Once again...
Menjadi orang tua yang benar-benar ideal adalah perjuangan yang sangaaaatt luar biasa.
Kesadaran ini mendadak muncul ketika seorang kawan memposting bagaimana anaknya, yang ketika awal di Jakarta ia punya kemampuan berbahasa Inggris lumayan. Ketika dibawa ke negara ayahnya di Chinese, ia dipaksa berbahasa Mandarin. Ia mengalami kebingungan bahasa (menurutku). Si ibu juga takut anaknya telat berbicara.
Sang ibu, yang kawan saya itu, akhirnya memilih pulang ke Indonesia dan memasukkannya ke sekolah TK dengan bahasa pengantar Inggris. Awalnya si anak marah dan menolak mengikuti apa kata guru dan tak mau duduk di kursi. Pada pekan kedua, si ibu dengan tegas tak mau menunggui anaknya di kelas.
Jadi dia menunggu di lobi sekolah dan memantau anaknya lewat CCTV. Dan tebak apa, si anak mendadak sangat patuh dan mengikuti kelas serta mau duduk.
Dan ajaibnya, hal itu bisa membuat pasangan merasa paling bahagia di dunia.
Kurang lebihnya seperti itu.
Sebenarnya kemarin, Minggu (9/8/2015) saya sudah mendapatkan pemikiran seperti itu namun belum jelas benar. Seperti ada benang kusut berputar-putar di kepalaku.
Ceritanya, saya menjenguk kawan yang isteri baru saja melahirkan putera kedua. Tak dinyana, isterinya dan saya berbagi cerita tentang anak masing-masing.
Dan saya baru tahu, anaknya berusia 3 tahun masih sulit bicara dan menolak makan nasi. Dia maunya bubur halus.
Saya yang bercerita Ayun yang masih berbicara "hmm...hmm..." atau "ah...uh..." dan belum punya gigi serta berat badannya masih kurang (memuaskan saya), merasa terdiam. Ada yang perjuangannya lebih besar ketimbang saya dalam membesarkan anaknya.
Tapi ya itu...saya belum menemukan kesimpulannya. Benang kusut itu benar-benar belum bisa diurai saat itu.
Dan sore ini benang kusut itu mulai terurai.
Tiap anak itu unik. Tak bisa disamakan satu sama lain. Karena anak bukan buatan pabrik.
Orang tua juga tak boleh memaksakan anaknya menjadi seperti yang dia inginkan. Misal umur sekian harus bisa bicara, umur sekian harus bisa makan makanan kasar dan bla bla bla bla.
Anak bukan buatan pabrik yang kita bisa pesan spesifikasinya.
Anak adalah sebuah berkah. Amanat.
Jangan dibandingkan dengan anak orang lain.
Konsepnya seperti itu. Praktiknya, butuh kesabaran dan keikhlasan hati untuk bisa mendidik anak menjadi orang yang sukses - yang ini masih belum kepikir gimana caranya. Banyak contoh tapi untuk praktik, saya cuma bisa menjawab entah, wallahualam.
Yang lebih penting adalah bersyukur dan bersyukur.
Surabaya, 10 Agustus 2015
Menjadi orang tua yang benar-benar ideal adalah perjuangan yang sangaaaatt luar biasa.
Kesadaran ini mendadak muncul ketika seorang kawan memposting bagaimana anaknya, yang ketika awal di Jakarta ia punya kemampuan berbahasa Inggris lumayan. Ketika dibawa ke negara ayahnya di Chinese, ia dipaksa berbahasa Mandarin. Ia mengalami kebingungan bahasa (menurutku). Si ibu juga takut anaknya telat berbicara.
Sang ibu, yang kawan saya itu, akhirnya memilih pulang ke Indonesia dan memasukkannya ke sekolah TK dengan bahasa pengantar Inggris. Awalnya si anak marah dan menolak mengikuti apa kata guru dan tak mau duduk di kursi. Pada pekan kedua, si ibu dengan tegas tak mau menunggui anaknya di kelas.
Jadi dia menunggu di lobi sekolah dan memantau anaknya lewat CCTV. Dan tebak apa, si anak mendadak sangat patuh dan mengikuti kelas serta mau duduk.
Dan ajaibnya, hal itu bisa membuat pasangan merasa paling bahagia di dunia.
Kurang lebihnya seperti itu.
Sebenarnya kemarin, Minggu (9/8/2015) saya sudah mendapatkan pemikiran seperti itu namun belum jelas benar. Seperti ada benang kusut berputar-putar di kepalaku.
Ceritanya, saya menjenguk kawan yang isteri baru saja melahirkan putera kedua. Tak dinyana, isterinya dan saya berbagi cerita tentang anak masing-masing.
Dan saya baru tahu, anaknya berusia 3 tahun masih sulit bicara dan menolak makan nasi. Dia maunya bubur halus.
Saya yang bercerita Ayun yang masih berbicara "hmm...hmm..." atau "ah...uh..." dan belum punya gigi serta berat badannya masih kurang (memuaskan saya), merasa terdiam. Ada yang perjuangannya lebih besar ketimbang saya dalam membesarkan anaknya.
Tapi ya itu...saya belum menemukan kesimpulannya. Benang kusut itu benar-benar belum bisa diurai saat itu.
Dan sore ini benang kusut itu mulai terurai.
Tiap anak itu unik. Tak bisa disamakan satu sama lain. Karena anak bukan buatan pabrik.
Orang tua juga tak boleh memaksakan anaknya menjadi seperti yang dia inginkan. Misal umur sekian harus bisa bicara, umur sekian harus bisa makan makanan kasar dan bla bla bla bla.
Anak bukan buatan pabrik yang kita bisa pesan spesifikasinya.
Anak adalah sebuah berkah. Amanat.
Jangan dibandingkan dengan anak orang lain.
Konsepnya seperti itu. Praktiknya, butuh kesabaran dan keikhlasan hati untuk bisa mendidik anak menjadi orang yang sukses - yang ini masih belum kepikir gimana caranya. Banyak contoh tapi untuk praktik, saya cuma bisa menjawab entah, wallahualam.
Yang lebih penting adalah bersyukur dan bersyukur.
Surabaya, 10 Agustus 2015
Comments