Skip to main content

Empu keris masa lalu ternyata sudah kenal teknologi

Pengantar:

Tulisan ini jelasnya bukan tulisan saya. Judulnya pun merupakan bentuk rasa takjub saya pada para empu keris yang teryata lebih cerdas dari yang kita kira. Beruntung ada kawan Kompas yang mau memberikan tulisan Ahmad Arif untuk dibaca isinya dan siapa tahu menginspirasi pembaca disini untuk lebih mencintai kebudayaan sendiri. Selamat menikmati.


---

Sebagai warisan budaya yang diakui UNESCO, pengetahuan kita tentang keris cenderung sangat kurang. Kalaupun keris didiskusikan, biasanya aspek bentuk, pamor, dan mistiknya. Padahal, senjata ini juga bisa dilihat sebagai produk budaya yang menandai kemajuan ilmu dan teknologi metalurgi masyarakat Nusantara di masa lalu.

Sebagai sebuah produk budaya, keris menyebar di hampir seluruh Nusantara, utamanya di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dan Madura, dengan berbagai variasi penyebutan. Bahkan, keris juga ditemui di Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Aneka variasi keris dan senjata pusaka lain dari berbagai daerah di Nusantara ini yang akan dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta pada 11-16 Agustus 2015. Sebagian besar yang dipamerkan adalah senjata pusaka masyarakat pesisir. Selain itu juga akan digelar sarasehan dan diskusi tentang keris bahari.

Budaya Nusantara

Asal-usul keris hingga sejauh ini masih menjadi perdebatan. Sebagian menyebutnya berasal dari Jawa, misalnya Bambang Harsrinuksmo dalam Ensiklopedi Keris (2004). Namun, sebagian menyebutnya berasal dari budaya Melayu, seperti Sir Thomas Raffles dalam The History of Java (1817). Yang jelas, UNESCO telah menyebut keris sebagai a distinctive, asymmetrical dagger from Indonesia.

Penyebaran keris yang meluas menunjukkan bahwa teknologi ini pernah dipertukarkan secara intensif melalui kegiatan pelayaran di masa lalu. Bukan hanya teknik pembuatannya yang dipertukarkan, logam untuk membuat keris juga merupakan komoditas pelayaran yang penting. Misalnya, besi Luwu (Sulawesi Selatan) yang dikenal sebagai bahan pamor keris diperdagangkan ke Jawa (Majapahit) sejak abad ke-14 (Ian Caldwell, 1998), dan masih terjadi hingga tahun 1930-an (Harsrinuksmo, 2004).

Menurut sejarawan Bugis, Edward L Poelinggomang, besi Luwu diekspor melalui Teluk Bone, dan menjadi komoditas penting bagi pelaut Bugis dan Jawa. "Selain pedagang Majapahit, pedagang dari Buton juga mengambil bijih besi dari Luwu dan membangun industri besi di Kepulauan Tukang Besi, sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Wakatobi," katanya.

Tak hanya besi Luwu, beberapa wilayah lain di Nusantara juga tercatat memiliki kekayaan material bahan baku. Misalnya, Minangkabau yang disebut memiliki "Gunung Besi" dan telah ditambang selama berabad-abad sebelum datangnya era industri besi modern oleh Belanda pada abad ke-18.

Seperti disebutkan Marsden (1783), para perajin Minangkabau "sejak dari dulu sekali sudah membuat persenjataan untuk digunakan sendiri dan untuk memasok penduduk bagian utara dari pulau tersebut". Demikian halnya, Bangka dan Belitung telah mengekspor besi serta perkakas besi melalui penguasa di Palembang (Tome Pires, 1515). Sementara Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat sebelum tahun 1500 telah menambang bijih besi yang mengandung titanium dari pegunungan Jawa barat daya (Anthony Reid 2014).

Spesifikasi besi yang bervariasi ini rupanya telah dikenali para empu, pembuat keris, sejak lama. Hal ini misalnya termaktub dalam Serat Paniti Kadgo (1929), yang pada bab pertama mendeskripsikan karakter sedikitnya 20 jenis besi bahan keris.

"Deskripsi Serat ini menunjukkan penguasaan masyarakat tradisional tentang besi, yang merupakan dasar penting bagi metalurgi keris," kata Jimmy S Harianto, pemerhati dan kolektor keris. "Sayangnya, teknologi pembuatan ini jarang dipelajari lagi. Kebanyakan masyarakat sekarang melihat keris hanya dari segi bentuknya atau malah mistik. Kalaupun ada yang meneliti aspek ilmu dan teknologinya, justru orang asing."

Teknologi metalurgi

Sebagai bagian dari tosan aji (senjata pusaka), keris dianggap unik karena berhasil memadukan seni mengolah besi sehingga menghasilkan produk yang memiliki dimensi fungsional (kuat, ringan, dan tajam), namun juga memiliki tampilan menawan. Kuat tetapi ringan, dan ketajaman keris biasanya diperoleh dari lapisan besi dan baja yang ditempa melalui proses berlapis. Tampilannya yang elok diperoleh dari besi pamor, yang dicampurkan ke dalam bilah ini melalui berbagai teknik.

Penelitian yang dilakukan ahli fisika nuklir, Haryono Arumbinang, terhadap sejumlah keris di Jawa kuno menemukan pamor dalam senjata pusaka ini memiliki kandungan besi (Fe) dan arsenikum (As). Selain itu, unsur yang dominan dijumpai adalah titanium (Ti). Adapun nikel (Ni) juga dijumpai pada bilah walaupun frekuensinya tidak sebanyak Ti. Dalam dunia modern, titanium dan nikel dikenal sebagai logam berkualitas tinggi karena sifatnya yang kuat, ringan, dan tidak berkarat. Titanium menjadi bahan pembuat pesawat dan menjadi bahan mahal.

Menariknya, pengujian yang sama terhadap perkakas sabit (alat pertanian) kuno ternyata tidak menemukan unsur Ti, hanya Fe dan Mn, sehingga disimpulkan bahwa penggunaan unsur Ti dan Ni untuk keris merupakan kesengajaan. "Kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa para empu di masa lalu telah mengenal dan melakukan ilmu paduan logam untuk memperbaiki mutu bahan," tulis Arumbinang (1996).

Kecanggihan metalurgi ini menghasilkan masyarakat Nusantara di masa lalu yang dikenal sebagai salah satu produsen senjata bermutu. Seperti dicatat Tome Pires (1515), hasil kerajinan besi Jawa dikenal indah, utamanya keris dan pedang, yang diekspor sampai ke India.

Berada di persilangan tumbukan lempeng benua, Nusantara merupakan negeri dengan geologi ekstrem. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya jumlah gunung api-mencapai 127 gunung api yang merupakan jumlah terbanyak di dunia. Keaktifan geologi inilah yang juga memicu negeri ini kerap dilanda gempa bumi dan tsunami. Namun, setting geologi ini pula yang menyebabkan negeri ini memiliki kekayaan mineral logam, seperti emas, perak, besi, nikel, timah, dan titanium.

Masyarakat tradisional Nusantara terbukti memiliki ilmu dan teknologi memanaskan batu hingga menjadi perkakas logam sehingga bisa menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa besar lain di dunia. Namun, jika kita melihat situasi terkini, kebanyakan mineral alam yang dihasilkan negeri ini lebih banyak diekspor dalam bentuk mentah, yang menunjukkan ada kemunduran peradaban.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul "Kecanggihan Para Empu Keris".
Link

Atau baca link ini

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej