Skip to main content

Ayam Taliwang Bersaudara jadi buah bibir di Singapura di ajang World Street Food Congress 2015

Siapa yang tak kenal dengan kuliner Ayam Taliwang Bersaudara? Makanan khas masyarakat Sasak,Lombok, NTB, ini berhasil mengharumkan nama Indonesia dalam ajang World Street Food Congress (WSFC) 2015 di Singapura.

Saat ini, anak-anak generasi kedua Ayam Taliwang Bersaudara mulai terjun langsung mengelola brand kuliner ini. Salah satunya Vivi, yang mengaku ikut berjibaku dalam WSFC 2015. Keikutsertaan yang dibantu Bango itu juga mengajak Soto Ambengan Pak Sadi dan Gudeg Yu Nap, Surabaya, serta Kupat Tahu Gempol, Bandung.

Perempuan cantik ini mengaku terkejut saat mengetahui bila kuliner yang diciptakan keluarganya mendapat apresiasi tinggi. Bahkan, ia tak menyangka resep asli bisa disajikan dan diterima penikmat kuliner internasional.

“Biasanya kan kalau kita bawa menu ke luar negeri harus menyesuaikan rasa dengan standar internasional.Nah ini nggak. Kita bahkan diminta untuk menyajikan resep aslinya,” ujarnya saat ditemui di Festival Jajanan Bango 2015 di Grand City Mall, Minggu (31/5/2015).
Namun, sebelum bisa ‘berlaga’ di ajang tersebut, seluruh peserta diwajibkan mengikuti semacam kursus singkat. Dari sini, Vivi memahami orang luar negeri sangat perhatian tentang masalah higienitas.

“Untuk cuci tangan saja, ada tujuh tahapan. Dan kalau sudah mencuci, tangan kita tak boleh mematikan kran. Harus pakai tisu,” katanya terheran-heran.

Vivi mengatakan menemui hambatan selama ikut ajang tersebut. Salah satunya soal ayam yang biasanya jenis ayam kampung, yang lumayan sulit diperoleh disana. Karena tak mungkin membawa dari Indonesia,maka pihaknya beli ayam disana namun khusus bagian sayap.

“Tapi untuk bumbu kami gunakan bumbu asli, bahkan cabe hitam dibawa langsung dari Lombok,” ujarnya.

Yang membuat kaget, booth Ayam Taliwang bersaudara diserbu masyarakat Singapura yang merupakan multietnis. Bahkan, mereka pun tak ragu untuk mencicipi kuliner yang terkenal dengan rasa super pedasnya tersebut.

“Sebaliknya, para bule itu saling menantang antar temannya untuk mau mencicipi rasa pedas ini. Syukurlah tanggapannya positif,” kata Vivi.

Booth Ayam Taliwang Bersaudara laris manis diserbu pembeli. Antrean pembeli mengular hingga dua baris. “Saya sempat takut juga, kok banyak banget yang beli. Kapan habisnya,” katanya setengah terkekek.

Booth yang sedianya tutup pukul 23.00 WIB itu tutup lebih awal karena diserbu pembeli. Berapa pastinya pembeli yang membeli bisa dihitung dari jumlah porsi yang terjual yang fantastis. “Kita jual 2000 porsi tiap harinya,” katanya.

Ayam Taliwang memiliki 12 cabang yang ada di Bali, Jakarta dan Bandung. Bahkan punya satu cabang di New Zealand. ” Mudah-mudahan bisa buka cabang di Surabaya,” pungkasnya.

Ini linknya

Gimana rasanya Ayam Taliwang? Sebagai mantan pecinta masakan pedas, menu ini wajib dicoba. KALAU BERANI...hahahaa

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej