Vicky Prasetyo (Sumber : merdeka.com) Ramai masalah perbedaan makna kata membuatku teringat pada memori masa SMA (cieee..). Momen ketika pertama kali pindah ke Surabaya dari Bogor. Pindah ke Surabaya, sempet takut gak ngerti. Maklum, saat di Bekasi diajak ngobrol Bahasa Indonesia, logat betawi dan sedikit bahasa Sunda. Pindah ke Bogor, duh tambah lieur dengan dialek tetangga. Di rumah pun lebih banyak berbahasa Indonesia, kalo pun kromo inggil paling tahunya "Bapak Sare", "Bapak dahar", "Bapak Siram" daon semacamnya. Saat pindah ke Surabaya, ibu meyakinkan tidak ada bahasa aneh-aneh. Arek Suroboyo asik-asik, cuma seneng ngomong kurang apik. Misuh, kata ibu. Maka saat bersekolah, ya udah masuk sesantai mungkin. Sampe pada akhirnya ada teman sekelas, menyebut diriku "gatel". Refleks aku bilang aku gak gatel kok, ga ada yang kegigit. Lah kok koncoku nambahi kata C*k sambil tertawa. Loh loh loh onok opo iki kok aku tiba-tiba dipisuhi dan...
happy, healthy, wealthy