Skip to main content

Facial, Spa dan Bunyi Pistol


Minggu (17/11) kemarin aku memutuskan untuk mencoba facial di Ester House of Beuty di dekat Konjen AS. Soalnya aku kadung approve ikutan paket facial di tempat itu. Lagian pula, kata temen2 terutama Santika, facial disitu lumayan enak soalnya dokternya turun langsung.
Hmmm...okelah kucoba. Cuman karena aku barusan facial di Martha Tilaar Beauty and Spa.
So berangkatlah ane kesana untuk facial. Awalnya agak khawatir juga soalnya takut gak cocok gitu, apalagi ini kan wajah. tapi karena diyakinkan teman-temanku ada dokter yang menangani langsung aku pun sedikit tenang.
Dari penampilan luar, kayaknya sih oke meski aku merasa gak senyaman waktu ke Martha Tilaar. Masuk dah langsung naik tangga dan disambut sama receptionist. Setelah menunggu 10 menitan, akhirnya aku masuk ke ruang perawatan.
Secara ketika berjalan menyusuri koridor Ester, jujur aku agak deg-degan. Kira-kira lokasinya seperti apa yah? enak gak ya nanti nangani facialku? dan lain sebagainya.
Dan eng...ing...eng....
Jujur aku setengah kecewa ngelihat tempat perawatan facial yang disediakan oleh Ester. Ruangan yang luas itu terbagi dalam sekat-sekat di kanan-kiri dengan bed dan kaca ukuran sedang yang diletakkan di sekat-sekat tersebut.
Mmmm...sebenarnya emang kayak gitu dimana-mana. di Miracle or Miliderma juga kayak gitu. CUMAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA....kok gitu sih??
Aku lantas dipilih di salah satu bilik yang dah tersedia, ganti baju dan aku memilih pasrah untuk ditangani oleh ahlinya. standar sih. yang beda ada dokternya yang 'membakar' mukaku gak tau dengan apaan. kaya bor kecil gitulah. aku pun mencium bau gosong.
yang bikin aku rada keki tapi lucu juga sih, tempat facialnya rameeee banget. mulai dari obrolan antara pasien dengan dokternya, suara hape, suara air dari wastafel, dan petugas Ester yang mondar-mandir buat ambil air atau cuci tangan PLUS suara mirip bor yang bikin aku setengah ketawa setengah jengkel.
hm.......
intinya perawatan disana asyik soalnya ada dokternya
tapi jadi gak rileks gitu disana saking ramenya

beda suasana ama di Martha Tilaar.
Tapi enak di Ester soalnya ada dokternya

Tapi di Martha Tilaar ada lagunya, di Ester or Miracle or Miliderma gak ada
But disini lebih medis dan profesional

halah...

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej