Skip to main content

Capres PAS dan JOIN dalam kacamata mamah muda

Yuhuuu...hawa panas Pemilihan Presiden 2019 makin bikin gerah. Tak cuma buat dua paslon kita yaitu Pak Jokowi-KH Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, juga partai koalisi pengusung pasangan ini.

Terutamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....para mamah muda kayak kita-kita ini.

Lho kok bisa???

Ya bisa dong.

1. Pemilihan cawapres mirip kayak drakor

Tahu drakor kan...itu loh drama korea yang sering menguras energi, air mata dan cucian kita (loh).
Gimana gak menguras emosi kalau pemilihan cawapres ini ibarat drama yang berseri-seri ditungguin sejak tahun kemarin.
Kapan nih Pak Jokowi milih cawapres?
Kapan nih Pak Prabowo milih isteri...eh maksudnya cawapres juga.

Dan rasa drama itu semakin dramatis setelah Pak Mahfud MD yang mantan Ketua MK itu gagal jadi cawapres Pak Jokowi. Padahal doi udah sempet bilang dirinya jadi cawapres itu udah panggilan sejarah.

Udah pede 100 persen, ngurus surat sana-sini, udah siap-siap datang ke Plataran Menteng, mak bedunduk yang dipilih Pak Jokowi adalah seorang ulama kharismatik KH Ma'ruf Amin. Beliau udah usia 71 tahun loh. Surprise? Eike sih iya, ini mah lebih tua dari Pak Jusuf Kalla. Tapi yakin deh kadar keimanan beliau lebih baik.



Pak Prabowo?
Samaaaaa drama-nya juga. Apalagi ada mantan tentara ganteng, imut, nan macho mirip Song Joong-ki, Agus Harimurti Yudhoyono. Baliho dimana-mana, di jalan utama, bikin pengendara (baca: aku) gak fokus. Aduuuhh....gitu kok ya banyak yang bully, padahal dia anak presiden, mantan tentara, istri cantik dan punya harta. Lah yang nge-bully? (fokus please)

Udah harap-harap cemas, pengen punya cawapres kayak AHY tapi kok bekingnya bapak baper se-Indonesia. Duh duh duh....rasanya kayak makan buah simalakama.

Belum lagi ditambah ada hiruk-pikuk ijtima' ulama....Prabowo katanya harus gandeng ulama sebagai cawapresnya. Byuh....byuuh....

Ndilalah, yang dipilih adalah Sandiaga Uno, wagub DKI Jakarta yang juga salah satu orang terkaya di Indonesia.

Jedeeeeeeeeeeeeeerrrr...begitu denger, eike mesam-mesem gimana gitu. Karena dalam benak muncul, si babang pakai pelembab apaan sih kok bisa ganteng maksimal gitu? *glodak

2. Sentimen pasar

Dan ikutan deg-degan karena takutnya pemilihan cawapres ini bakal berimbas negatif pada pasar, terutama pasar modal. Emang sih, kita gajinya gak pake dolar, tapi kalau udah ada judul "sentimen negatif"...byuuhhh rasanya langit runtuh.

Soalnya kan imbasnya bakal ke harga telor, ayam, bawang merah, beras, serta cabe-cabean. (maksudnya cabe rawit, cabe merah besar, cabe hijau gitu).

Gini ini deh yang gak eike sukai dari politik. Kagak ada wujudnya, kagak bisa dipegang, tapi segala kebijakan dan langkah yang diambil para pengambil kebijakan/pemimpin negeri/kepala daerah itu berimbas pada harga-harga makanan. Sesuasu deh...

Noted: Ya moga-moga aja para suwamik paham ikutan naikkan uang belanja karena harga sembako di tukang sayur naik semua.

3. Milenial

Nah dua paslon ini sama-sama berebut untuk jadi yang milenial. Apaan sih ini?

Milenial tuh maksudnya generasi muda, pemilih pemula, ya semacam Dilan-Milea gitu. Bedanya kalau Dilan-Milea itu baby boomers (era 90-an), maka generasi muda tahun 2000-an itu disebut generasi milenial.

Generasi milenial ini diidentikkan dengan gadget, media sosial, kritis, dan kalau menurut saya agak apatis pada politik. Kalau politisi X dianggap gak asyik, gak seru, gak update, gak kekinian, suka ngomong mencla-mencle, ya siap-siap aja goodbye.

Makanya banyak politisi yang mencoba untuk terlihat tampil lebih milenial. Nah kita lihat aja Pak Jokowi coba tampil milenial dengan pakai sneakers (banyak yang protes itu bukan gaya asli beliau, tapi Pak Dahlan Iskan).

Atau gaya Sandiaga Uno yang hobi banget olahraga dan pakai pelembab bibir. *eh

Trus hubungannya buat mamah muda apa?
Ya enak aja ngeliat para paslon itu keliatan fresh, segar, muda.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej