Skip to main content

Malati dan anak indigo

Apa hubungannya antara Malati dan anak indigo?

Pada suatu ketika, saya bersama Ayun mengikuti lomba mewarnai dalam rangka  memeriahkan HUT RI yang ke-73. Acara itu dilaksanakan di salah satu ruangan di BG Junction, sebuah mal di Surabaya yang berada di kawasan Bubutan.

Selain ada acara mewarnai, ada beberapa kegiatan pendukung seperti konsultasi psikologi, talkshow serta finger print untuk menilai karakter anak. Awalnya agak kurang mood karena peserta yang saya himpun jauh dari harapan. Tapi tak apalah, demi menyenangkan Ayun maka saya harus bergembira. Toh saya ketemu teman-teman saat di acara tersebut.

Usai mewarnai, kami pun menunggu pengumuman lomba dilakukan. Ternyata diisi dengan talkshow yang sebenarnya sangat menarik. Diisi pembicara dari PAUDNI, yaitu Kak Iful, membahas tentang tsunami teknologi bagi perkembangan anak-anak kita.

Apa itu tsunami teknologi? Itu adalah sebuah serangan teknologi pada anak-anak yang pada akhirnya bisa menggangu tumbuh kembang anak-anak kita. Salah satu 'alat serangan' ialah dari orang tua, yang kini lebih suka memberi handphone kepada anaknya agar tidak mengganggu aktivitasnya.

Selanjutnya?  Kapan-kapan aja deh aku tulis yah..eheheh

Menunggu hasil lomba yang gak kelar-kelar dan bertele-tele bikin bete sebenarnya. Acara pendukung lainnya juga gak menarik. Hahahaa...maklum acara anak TK. Kalau yang tampil bukan anak kita kok males gitu. kikukikukikukikuk......

Alhasil, saya pun bergeser ke booth untuk finger print. Katanya gratis.....ya siapa juga yang gak mau kalau gratis.

Maka jari-jemari Ayun pun diletakkan ke alat sensor sidik jari. Baru tet...yang pertama, si mbak-mbak (yang katanya) psikolog menyebut 'indigo'.

Hah? Lak aku melongo bunderrrr serrrrr ngunu rekk

"Iya anak ibu ada bakat indigo. Sebentar ya saya selesaikan," kata si mbak itu.

Setelah selesai 10 jari kanan-kiri dicatat, dia menjelaskan bahwa karakter anak sulungku yang tercantik ini 40 persen Ayun adalah anak yang memakai perasaan, 30 persen indigo dan 30 persen logika.



Sebenernya tahu sih ada anak-anak indigo di sekitar saya. Tapi gak nyangka aja anak sendiri yang disebut anak indigo. 

"Bagus gak sih anak indigo? Maksudnya untuk perkembangan anak saya," tanya dong ya...

"Ya gak papa bu. Memang punya bakat indigo. Dia bisa melihat  mahluk-mahluk astral. Bahkan kalau ibu membiarkan (bakat ini) nanti dia bisa ngomong sama mahluk tersebut."

Loh mbak kok medeni alias syereeemmm gitu

"Ah yang bener mbak? Aku takut loh ama mahluk astral yang gak keliatan gitu," hiks sambil begidik

"Iya memang seperti itu bu. Bahkan kalau sudah besar, sudah mengerti, dia bisa tahu tentang hal-hal yang akan terjadi. Misalkan dia ingin menang di lomba menggambar ini, itu berarti bakal terjadi dan dialami oleh dia."

"Istilahnya malati."

Lak tambah bundeerrr serrrr ngowo-ku

"Kok bisa ada bakat gituan mbak?", (batinku: iki anake sopoooooo ^-^)

"Apa ibu bisa liat mahluk astral gitu?" tanya si mbak yang kujawab gelengan kepala (ojok sampek rekk)

"Ya mungkin ada bakat dari suami, atau mungkin kakek dan neneknya," kata si mbak.
 Perkara malati-malati-an, yang jago itu ibuku. Segala sesuatu yang ia sebutkan, tentang orang, tentang peristiwa, itu pasti akan kejadian. Atau mungkin juga dari sang kakek buyut, yang konon bisa menangkap tuyul yang meresahkan masyarakat.

Aku juga sih pernah gitu juga. Pernah kehilangan tempat pensil baru dengan isi lengkap di sebuah taman kanak-kanak, bikin  mangkel. Ya mangkel aja gitu. Mencari ke segala penjuru gak ketemu. Aku pun merutuk, siapapun yang mengambil tempat pensilku bakal sakit.

Ladalah...besoknya ada anak TK yang gak masuk seminggu gara-gara penyakit kulit.

Dulu pun pernah menyebut, "Gak bakal nikah selama ayah masih hidup."

Ladalah...kok kejadian.

Terkenang hal - hal itu pun membuat diri ini penasaran. Apakah Ayun itu dapat bakat indigo dari mamahnya. Si mamah ini pun menyodorkan jari jemari gemuknya yang sampai sekarang gak bisa lentik ini. Ke-GR-an sepertinya bakat itu dari akyu.

Teettt....tettt...tett...

"Ibu sosok yang gampang melebur ke semua komunitas, bisa membuat nyaman siapa aja. Tapi begitu gak nyaman sama seseorang, benar-benar gak suka," kata si mbak psikolog.

"Gak ada indigo-nya mbak," kataku ngarep banget.

"Nggak...."
 "Trus, gimana mbak cara belajar anak saya ini yang punya bakat indigo? Mengganggu gak ?"

"Hmmm..nganu kalau itu kita harus teliti lagi. Ada tes lanjutan yang mbayar," kata si mbak tersenyum simpul.

Oalaaah...si mamah batal dapat gratisan lagi.


Betewe, nulis malam-malam gini kok mendadak begidik yaaaa.....

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej