Kecewa di Balik Ciamiknya Teater Koma
Teater Koma lagi-lagi menyapa publik Surabaya. Kali ini dalam pagelaran Festival Seni Surabaya, teater yang digawangi N. Riantiarno membawa lakon ‘Rumah Pasir’. Namun tak seperti biasanya, teater ini membawa tema ringan ketimbang persoalan politik yang selalu diselipkan dalam tiap pertunjukkannya.
Rumah Pasir ini sendiri berkisah mengenai karakter Gelileo Kastoebi yang akrab dipanggil Leo. Seorang pengusaha muda, kaya raya dan gemar berganti pacar ini akhirnya jatuh ke lembah kenestapaan setelah divonis mengidap HIV/AIDS. Tanpa ampun, tubuh Leo digerogoti aneka macam penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh dan akhirnya merenggut nyawanya.
Yang lebih mengenaskan, tak satupun kawannya maupun pacar-pacarnya semasa masih sehat rela untuk menjenguk. Di sisa akhir hidupnya, hanya sahabatnya Bambang Nirwanto, pemuja setianya Wieske Gerung, dokter yang merawatnya Tatyana Ridanda serta kedua orangtuanya Bapak-Ibu Kastoebi yang menemani. Satu hal yang ditekankan dalam lakon kali ini adalah adanya ajakan untuk tak menularkan penyakit ini kepada orang lain. “Leo, meski telah didiskriminasi oleh lingkungannya, tetap memiliki kesadaran untuk tidak menularkannya kepada orang lain. Ini adalah sebuah kesadaran yang harus dibangun,” kata Sutradara N. Riantiarno, Jumat (12/11).
Hanya saja, mereka yang menonton penampilan Teater Koma kali ini harus sedikit menelan kekecewaan karena tema yang diusung tak sebelumnya dengan kostum yang biasa-biasa saja. Ditanya soal tema, diakuinya ada kesengajaan untuk membawa tema yang lebih lembut dan berbau sosial di lakon ini. Dia beralasan jika masalah HIV/AIDS perlu mendapat sorotan lebih seperti halnya ketika menangani masalah politik maupun bencana. “Memang power attack-nya tak sekeras seperti sebelumnya, saya sudah capek. Biar yang di jalanan, yang demo-demo yang protes keras menggantikan saya,” akunya jujur.
Hanya saja, dia berkelit jika sebenarnya masalah HIV/AIDS merupakan isu politik yang bisa didorong lewat teater miliknya. Riantiarno mencoba bermetaforik dalam lakon cerita bahwa penanganan HIV/AIDS tak sungguh-sungguh dibangun pada pondasi yang kokoh.
Kebiasaan bahwa penanganan dilakukan terburu-buru, maka seperti itulah gambaran penanganan HIV/AIDS yang tak kunjung serius ditangani. Indonesia seolah-olah bagai Rumah Pasir yang mudah hancur terkena air, mudah sakit karena tanpa gerbang kokoh mencegah racun merusak tubuh ini.
Sayangnya, metafora semacam ini tak sepenuhnya bisa dipahami penonton. Sebagian besar malah makin tersentak tersadar bahwa diskriminasi masih dilakukan terhadap para penderita HIV/AIDS dari masyarakat ketimbang memikirkan brengseknya pemerintah dalam penanganan HIV/AIDS. Para aktor yang mengenakan kostum sehari-hari, saya sepakat kalau ada yang menilai pertunjukkan kali ini ibarat memindahkan sinetron ke layar panggung. Setidaknya itulah yang saya rasa. Atau apakah saya salah mengharapkan lebih dari sebuah Teater Koma??
Selebihnya, penampilan yang ciamik dari para lakon tak perlu disoal. Apalagi tata panggung yang selalu mengedepankan detail dan penghayatan para aktor membuat pertunjukan bisa dinikmati. Kehadiran putra Riantiarno dalam pertunjukan kali ini, Rangga Riantiarno, juga perlu mendapat apresiasi. Rangga berperan sebagai Bambang Nirwanto, sahabat baik Galileo Kastoebi. Kehadiran artis Cornelia Agatha juga membuat penampilan Teater Koma yang sudah berusia 33 tahun makin terasa manis dalam berlakon.
Satu-satunya yang agak menggangu dalam pertunjukan kemarin adalah tidak maksimalnya pencahayaan di panggung. Mesin diesel sempat mati sehingga lampu di panggung sempat mati dan mengganggu kenyamanan menonton. Riantiarno sendiri tak terlalu mempermasalahkan hal ini. “Saya kira apa yang sudah dilakukan oleh pihak panitia sudah luar biasa dan saya yakin mereka sudah maksimal agar FSS ini berjalan dengan baik,” katanya.
Foto-foto: Bobby N./Matanesia Pictures
Comments