Skip to main content

Karena Blackberry Lebih Unggul dari Nokia



Karena Blackberry Lebih Unggul dari Nokia
*Sebuah kritik, harus terlebih dahulu curiga dengan kritik itu sendiri,,

by Wishnugroho Akbar on Thursday, November 18, 2010 at 8:36am

Sebenarnya saya malas menanggapi tulisan Ervin yang sangat bersifat pribadi dan mengandung motif percintaan. Tapi harus saya tanggapi karena beberapa hal, terutama karena tulisan Ervin dengan jelas langsung menyorot perilaku saya dan Wawan Warta Kusuma.

Mengapa saya berani menyatakan diri sebagai pihak yang mendapat sorotan? Tidak lebih karena di antara sahabat-sahabat yang dulu berjuang membangun tradisi intelektual di Ruang Melati, hanya saya dan Wawan yang saat ini menggunakan Blackberry. Lain tidak.

Saya memulainya sekaligus menyangkut isi, analisis, dan kritik dalam tulisan Ervin yang tampak ceroboh mengenai fenomena Blackberry, gaya hidup dan kapitalisme dalam konteks kondisi Ruang Melati saat ini. Terlintas sesaat memang terbaca gamblang dan kritis dengan logika jernih yang mengalir. Khususnya saat menyoroti fenomena "gandrung Blackberry" yang tengah mewabah di Ruang Melati. Namun cacat logika mulai tampak saat logika Ervin coba mengaitkan antara fenomena gandrung Blackberry dan fenomena melunturnya tradisi kritik dan intelektualisme di Ruang Melati.

Memang benar bahwa tradisi intelektualisme itu sudah semakin menghilang. Hanya saja hal tersebut tidak sepantasnya dikaitkan dengan menghilangnya nya tradisi kritis dan fenomena gandrung Blackberry yang sedang mewabah di Ruang Melati. Sebab, jauh sebelum Ruang Melati dihinggapi wabah gandrung Blackberry, tradisi intelektualisme sudah terlebih dahulu memuai, diserap oleh ideologi rutinitas yang membandul di bahu saya dan Wawan dan teman-teman lain termasuk Ervin yang mulai mendapat pekerjaan. Adalah sebuah kecerobohan, jika sekali lagi, mengaitkan kedua hal itu. Apalagi sampai memberikan penilaian tentang mentalitas, idealisme, dan sikap diri saya dan Wawan yang mulai tergerus tanpa bisa melawan.

Tradisi kritis (perlawanan) itu masih ada. Sedang untuk sebuah Blackberry yang sekarang saya genggam, saya membelinya dengan kesadaran penuh, selayaknya Marx sadar bahwa kapitalisme awal sepenuhnya bergantung pada logika nilai tukar-guna dan eksploitasi pekerja, bukan pada nilai citra. Untuk sebuah Blackberry, saya membelinya berbekal pertimbangan kecepatan akses (real time), kemudahan email, dan akses komunikasi yang lebih beragam dan cepat yang mampu menunjang profesi saya. Sedikitpun tidak terlintas membawa Blackberry sebagai simbol eksistensi dan gaya hidup. Sangat sederhana.

Adapun soal mentalitas, idealisme dan cara bersikap yang mulai berubah, saya mengakui hal itu. Tapi apakah Anda, Kawan Ervin, tahu, bahwa sesekali waktu saya melawan belenggu rutinitas dengan cara mangkir dari kewajiban saya mencari berita dan lebih memilih bercengkrama di Ruang Melati? Atau memilih tidur yang menjadi hobi saya bahkan saat saya berada di tengah rutinitas pekerjaan?

Sama halnya dengan Kawan Wawan. Saya memang tidak mengetahui persis. Tapi berbekal asumsi positif dan kritis, saya meyakini hal serupa dialami Kawan Wawan. Pilihannya terhadap Blackberry yang saya ketahui karena handphone yang ia miliki sudah tidak berfungsi baik. Mengapa ia lebih memilih Blackberry? Karena ia membutuhkan juga bercengkrama di dunia maya. Dan Blackberry menawarkan keunggulan lebih ketimbang Nokia. Mengapa dunia maya menjadi begitu penting bagi kita? Karena itu adalah sebuah kenyataan baru yang tidak terelakkan. Sebuah simulasi realitas yang menjadi realitas dalam takaran yang lebih besar (hyperrealitas). Di alam posmodern, kita belajar menerima perubahan, termasuk realitas cyber. Kita mengamini itu tanpa butuh mengimani!

Apakah saya dan Wawan mengimani gaya hidup, ideologi kecepatan, kapital, dan banalitas kapitalisme lanjut? Cobalah kawan menyimak dan memaknai ketenangan Wawan yang menghadapi kemelaratan karir di tengah keinginannya untuk membanggakan orang tua dan hasratnya meminang Pitty! Tidakkah itu menjadi tanda yang jelas bagi setiap orang beriman?

Saya tidak menyangkal Blackberry dan Nokia sebagai simbol kapitalisme lanjut. Saya tidak menyangkal adanya nilai-nilai yang mulai tergerus dalam diri. Hanya saja dalam konteks kebersamaan kita, analisis Anda ceroboh juga menggebu. Sebuah Blacberry, bagi saya dan Wawan, masih sebatas alat untuk mempermudah hidup karena saya dan mungkin Wawan berpikir Blackberry jauh lebih unggul dan lebih murah dari Nokia. Di sisi lain, semua perbincangan yang mungkin di lontarkan saya dan Wawan tentang Blackberry, tidak lebih dari proses perkenalan terhadap benda itu. Tidak ada penghambaan dan fetish, meski kami mengamini kapitalisme lanjut.

Jadi, alih-alih saya memberikan jempol dan terkagum kagum, justru saya tergelitik sendiri sampai memicu spekulasi berupa pertanyaan kritik; Benarkah tulisan Anda mencerminkan sebuah kritik, atau justru sebuah upaya emansipasi untuk motif percintaan Anda? Atau mungkin keduanya beriring berjalan? Satu hal yang saya catat adalah gaya analisis Kawan Ervin yang belum juga berubah. Sebuah gaya yang melompati tangga pemahaman. Saya haqqul yakin Anda mampu memahami tradisi positivisme dan kritik terhadapnya. Tapi saya curiga, Anda terlalu malas memulai menganalisa fenomena dengan berangkat pada pemahaman terhadap pengalaman positif yang memadai, untuk kemudian berbicara lebih jauh dalam perspektif lainnya.

Hingga saat ini, masih saya mendengar teriakan Marcuse tentang bahaya teknologi yang mampu membelenggu dan menjerat ke dalam sistem penguasaan total kapitalisme lanjut. Sama halnya dengan saya menyerap logika tentang dehumanisasi akibat teknologi yang memperbudak. Tapi melalui teknologi pula kita setidaknya banyak menikmati praksis perihal demokrasi radikal yang dahulu hanya mengawang di dunia ide.

Sebagai penutup, dalam tulisan ini, saya juga ingin mengajak Anda berpikir untuk mulai menggunakan Blackberry. Bukan hanya karena Blackberry lebih unggul dan murah, juga agar kita kembali berkumpul bersama dalam satu grup dan kembali memulai tradisi intelektualisme yang telah pudar. Tapi jika Anda tidak berminat, saya kutip sebuah ayat yang mungkin berguna; "Lakum diinukum waliyadin" (Untuk mu Nokia mu, untuk ku Blackberry ku)

Wisnugroho Akbar adalah kawan saya di Facebook

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej