Skip to main content

Jokowi Digelari Jancuk, Ternyata Begini Makna Jancuk Sebenarnya

JATIMNET.COM, Surabaya - Calon Presiden (Capres) Joko Widodo atau Jokowi mendapat julukan baru di Kota Surabaya. Dalam acara Deklarasi dan Penyematan PIN Tim Blusukan Jatim #01 itu, capres inkumben tersebut mendapat julukan “Jokowi Jancuk”.
Sang pencetus, Djadi Galajapo yang dalam acara tersebut bertindak sebagai MC, menjelaskan tidak menampik banyak yang menilai ujaran “jancuk” sebagai  hal tidak baik. Tapi, “Bagi Arek Suroboyo itu tidak negatif,” kata komedian asal Surabaya itu, Sabtu 2 Februari 2019 kemarin.
Benarkah “jancuk” adalah ujaran yang tidak baik? 
Sejarawan Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menjelaskan, kata “jancuk” mulanya berkonotasi negatif. Ada beberapa varian pengucapannya, ada yang “jancuk”, “dancuk”, atau hanya “cuk” dan “cok”. Kata “cuk” secara harfiah berarti mematuk, memasukan sesuatu dengan paruh, memasukkan sesuatu ke lubang.
“Memang di awal-awal zaman kolonial, kata ini lebih cenderung ke makna negatif yaitu disetubuhi dan biasanya merujuk pada pelacur,” kata Dwi saat dihubungi Jatimnet.com, Minggu 3 Februari 2019. 
Ujaran ini diperkirakan muncul pada saat zaman kolonial, terutama di lingkungan kerakyatan, bukan masyarakat priyayi. Pengucapannya pun hanya di wilayah Jawa Timur, khususnya wilayah dengan budaya Arek seperti di Surabaya dan Malang.  Namun di wilayah Jatim dengan budaya Osing atau Mataraman, kata “jancuk” lebih dipersepsikan sebagai sebuah narasi yang menyinggung perasaan.
“Pada kala itu, ujaran ini bermakna umpatan yang bisa menimbulkan ketersinggungan bahkan kemarahan orang lain,” katanya.
Setelah berjalan sekian lama, kata “jancuk” mengalami transformasi dan diversifikasi makna yang lebih positif. Dwi memerkirakan pisuhan bernada keakraban khas Arek Suroboyo muncul di awal kemerdekaan RI sekitar tahun 1960-an. Lagi-lagi, penggunaannya masih di kalangan rakyat menengah ke bawah. 
Dia mengatakan “jancuk” mengalami transformasi dan diversifikasi. Maknanya juga tak lagi tunggal. Tidak lagi hanya bermakna disetubuhi, atau bentuk umpatan, tapi juga menjadi sebagai ungkapan keakraban, sebuah kekaguman, rasa penasaran, kemarahan, dan jadi identitas penggunanya.  Tapi pemaknaannya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan mengikuti konteks kalimatnya.
“Kata ‘jancuk’ tidak lagi bermakna tunggal. Semua tergantung kepada kesamaan dalam memaknainya,” katanya. 
Meski sudah mengalami perubahan makna, penggunaan kata “jancuk” tetap tidak bisa sembarangan digunakan. Budaya arek yang egaliter tetap memahami tata krama yang ada di masyarakat.  “Coba kalau yang datang kemarin itu cawapres Ma’ruf Amin, berani apa tidak kasih julukan sama seperti Jokowi,” ujarnya, tertawa.
Menurut Dwi, si pencetus termasuk nekad menjuluki mantan Gubernur DKI Jakarta itu dengan kata “jancuk”. Dia mengatakan apa yang dilakukan Djadi Galajapo bukan sekedar langkah baru bagi pisuhan ini, melainkan sudah melompat karena disematkan kepada sosok yang punya jabatan lebih tinggi, yaitu presiden.
“Di Surabaya saja, belum semua kalangan mau menerima kata jancuk sebagai sebuah keakraban. Nah ini malah disematkan kepada Pak Jokowi. Ini sudah bukan melangkah, tapi melompat,” ujarnya.
 Dwi meminta agar penyematan ini tidak secara membabi buta dianggap umpatan kepada seorang kepala negara. Dia mengatakan perlu dikaji kompeherensif apakah si pencetus itu memiliki maksud untuk menghina atau bukan.
“Saya kira kalau yang menyematkan adalah seorang pendukung, artinya julukan itu bukan sebuah umpatan, tapi keakraban,” terangnya.
Reaksi Jokowi yang tidak berlebihan dalam merespons julukan ini juga dipuji Dwi Cahyo. Meski orang Solo, Jokowi dinilai mampu memahami konteks kultur tiap daerah yang dia kunjungi. “Meski dia orang Solo, tetap cengar-cengir dijuluki seperti itu. Karena Pak Jokowi lagi ada di Surabaya. Artinya beliau memahami ada kultur yang berbeda dengan dia. Ini perlu kebesaran hati,” ujar Dwi.
Meski penggunaannya sudah mengalami transformasi, Dwi berharap tidak sembarangan mengunakan kata “jancuk”. Pemaknaannya tetap harus disesuaikan dengan kondisi sosial dan bahasa. “Pada akhirnya memang rasa bahasa bisa membedakan makna jancuk. Yang awalnya bermaksud guyub malah jadi geger,” katanya.

Comments

Popular posts from this blog

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran ...

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,...

Uang Tunai Hilang, Onde-onde Melayang

Kehidupan manusia di era digital sangat dimanjakan. Ada smartphone, smarthome, sampe udah ada konsep smartcity. Begitu juga kehidupan sehari-hari banyak teknologi memudahkan manusia. Salah satunya uang digital.  Saat ini, saya termasuk pengguna aktif uang digital. Kemana-mana ga pernah bawa uang cash banyak... Secukupnya aja. Biasanya Rp50 ribu. Paling banyak Rp100 ribu. Buat beli bensin atau sekedar jaga-jaga ban bocor/kempes. Kalo ga ada insiden di atas, bisa berhari-hari ngendon di dompet. Kartu debet aneka bank.  Ada kartu vaksin juga. Wkwkkw Lah gimana enggak? Belanja di minimarket, gesek kartu debet. Lewat tol, pake e-money. Beli pulsa, bayar tagihan, BPJS, langganan internet, tinggal tutul-tutul aplikasi keuangan di hape. Belanja makanan tinggal scan barcode hape. Hmm apalagi yah... Banyak deh.  Uang digital emang membantu banget sih buat saya. Karena ga harus bawa uang yang banyak. Otomatis di dompet cuma berisi KTP, SIM, STNK, dan kartu ATM. Wkwkkwkw... Gak enakn...