Waekerta, Kubalahin dan Mako, bisa dijumpai rumah-rumah mewah dengan arsitektur modern, dengan mobil parkir di garasinya.
"Para bekas tapol dan transmigran memang memberi kontribusi cukup besar bagi perekonomian Pulau Buru, khususnya Kabupaten Buru. Mereka adalah andalan kami untuk sektor pertanian, karena penduduk asli di sini memang tidak ada yang bertani," kata Bupati Buru, Husni Hentihu, di rumah dinasnya hari Rabu (6/4/2011) malam pekan lalu. "Di era demokrasi sekarang ini, kewajiban dan hak untuk setiap warga negara adalah sama," tambahnya.
(asy/asy)
Laporan dari Pulau Buru (1)
Pulau Buru Tak Lagi Menyeramkan
M Anis - detikNews
(Foto: M Anis)
Namlea - Brakk!! Suara jembatan apron KMP Temi menyentuh dermaga feri pelabuhan Namlea, ibukota Kabupaten Buru, Maluku. Feri yang juga mengangkut belasan kendaraan roda 4 itu tiba di pelabuhan tujuan setelah berlayar sekitar 9 jam dari Ambon. Jarum jam masih menunjuk angka 4 pagi. Pulau Buru masih gulita. Hanya tiga buah lampu di pelabuhan yang menyala. Pulau yang namanya terkesan menyeramkan itu telah berada di depan mata.
Pulau Buru memang punya masa lalu yang menyeramkan. Ini akibat pulau yang luasnya 11.117 Km2 itu pernah dijadikan lokasi penahanan bagi sekitar 12 ribu orang tahanan politik pada awal pemerintahan Soeharto. Tetapi kini Pulau Buru sudah berubah. Penempatan para tapol di Buru pada akhirnya malah meninggalkan berkah. Apalagi setelah pemerintah mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa sekitar tahun 1979 - 1980, maka Pulau Buru menjadi lumbung padi terbesar di Provinsi Maluku.
Para bekas tapol yang memilih menetap di Pulau Buru bersama para transmigran, hingga kini telah berhasil mencetak sawah beririgasi teknis seluas hampir 20 ribu hektar. "Penduduk asli Pulau Buru tidak ada satu pun yang punya keahlian sebagai petani. Karena itu saya berani memastikan, pertanian bisa berkembang di sini karena kedatangan orang-orang dari Pulau Jawa, entah dia sebagai tapol atau sebagai transmigran," kata Emil Salim Malaka, penduduk kota Namlea, Ibukota Kaupaten Buru.
Di pasar Namlea, beras hasil pertanian lokal melimpah dan dijual dengan harga murah. Meskipun beberapa pedagang masih menjual bahan makanan pokok tradisional yaitu papeda atau sagu dan singkong, tetapi pada umumnya masyarakat setiap hari sudah makan nasi. Papeda atau singkong rebus memang masih dimakan oleh sebagian penduduk, itu pun hanya untuk makan siang selain juga terhidang nasi.
Memang, di sekitar Kota Namlea yang berada di lembah dan menghadap lautan, sama sekali tidak nampak lahan pertanian kecuali lahan kosong ditumbuhi berbagai jenis tanaman liar termasuk kayu putih (Meialeuca leucadendra L). Bahkan hingga ke pedalaman sekitar 30 kilometer, tanah berbukit di kanan kiri jalan hanya berupa hutan. Tetapi begitu memasuki Desa Savana Jaya di Kecamatan Waeapo yang berjarak 40 kilometer dari Namlea, mulai tampak lahan menguning dengan padi yang siap dipanen, maupun lahan basah yang mulai ditanami bibit-bibit padi. Setelah itu, hingga ke wilayah Kecamatan Air Buaya, pemandangan tak ubahnya pedesaan di Pulau Jawa.
"Hasil pertanian di Kabupaten Buru makin tahun makin meningkat sehingga sektor pertanian melampaui sektor perikanan," kata Bupati Buru, Husnie Hentihu di rumah dinasnya hari Rabu (6/4/2011) dua pekan lalu. "Apalagi setelah Presiden SBY melakukan panen raya di sini Maret 2006, semangat penduduk untuk mencetak sawah makin terpacu sehingga setiap tahunnya tercetak sawah baru seluas seribu lima ratus hektar," kata Husnie bangga.
Antara tahun 1969 - 1971, ketika sekitar 12 ribu tahanan politik mulai ditempatkan di Pulau Buru, masih belum ada jalan beraspal di luar kota Namlea. Para tapol itu dibawa ke pedalaman dengan perahu melalui Sungai Waeapo, dan kemudian ditempatkan di barak-barak yang disebut unit, yang dibangun di tepi sungai. Mereka ditempatkan secara terpisah di 20 unit dengan jarak satu unit dengan unit lainnya sekitar 5 kilometer.
Sekarang, jalan beraspal mulus sudah menembus pedalaman Pulau Buru, menghubungkan unit satu dengan lainnya, bahkan hingga mencapai kota Namrole, ibukota Kabupaten Buru Selatan, dan terus ke pesisir selatan Pulau Buru yang menghadap ke Laut Banda. Jalanan selebar 4 meter yang menembus pedalaman dari Namlea itu, sayangnya, sempat dipersoalkan oleh para kontraktor di Kabupaten Buru bahkan juga di Ambon. Sebab proyek besar itu dikerjakan oleh kontraktor yang juga anggota DPR-RI bernama Sonny Waplau melalui beberapa perusahaannya antara lain Pt Multididya Tehnical, PT Tarawesi dan PT Equator.
"Pembangunan jalan hotmix itu adalah proyek multiyears. Tahun lalu nilainya Rp 200 miliar, tahun ini Rp 100 miliar. Lumayan besar, tapi kontraktor lokal sama sekali tidak ikut menikmati, meskipun Sonny Waplau asalnya juga dari Maluku," kata Amir Latuconsina, Ketua DPD Gapeknas (Gabungan Pelaksana Konstruksi) Provinsi Maluku. "Sonny Waplau adalah anggota Komisi 5 yang antara lain membidangi masalah perhubungan. Selain itu dia juga anggota Panitia Anggaran. Maka perlu dipertanyakan, bagaimana proyek hotmix ini hanya jatuh ke dia," tanya Lutfi Assegaf, Wakil Ketua DPD Gapensi Provinsi Maluku, di tempat terpisah, di Namlea, pekan lalu.
Terlepas dari proyek besar yang dipersoalkan kontraktor lokal itu, tetapi Pulau Buru memang terus memperbaiki diri. Pulau yang terdiri dari dua kabupeten yaitu Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan ini sekarang tidak terisolir lagi. Sejak tahun lalu, setiap malam secara bergantian dua buah kapal yaitu KMP Temi dan KM Elizabeth melayari Ambon - Namlea - Ambon. Sedang Cassa 220 berkapasitas 20 kursi yang dioperasikan PT Nusantara Buana Air setiap hari Kamis dan Jumat terbang dari Ambon - Namlea - Namrole - Ambon.
Pulau Buru adalah anugerah Tuhan. Di Dunia, hanya ada dua negara yang menghasilkan kayu putih, yaitu Indonesia dan Vietnam. Di Indonesia, tempat penghasil kayu putih itu tak lain adalah Pulau Buru. Di semua lahan kosong, hutan dan bukit-bukit yang ada di pulau ini, pohon kayu putih tumbuh liar sebagai semak belukar. Sebelumnya, selama bertahun-tahun pemanfatan kayu putih itu dimonopoli oleh seorang pengusaha. Tetapi sejak tahun lalu, beberapa warga termasuk seorang pemuda bernama Agil Buftan, 35 tahun, menangkap dan mengembangkan tanaman yang jadi ikon Pulau Buru ini.
Dengan mendidirkan badan usaha CV Elan Vital, Agil memiliki 4 ketel penyulingan dengan kapasitas produksi antara 2 sampai 2,5 ton/bulan, dan mempekerjakan sekitar 70 orang. "Delapan orang operator ketel berstatus pegawai tetap, sedang sisanya pegawai borongan yang tugasnya memetik daun-daun kayu putih di hutan. Sekilo daun kayu putih hasil petikan mereka saya beli Rp 400. Kalau setiap orang setiap harinya bisa memperoleh 100 sampai 140 kilo, hasil mereka termasuk lumayan untuk ukuran Namlea," kata Agil menjelaskan. Saat ini, lanjutnya, harga sekilo minyak kayu putih produksinya Rp 130 ribu/kilogram. "Saya akan meningkatkan kapasitas produksi, dan BRI telah setuju untuk memberi KUR kepada saya. Mudah-mudahan segera terealisasi," kata alumnus perguruan tinggi swasta di Malang, Jawa Timur ini.
Pertanian, kayu putih, sayur mayur, buah-buahan, adalah hasil tanah Pulau Buru yang tidak saja bisa dinikmati oleh penduduk pulau yang seluruhnya berjumlah sekitar 120.000 jiwa, tetapi juga dinikmati penduduk pulau-pulau sekitarnya termasuk penduduk ibukota Provinsi Maluku, Ambon. "Saya yakin, Pulau Buru terutama Kabupaten Buru akan terus berkembang untuk mengejar ketertinggalannya dari wilayah lain di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Persoalannya kan cuma satu, belum ada investor yang menanamkan modalnya di sini," kata Wakil Bupati Buru, Ramly Umasugi, hari Jumat (8/4/2011) lalu.
(asy/asy)
Laporan dari Pulau Buru (2)
Kayeli, Kota yang Hilang
M Anis – detikNews
Benteng VOC Kayeli (Foto: M Anis)
Jakarta - Dari pantai Namlea, ibukota Kabupaten Buru, Desa Kayeli kelihatan hanya sebesar titik putih di seberang lautan. Malam hari, desa yang masuk Kecamatan Waeapo itu berubah jadi seperti seekor kunang-kunang. Sinarnya timbul tenggelam dipermainkan ombak, lantas hilang di kegelapan.
Namlea dan Kayeli berada dalam satu garis pantai yang melingkari Teluk Namlea. Jalan pintas tercepat menuju desa itu dari Namlea hanya menggunakan perahu, menyeberangi Teluk Namlea dengan jarak tempuh sekitar 45 menit. Dengan kendaraan darat, waktu tempuhnya bisa empat jam melalui daratan dan pegunungan di pedalaman.
Kayeli adalah kota yang hilang. Sebelum tahun 1919, Kayeli menjadi ibukota Pulau Buru, yang luasnya 11.117 km2, dan sekarang wilayahnya meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Buru, dan Kabupaten Buru Selatan dengan ibukotanya di Namrole. Kabupaten Buru Selatan berasal dari pemekaran Kabupaten Buru, berdasar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2008.
Kejayaan Kayeli sebagai pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru ditandai dengan berdirinya sebuah benteng yang dibangun VOC tahun 1785. Benteng setinggi 2,5 meter itu masih berdiri tegar meskipun ditumbuhi semak belukar, melingkari areal seluas hampir satu hektar. Benteng ini dahulu adalah pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru, di bawah administrasi Provinsi Amboina dengan salah satu gubernurnya yang terkenal yaitu Gouverneur Bernadus Van Pleuren.
Karena musibah banjir besar yang meluap di sungai Waepo di pedalaman pada awal abad 19, Kayeli hancur total. Pemerintah Belanda kemudian memindahkan ibukota Pulau Buru ke Namlea. Pemindahan ibukota secara resmi ini terjadi pada 31 Agustus 1919, bertepatan dengan hari ulang tahun ke 39 Ratu Wilhelmina, yang lahir 31 Agustus 1880. Ratu Wilhelmina meninggal tanggal 28 November 1962 pada umur 82 tahun.
Saat masih dijajah Belanda, Kayeli dan daerah-daerah sekitarnya di Pulau Buru berada di bawah kekuasaan raja-raja bermarga Wael, Hentihu, Bessy dan Warhangan. Raja Kayeli sendiri bermarga Wael. Setelah kemerdekaan, kekuasaan para raja hanya menyangkut tanah ulayat dan menjaga kebudayaan. Meski kekuasaannya sebatas masalah budaya, tetapi sampai sekarang keturunan raja masih dihormati dan diakui oleh masyarakat setempat, terutama masyarakat asli yang tinggal di pedalaman.
Mochamad Fuad Wael, 59 tahun, adalah keturunan raja bermarga Wael yang kini menjadi pemimpin adat. Masyarakat Kayeli dan Namlea memanggilnya Papa Raja. Ditemui di rumahnya di Desa Kayeli, Papa Raja mengakui bahwa posisinya kini hanya sebatas pemangku adat. "Sebagai pemangku adat, saya sering diminta untuk menyelesaikan masalah yang timbul di masyarakat. Kalau ada persoalan, kita coba dahulu menyelesaikannya secara adat. Kalau secara adat tidak selesai, baru kita bawa ke hukum negara. Persoalan yang sering muncul biasanya menyangkut sengketa tanah," kata Papa Raja, putra Raja Ishak Bin Mansyur Wael, hari Kamis (7/4/2011) di rumahnya di Kayeli.
Ratusan hektar tanah di Pulau Buru yang sekarang ditempati para transmigran dan para bekas tahanan politik, dahulu adalah tanah milik Raja Wael. "Tahun 1954 ayah saya menghibahkannya kepada pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno. Tapi tahun 1968 - 1969 pemerintah Indonesia menjadikannya tempat tahanan bagi mereka yang dituduh komunis," cerita Fuad Wael. Tanah-tanah di Pulau Buru sebagian tidak bersertifikat, karena masih banyak yang statusnya tanah ulayat.
Kayeli kini menjadi desa mati. Bekas-bekas kejayaannya hanya ditandai dengan situs benteng VOC, dan sebuah meriam kecil berkarat yang dipasang di depan pintu gerbang kampung. Moncong meriam peninggalan VOC itu mengarah ke pantai.
Masuk ke desa melalui pintu gerbang, hanya beberapa anak kecil nampak bermain kejar-kejaran. Di seluruh desa hanya ada sebuah warung kecil yang menjual kebutuhan sehar-hari. Itu pun dengan dagangan yang tidak terlalu lengkap. Beberapa wanita berkerumun di depan warung, inilah satu-satunya keramaian yang ada di desa Kayeli.
Bentaran biji coklat yang dijemur penduduk hampir memenuhi jalan kampung, nyaris tak mengganggu karena memang tak ada lalu lintas kecuali orang berjalan kaki. Jumlah sepeda motor di desa ini bisa dihitung dengan jari, sedang kendaraan roda empat tidak ada sama sekali. Mata pencarian penduduk Kayeli, selain nelayan juga berkebun coklat.
"Desa Kayeli memang belum merdeka," kata Kepala Desa Kayeli, Muhammad Wael. Mengapa? "Karena sejak jaman penjajahan sampai sekarang ini kami penduduk Kayeli belum pernah menikmati listrik PLN," jawab Muhammad. Berpenduduk 181 KK atau 801 jiwa, hanya beberapa rumah di antara 167 rumah di Kayeli yang memiliki genset untuk pembangkit listrik sendiri. "Dari dulu petugas PLN sudah sering datang menyurvei, mengukur dan mendata, tetapi tidak pernah ada realisasinya. Jadi kami pasrah saja, karena kami memang belum merdeka," kata Muhammad sambil tertawa.
Abdul Jabar Wailusu, anggota Komisi C DPRD Kabupaten Buru ditemui terpisah, mengaku sedih juga melihat penduduk Desa Kayeli yang masih dalam kegelapan. "Bukan cuma Kayeli yang belum dijamah listrik PLN, tapi juga desa-desa pesisir sekitarnya seperti Desa Pela, Keyit, Walapia, Masarete dan Desa Kaki Air. Tahun lalu Komisi C berkunjung ke Kementerian ESDM, dan masalah perlunya penerangan untuk desa-desa pesisir itu kami ajukan. Tapi sampai sekarang belum ada respon. Kami juga sudah ke PLN Provinsi Maluku, hasilnya sama saja. Jadi saya cukup memaklumi apabila banyak penduduk Kayeli yang mengaku mereka belum merdeka," kata Abdul Jabar Wailusu ditemui di Namplea hari Kamis (7/4/2011) malam.
Berdiri di pelabuhan Namlea pekan lalu sebelum tengah malam, Desa Kayeli sudah hilang dari pandangan mata. Kunang-kunang yang berasal dari listrik rumah penduduk bergenset, sudah dipadamkan. Kayeli, kota masa silam, hilang di kegelapan.
(asy/asy)
Laporan dari Pulau Buru (3)
Cerita Pendek Dariyun
M Anis - detikNews
Patung Pelda Umar (Foto: M Anis)
Namlea - Sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan, di Desa Wanakarta, Kecamatan Waeapo. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila.
Patung ini bukan hanya untuk menghormati Pelda Panita Umar, tetapi lebih dari itu, patung ini ternyata juga sebagai catatan hitam. Begitu jasad Panita ditemukan tewas dengan tangan terputus, maka tanpa penyelidikan, hari itu juga segera saja 12 orang tahanan politik penghuni barak Unit 5 diciduk. Empat orang ditembak mati, sisanya berhasil melarikan diri, tetapi empat orang kemudian juga ditemukan mati di Namlea. Sedang sisanya lagi yang empat orang, berbulan-bulan kemudian baru ditangkap dan langsung dieksekusi.
Gugurnya Pelda Panita Umar menggetarkan sekitar 12 ribu tahanan politik yang menghuni 20 unit barak penampungan di Pulau Buru. Siapa pun bekas tapol yang saat ini masih hidup, pasti tergetar hatinya apabila ditanya tentang peristiwa itu. Karena perlakuan yang dialami oleh seluruh tapol akibat tewasnya Pelda Panita Umar dirasakan amat luar biasa. Sampai saat ini tidak pernah ada penyelidikan mendalam tentang kematian Pelda Panita Umar. Ia dinyatakan gugur saat menjalankan tugas, dan patungnya bisa dilihat oleh siapapun yang melintas di jalan raya penghubung Kabupaten Buru dengan Kabupaten Buru Selatan.
Dariyun Suwardi Saiin, 72 tahun, mantan tapol yang setelah dibebaskan lebih memilih tetap tinggal di Pulau Buru daripada pulang ke Cianjur, Jawa Barat, hanya menghela nafas panjang ketika disinggung kembali peristiwa terbunuhnya Penita Umar. "Sudahlah, saya kembali merasa sakit kalau mengingat apa yang diterima sebagian besar tahanan setelah peristiwa itu. Saya dan beberapa teman yang masih hidup di sini sudah melupakannya," kata Dariyun, yang sekarang tinggal di Desa Savana Jaya, Kecamatan Waeapo.
Dariyun lebih senang menatap masa depan di sisa usianya. Karena itulah, ketika bulan November 1979 sekitar 12 ribu tahanan dibebaskan, ia bersama 300 temannya memilih tetap tinggal di Pulau Buru. Sebab bersama para transmigran yang mulai didatangkan, para bekas tapol itu memperoleh 2,5 hektar tanah yang terdiri dari 1 hektar sawah, 1 hektar ladang ditambah 0,5 hektar pekarangan untuk mendirikan rumah. "Dari 300 orang yang memilih tetap di sini, lebih dari 50 orang telah meninggal," kata Dariyun hari Rabu (6/4/2011) petang.
Menikah kedua kalinya dengan Rininta di Pulau Buru, Dariyun yang bersama istrinya membuka warung makan sederhana dikaruniai 3 anak, masing-masing Astriani Saraswati, Diyanti Wulaningrum dan si bungsu Dimas Rangga yang masih berusia 7 tahun. "Merekalah masa depan saya. Kalau saya sendiri sudah hampir selesai," kata Dariyun sambil memeluk anak bungsunya, Dimas Rangga.
Rangga merengek. Ia minta dibuatkan mie rebus. Dariyun segera bangkit dan masuk ke warungnya. Tak lama kemudian ia keluar sambil membawa semangkuk mie rebus panas yang diserahkan kepada anaknya. Rangga segera melahapnya. "Tunggu sebentar, biar dingin dulu," kata Dariyun pada Rangga.
Saat menikah dengan Rininta tahun 1985, usia Dariyun 42 tahun, sedang istrinya berumur 22 tahun. Rininta putri Kapten Busono, intel Kodam Pattimura. "Waktu hendak menikah, saya banyak diprotes teman-teman ayahnya. Mengapa anak tentara dikawinkan dengan bekas tapol. Saya bilang, yang menjalani dan ayahnya saja tidak keberatan, kok orang lain yang protes. Memangnya kalau bekas tahanan politik juga tidak boleh menikah, tanya saya pada mereka," cerita Dariyun.
Sebenarnya waktu diciduk dari rumahnya tanggal 28 November 1965 oleh aparat Koramil Kecamatan Pacet, Cianjur, Dariyun sudah mempunyai istri dan seorang anak, Tavip Budiawan, yang saat itu masih berusia 1 tahun. "Tahun 1967 ketika saya masih ditahan di Kodim Cianjur, istri saya datang bersama seorang tentara. Ia minta saya menceraikannya karena mau kawin dengan tentara yang mengantarnya itu. Ya sudah, kalau sudah seperti itu buat apa dipertahankan," kata Dariyun.
Selama 4,5 tahun Dariyun ditahan di Kodim Cianjur. Kemudian dipindahkan ke Nusa Kambangan. Setelah 4 bulan di Nusa Kambangan, pertengahan 1970 dengan KRI Ujung Pandang Dariyun bersama tahanan-tahanan lainnya dibawa ke Pulau Buru. "Dari tahun 1970 sampai sekarang saya belum pernah meninggalkan Pulau Buru. Kalau nanti saya meninggal, saya ingin dikuburkan di pulau ini," kata Dariyun sambil mengelus kepala Dimas Rangga yang asyik melahap mie rebusnya. "Tapi sebelum meninggal, saya ingin menengok Cianjur. Anak saya dari istri pertama, Tavip Budiawan yang sekarang bekerja di Singapura, sudah janji mau ngajak saya menengok kampung," tambahnya.
Laki-laki jangkung ini mengaku ditahan dengan alasan yang tak jelas. "Saya dulu bekerja di perkebunan teh Ciseureuh, Cipanas, Cianjur, milik PT Mulia. Seperti kebanyakan buruh lainnya, terus terang saya ikut serikat buruh perkebunan Sarbupri yang mungkin dianggap underbouw PKI sehingga saya diciduk Koramil," cerita Dariyun.
"Tetapi selama penahanan, baik di Kodim Cianjur, di Nusa Kambangan maupun di Pulau Buru, hanya ada tiga pertanyaan yang harus saya jawab dan saya akui, yaitu kamu latihan di Lubang Buaya, kamu anggota PKI atau Pemuda Rakyat, dan mana senjata yang kamu miliki. Sampai sekarang saya tidak pernah bisa menjawab ketiga pertanyaan itu," tambahnya. "Tapi sudahlah, bertahun-tahun saya ditahan tanpa diadili, adalah juga masa lalu saya. Masa depan saya adalah anak ini," kata Dariyun sambil memeluk Dimas Rangga, yang telah menghabiskan mie rebusnya.
Suara azan Maghrib berkumandang. Begitu azan berhenti, Desa Savana Jaya yang memang tenang karena tak banyak orang dan kendaraan berlalu lalang di jalan raya, terasa semakin sepi. Di alun-alun, sebuah bangunan besar dengan atap seng dan tiang kayu tak lagi berdinding, nampak gelap dan menyeramkan. Beberapa ekor kuda dan lembu masih merumput meskipun hari mulai gelap. Bangunan semi permanen yang tak lagi berfungsi ini adalah bekas gedung kesenian untuk berbagai kegiatan para tapol.
Desa Savana Jaya, ketika masih dihuni para tapol lebih dikenal dengan sebutan Unit 14. Unit ini pada tanggal 20 Juni 1972 diresmikan namanya menjadi Desa Savana Jaya. Peresmian dilakukan oleh Jenderal M. Panggabean yang ketika itu menjadi Panglima ABRI. Berbaur dengan para transmigran, bekas para tapol, termasuk Dariyun, kini menghabiskan hidup dengan bertani.
Hasil pertanian bekas para tahanan politik dan para transmigran itu menjadikan Pulau Buru sebagai lumbung padi bagi Provinsi Maluku. Selain hidup tenang, mereka juga bisa hidup dengan layak. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berhasil, sehingga di Desa Savana Jaya maupun desa-desa lainnya yang dihuni bekas tapol dan transmigran seperti desa Waefele, Waekerta, Kubalahin dan Mako, bisa dijumpai rumah-rumah mewah dengan arsitektur modern, dengan mobil parkir di garasinya.
"Para bekas tapol dan transmigran memang memberi kontribusi cukup besar bagi perekonomian Pulau Buru, khususnya Kabupaten Buru. Mereka adalah andalan kami untuk sektor pertanian, karena penduduk asli di sini memang tidak ada yang bertani," kata Bupati Buru, Husni Hentihu, di rumah dinasnya hari Rabu (6/4/2011) malam pekan lalu. "Di era demokrasi sekarang ini, kewajiban dan hak untuk setiap warga negara adalah sama," tambahnya.
(asy/asy)
Comments
HTTP://RAJAKAIELYBURU.BLOGSPOT.COM