Skip to main content

Kisah Vivi Aria-Eko Ardianivan Mengharap Buah Hati Lewat Bayi Tabung

Penantian panjang pasangan Vivi Aria Nursella-Eko Ardianivan Dewangga akan kehadiran buah hati berakhir sudah. Lewat teknologi bayi tabung, pasutri yang menikah selama lima tahun tengah menanti kelahiran jabang bayi.
Ditemui usai kontrol di Klinik Morula IVF Surabaya, wajah Sella tampak sumringah. Begitu juga sang suami yang setia menemani. “Alhamdulillah sekarang usianya (kehamilan) tiga bulan,” kata Sella.
Perempuan 24 tahun itu berkisah jika dirinya sudah tiga kali melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan. Ketiga dokter itu menyatakan pasangan ini baik-baik saja.
“Saya nunggu tapi kok gak hamil-hamil. Akhirnya nekad ke klinik ini, waktu masih ada di Jalan Bogowonto, Surabaya,” jelasnya.
Di klinik ini, dia ditangani salah satu dokter
Ilustrasi (www.pixabay.com)

Tadinya pasangan ini berniat melakukan inseminasi. Namun pemeriksaan dokter menunjukkan jika suaminya diketahui menderita teratozoospermia, suatu gangguan dimana bentuk dan ukuran sperma abnormal. Sehingga tidak cukup berkualitas untuk membuahi sel telur.
“Oleh dokter Ben (dr. Benediktus Arifin) disarankan bayi tabung saja. Karena kepengen sekali punya anak, ya kami mau,” bebernya.
Karena sudah bertekad ingin memiliki anak, dia pun rela merogoh kocek dalam-dalam. Tak kurang dana Rp100 juta dikeluarkannya demi memiliki buah hati.
“Kalau ditotal dengan biaya hidup dan transportasi, sudah habis Rp130 jutaan,” ujar Eko.
Sella lalu menceritakan dokter memproses 16 sel telur miliknya dan sembilan sperma dari suaminya. Dari sembilan itu, yang dinyatakan berkualitas baik ada lima. Setelah itu, sperma dan telur dipertemukan di luar tubuh. Lalu ditanamkan di dalam rahimnya lima hari sesudahnya. Dirinya harus full bedrest selama dua minggu.
“Satu bulan kemudian langsung dinyatakan positif hamil. Dan minggu kelima jantungnya sudah didengar dan semua ada, lengkap,” tuturnya.
Dia pun merasa seperti orang hamil pada umumnya. Namun dia tak mengalami muntah-muntah. Setiap dua minggu sekali, Sella melakukan check up. “Hari ini (kemarin, red) saya menjalani tes kromosom terkait down syndrom. Setelah itu kembali ke Ponorogo,” ujarnya sembari menyatakan ingin melahirkan di Ponorogo saja.
Ada kabar yang menyebut bahwa proses bayi tabung sakit, lalu apa pendapat Sella? “Tidak ada yang sakit, saya nikmati semua prosesnya karena ingin punya anak,” tegasnya.
Kini dia tinggal menjaga janinnya agar tetap sehat. Dokter menyebut ada beberapa hal yang pantang dia makan seperti kacang-kacangan, susu kedelai, sayur mentah (lalapan), kopi dan teh.
“Penantian lima tahun diberikan program ini alhamdulillah berhasil,” pungkasnya.


--
artikel ini sebelumnya tayang di lensaindonesia.com 

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej