Skip to main content

Tim Robot UGM Sabet Dua Emas di Amerika

 Subjudul: Siasati Dana Minim dengan Daur Ulang

 

Tim Robot Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta menorehkan prestasi mentereng di ajang Robogames 2012 yang dihelat di San Mateo, Amerika Serikat. Mereka merebut dua medali emas dan satu medali perak dari tujuh kategori yang diikuti. Banyak pengalaman yang ditimba selama mengikuti kompetisi tahunan yang diikuti ribuan engineering dari berbagai Negara itu.  


NANI MASHITA/radar jogja
GEMILANG: Tim Robot Universitas Gadjah Mada Jogjakarta yang sukses merengkuh prestasi di Amerika Serikat, kemarin (26/4).


NANI MASHITA, Jogja

Noer Aziz Ismail mencoba menstabilkan robot yang memiliki dua roda di atas lantai tekel sembari menekan remote yang biasa digunakan untuk televisi. Tidak lama kemudian, robot itu mampu berjalan meski hanya menggunakan dua roda.
"Robot ini menang dalam kategori isrobot stand balancing, robot keseimbangan dengan dua roda," katanya ditemui di Stana Parahita UGM kemarin (26/4).
Robot ini berhasil meraih prestasi tinggi. Robot itu menyabet medali emas.
Medali lain dipersembahkan dari kategori Iron Fire Robot yang mempertandingkan lomba memadamkan lilin (fire fighting). Sedangkan medali perak dipersembahkan dari kategori robot i-kinematic berkaki untuk kategori jalan haling rintang atau walker challenge.
Selain UGM, tim robotika Unikom Bandung juga berhasil menambah perolehan emas untuk Indoensia. Unikom berhasil mendapatkan 3 medali emas dalam kompetisi ini.
Ajang ini berlangsung di San Mateo Amerika Serikat 20-22 April lalu dengan melombakan 59 kategori. Peserta berasal dari 16 negara seperti Argentina, Denmark, India, Jepang, Korea, dan Amerika. "Kami hanya mengikuti tujuh kategori saja karena keterbatasan personel, robot dan juga dana. Selain itu ada beberapa kategori yang belum pernah kita ikuti seperti combat," aku Aziz.
Prestasi ini cukup baik mengingat keikutsertaan UGM dalam ajang ini merupakan kali pertama. Tim yang dikirim terdiri dari Luis Rizki Ramelan (Teknik Elektro 2009), Noer Aziz Ismail (Teknik Elektro 2009) dan Ridwan Widoyoko (Teknik Mesin 2008).
Kompetisi robot internasional ini merupakan event tahunan yang diikuti oleh 236 tim dari 16 negara yang membawa 682 robot dengan 1.039 engineer. "Latar belakang pesertanya beraneka ragam mulai dari anak-anak, penghobi, mahasiswa hingga kakek-kakek," papar Aziz. 
Ridwan Widoyoko menambahkan keberangkatan timnya ke Amerika merupakan perwakilan dari tim robot yang dimiliki oleh UGM. timnya membuat robot secara keroyokan antara Fakultas Teknik, Fakultas MIPA dan Sekolah Vokasi. Meski berlabel lomba, tapi tingkat kompetisi tidak setegang di Indonesia. "Kalau disana yang dikedepankan adalah fun. Kalah ya santai saja, karena cenderung menganggap itu sebagai sebuah games," katanya.
Bahkan, dia dan teman-temannya bisa menimba banyak ilmu tentang pembuatan robot dari sejumlah engineering disana. Lagi-lagi, Ridwan mengatakan para pemogram tidak pelit untuk berbagi ilmu. "Jauh-jauh ke Amerika kalau tidak menimba ilmu tentu sayang sekali. Jadi kita banyak tanya-tanya terutama dalam membuat robot humanoid," akunya.
Meski mengirimkan satu robot untuk ikut kategori humanoid, tim UGM gagal menyabet juara. Aziz menerangkan robotnya kalah jauh dibandingkan dengan robot dari tim luar negeri yang gerakannya lebih luwes dengan variasi gerakan lebih banyak.
"Di sana, engineering sudah punya modul sendiri dengan alat-alat yang juga bikin sendiri," terangnya.  
Ridwan mengatakan selama mengikuti kompetisi, Luis mengaku sempat ngos-ngosan karena panitia setempat sering mengubah-ubah jadwal lomba. "Contohnya saat lomba kategori kungfu, ternyata panitia juga menggelar kategori line follower. Padahal operatornya hanya satu. Jadi, lari-lari," katanya sembari tersenyum. 
Aziz melanjutkan kemenangan robot-robotnya dalam even tersebut salah satunya disebabkan karena kehandalan dan kestabilan robot yang jarang mengalami error. Ini menyebabkan catatan waktu robot tim UGM jauh lebih cepat dibandingkan tim lain.
Untuk kategori fire fighting diperhitungkan yang paling cepat mematikan api lilin, kategori balancing race memperhitungkan kecepatan untuk mencapai garis finish, sama seperti penilaian untuk kategori walker challenge
Padahal mereka hanya mempersiapkan diri selama kurang lebih dua bulan meski tidak maksimal mengingat kesibukan perkuliahan. Yang menarik, para mahasiswa ini belajar tentang kestabilan lewat video yang diunggah di situs youtube.com. "Kami sering buka youtube untuk melihat triknya supaya tetap stabil dan handal," kata Aziz. 
Diakuinya, persiapan yang dilakukan timnya untuk maju ke ajang tersebut hanya dua bulan saja. Dana yang dikeluarkan untuk pembuatan robot itupun bervariasi antara Rp 500 ribu hingga Rp 40 juta per unit. Ini berbeda dengan peserta lomba robot yang biasanya menghabiskan dana minimal Rp 100 juta per unitnya. Beberapa robot UGM yang diikutsertakan juga daur ulang dari robot-robot yang sebelumnya pernah ikut berlomba di ajang nasional. "Ada yang didaur ulang karena keterbatasan dana tadi," imbuhnya.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Penelitian, dan Riset Fakultas Teknik UGM Prof Ir Jamasri PhD menyebutkan sebelum Robogames 2012 tim UGM juga telah mengikuti kompetisi Trinity Fire Fighting Home Robot Contest and RoboWaiter Competition (TCFFHCRC) pada 2011 lalu. Saat itu tim robot UGM berhasil meraih medali emas dan perak pada kategori Senior Wheeled Robot. "Tahun lalu tim robot UGM berhasil membawa 1 medali emas dan 1 medali perak. Kali ini prestasi meningkat menjadi 2 medali emas dan 1 perak," katanya.
Direktur Kemahasiswaan UGM Drs Haryanto menambahkan, UGM sangat mendukung upaya pengembangan robot yang dilakukan mahasiswa. Sejak 2005 telah mensinergikan sejumlah fakultas yaitu Fakultas Teknik, MIPA, dan sekolah vokasi menjadi sebuah tim untuk pengembangan robot. "Prestasi tim robot kita sendiri baru terlihat dalam tiga tahun terakhir," akunya.
Lebih lanjut, kampus menegaskan terus memberikan dukungan terhadap pengembangan tim robot. Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah rencana memberikan ruang khusus bagi pengembangan robot di UGM yang akan ditempatkan di lantai 3 gedung bekas perpustakaan UGM. (*/amd)


##dimuat di RadarJogja##

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej