Skip to main content

Ajang Berbagi di Usia Senja

Ada banyak cara untuk menikmati masa tua dengan bahagia. Salah satunya seperti yang ditunjukkan 190 anggota Paguyuban Adhiyuswo Ngesti Rahayu (Pangrayu) RSUP Dr. Sardjito Jogjakarta. Tak hanya diisi dengan senam, bahkan para orangtua yang usianya di atas 50 tahun tersebut berencana outbond bareng.



Suasana di salah satu ruangan gedung diklat lantai 4 RSUP Dr. Sardjito lebih meriah dari biasanya. Ratusan orang berusia lanjut usia tampak semangat mengikuti lagu dengan gerakan senam. Memang tak selincah bila dibandingkan mereka yang masih berusia muda tapi semangat yang keluar dari masing-masing anggotanya membuat suasana menjadi ceria dan akrab.
Mereka mengangkat kedua tangan ke atas, menepuk bahu, dada, paha dan lutut dengan gerakan seirama dengan lagu. Beberapa terlihat kedodoran mengikuti irama yang sebenarnya tak terlalu cepat tersebut. Agustinah Ibrahim, instruktur senam, berulangkali mencoba menaikkan semangat kawan satu paguyubannya tersebut. Dia juga terlihat lincah untuk berjalan ke depan dan ke belakang untuk ‘memantau’ anggotanya agar bergerak lebih lincah.
Rambutnya yang nyaris berubah semua itu tak membuat dia ragu mengambil sebuah vas bunga berukuran sedang dari lantai dengan gerakan yang cukup lincah. Tidak akan ada yang menyangka bila Agustinah saat ini berusia 81 tahun. “Saya lahir waktu jaman Belanda, tapi saya tidak lahir di bulan Agustus,” katanya tertawa menepis tebakan Jogjaraya mengenai bulan kelahirannya.
Agustinah menuturkan dia lahir pada 2 September 1930 sehingga tahun ini usianya menginjak umur 81 tahun. Menurutnya, partisipasinya di paguyuban ini menjadi salah satu ‘obat’ yang membuat dia selalu merasa sehat. Belum lagi, di paguyuban ini dia mendapatkan informasi seputar kesehatan dari dokter ahli yang berasal dari RSUP Dr. Sardjito. Keikutsertaannya di paguyuban ini sendiri juga tidak sengaja karena awalnya dia hanya sekedar iseng mengisi waktu. “Saya gabung akhir 2005 lalu setelah menemukan kartu anggota bapak (almarhum Ibrahim, Red),” tuturnya.
Suaminya adalah salah satu anggota yang meninggal karena sakit paru-paru. Tak dinyana, di kepengurusan yang baru dia terpilih menjadi Sekretaris 2 dibawah kepemimpinan Bambang Purnomo. Meski tugasnya adalah mengatur surat keluar dan masuk serta notulensi tiap kegiatan, toh Eyang Agustinah harus rela berubah menjadi seksi sibuk jika Pangrayu tengah melakukan kegiatan. Tugasnya pun jadi serabutan termasuk jadi instruktur senam supaya kegiatan berjalan lancar. “Tapi saya bahagia karena di paguyuban bisa ikut meladeni teman-teman,” katanya.
Ketua I Pangrayu, Retno Setyowati Udiyatno menjelaskan awalnya Pangrayu dibentuk oleh staf medik fungsional (SMF) yang dipimpin Dr. Triwibowo Sp. PD.K.GER.DTM&H pada 10 Oktober 1996. Anggotanya adalah para peserta Askes yang berobat di RSUP Dr. Sardjito. “Sampai saat ini jumlah pesertanya sekarang adalah 190 orang dari berbagai daerah di DIJ bahkan ada yang berasal dari Muntilan dan Temanggung,” katanya.
Selain sebagai ajang kumpul-kumpul, paguyuban ini juga menjadikan tiap pertemuan untuk berbagi informasi seputar masa tua seperti pertemuan yang digelar kemarin. Bahkan rencananya para orangtua ini bakal outbond di pabrik gula Gondangwinangun di Klaten, Juni mendatang. “Untuk refreshing,” tuturnya.
Menurutnya, di usia yang sudah lansia seperti dirinya harus memperhatikan beberapa hal agar tetap hidup sehat, terutama asupan makanan. Eyang berusia 78 tahun itu mencontohkan untuk konsumsi makan malam digeser sebelum Maghrib. Untuk porsi nasi dikurangi drastis sehingga tersisa tiga sendok saja, semangkuk sayur dan buah. Tak hanya itu, olahraga seperti jalan kaki rutin juga harus dilakukan.
Menurutnya, di usia senja kegiatan harus terus berlangsung dan menjalin komunikasi antara sesama juga perlu dibangun. Hal itu baik untuk kesehatan jiwa. “Kalau masalah stress, yang namanya orang hidup, selalu ada. Tergantung bagaimana penanganannya. Kalau kata dokter, supaya tidak stress bisa cari solusi dengan mengerjakan hobi atau sekedar jalan-jalan ke Malioboro dengan membawa Rp 25 ribu saja supaya tidak belanja,” ujarnya sembari tertawa. (sit)

*terbit di Jawa Pos Jogjaraya

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej