Tak ada yang ingin jatuh sakit. Menurunnya kesehatan membuat hidup menjadi tak nyaman. Namun di Indonesia bukan hanya hidup yang tak nyaman, sakit juga berarti seseorang harus merogoh kocek dalam-dalam. Nanti dulu bicara soal perawatan di rumah sakit. Untuk sekadar menebus resep obat kita sudah dibuat mengurut dada. Mahalnya harga obat-obat sudah melampaui batas kemampuan ekonomi masyarakat banyak.
Mahalnya harga obat di Indonesia bukan cerita baru. Hal ini sudah menjadi keluhan sejak lama. Kebijakan pemerintah untuk mengedarkan obat generik yang diklaim lebih murah dari obat paten malah berbalik. Di lapangan pasien ternyata mendapatkan fakta bahwa harga obat generik yang diresepkan dokter lebih mahal ketimbang obat paten [baca: Pengawasan Kurang, Harga Obat Mahal].
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Kesehatan serta Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga mengakui harga obat di Indonesia mahal bukan kepalang. Disinyalir harganya ada yang mencapai 200 kali lipat dari harga di pasaran internasional. Yang mengagetkan, salah satu penyebabnya tak lain tingginya biaya promosi dari produsen obat untuk dokter, rumah sakit serta apotek.
Tidak usah mencari pembenaran jauh-jauh, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Anthony Ch. Sunarjo tidak menampik sinyalemen tersebut. Menurutnya, cara-cara perusahaan farmasi dalam memasarkan produknya sudah sangat berlebihan. "Misalnya dalam mensponsori acara ilmiah kedokteran, kan tidak harus di hotel berbintang," ujarnya.
Pangkal masalah mahalnya harga obat mudah ditelusuri. Saat ini ada lebih dari 200 produsen obat besar dan kecil di Indonesia, sementara konsumsi tidak seberapa, bahkan kalah jauh dibandingkan Kuwait yang memiliki penduduk cuma tiga juta jiwa.
Hal ini kemudian menciptakan persaingan tidak sehat di antara perusahaan farmasi yang ada. Mereka berlomba-lomba merayu dan melobi dokter, rumah sakit serta apotek, agar obat mereka menjadi acuan utama dalam pemberian obat kepada pasien. Jika berbagai kiat melariskan produk itu masih dalam koridor etika kedokteran yang ada, tentu bisa menerima. Namun yang terjadi sebaliknya.
Sejumlah sales obat yang kerap berhubungan dengan dokter atau rumah sakit menyebutkan bahwa memberikan bonus atau hadiah kepada dokter sesuatu yang wajar bagi mereka. Jangan pula kaget kalau servis yang diberikan kini semakin dahsyat. Mulai dari tawaran potongan harga besar-besaran, hadiah mobil, komisi bulanan, berlibur ke luar negeri hingga menyuguhkan wanita penghibur.
Denny Wahyudi, seorang manajer sebuah produsen obat menilai semua kiat itu bisa diterima dari sisi bisnis, meski dari sudut pandang etika tidak benar karena sangat merugikan konsumen obat. "Tapi bagaimana lagi, orientasi dokter sekarang memang bisnis. Jarang sekali kita melihat dokter yang idealis dalam menjalankan misi mereka," paparnya.
Meski enggan memberikan keterangan secara langsung, para dokter yang ditemui Tim SIGI mengakui adanya pemberian hadiah atau komisi dari produsen obat melalui sales sebagai perpanjangan tangan. Dokter Syaffra Birwen misalnya, mengaku pernah didatangi salesman obat yang meminta dirinya meresepkan produk obat mereka kepada pasien. Bahkan, dia tahu betul kalau praktik tersebut sudah berlangsung sejak dia belum menjadi dokter. "Perjanjiannya hanya tahu sama tahu, tidak mungkin tertulis, si dokter bakal terjerat jika melakukan itu," ujarnya.
Lebih gamblang lagi, seorang manajer sebuah produsen obat sebut saja namanya Hendrik, menjelaskan lebih rinci praktik yang dijalankan perusahaannya. Menurut Hendrik, persaingan di antara sesama perusahaan farmasi yang sudah melampaui batas membuat cara-cara promosi tidak lagi sesuai dengan etika. Misalnya dalam hal pemberian hadiah kepada seorang dokter, harus sesuai dengan kebutuhan profesi. Seperti memberi stetoskop masih dibolehkan. Kalau pendingin ruangan atau mobil itu jelas-jelas dilarang.
Kendati demikian kini kesepakatan antara seorang dokter dan sales obat sudah langsung mengarah ke jumlah angka nominal uang yang diinginkan. "Angka itu bisa jadi kita yang menawarkan atau permintaan dari dokternya," jelas Hendrik.
Biasanya kata Hendrik, produsen obat akan berusaha mencari informasi tentang harga obat yang ditawarkan oleh kompetitor kepada seorang dokter. Jika harga sudah diketahui, akan dicari pula informasi tentang servis yang diberikan kompetitor kepada si dokter. "Kemudian kita akan memberikan harga yang lebih bersaing dengan servis yang juga lebih agar dokter bersangkutan memilih produk kita," cerita Hendrik.
Dengan cara-cara seperti itu tidak aneh kalau uang yang digelontorkan perusahaan farmasi untuk keperluan promosi membuat kita 'kagum'. Menurut penelitian Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), biaya promosi serta servis bagi dokter dalam setahun ditaksir lebih dari Rp 500 miliar.
Ketua YPKKI dokter Marius Widjajarta menambahkan, bukan hanya dokter, sebagian besar rumah sakit juga ikut-ikutan melakukan praktik tercela tersebut. Bahkan ada perusahaan obat yang memberikan bantuan miliaran rupiah untuk menambah fasilitas serta membangun gedung rumah sakit. "Kalau itu sampai terjadi maka celakalah pasien kita," ungkap Marius dengan nada prihatin.
Adanya perselingkuhan di antara produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba. Misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. "Ada obat yang tidak perlu diberikan tapi tetap ditulis dalam resep," ujar mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohammad. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama.
Dengan perselingkuhan di belakang layar antara dokter, rumah sakit atau apotek dengan perusahaan farmasi, yang menjadi korban tak lain para pasien. Kartu keluarga miskin (gakin) tidak lagi jaminan bahwa seorang pasien akan terbebas dari biaya berobat.
Di Rumah Sakit dokter Sardjito Yogyakarta misalnya, Tim SIGI menemukan seorang pasien pemegang kartu gakin bernama Ngalimun mengaku masih diharuskan membayar sejumlah biaya. "Saya tetap diminta membayar pembelian infus," ujarnya.
Namun keterangan berbeda diberikan pejabat di bagian hubungan masyarakat rumah sakit ini Trisno Heru Nugroho. Menurutnya pihak rumah sakit telah membebaskan semua pasien gakin dari segala biaya. "Asal mereka mengikuti semua persyaratan pelayanan bagi pemegang kartu gakin," jelasnya. Lantas, bagaimana dengan Ngalimun?
Ketua Umum IDI Farid Anfasa Moeloek tidak menolak adanya kolusi antara dokter atau organisasi profesi dengan produsen obat. Di satu sisi dia menyadari bahwa produsen obat memerlukan biaya dalam produksi serta pemasarannya. "Tapi mengambil keuntungan jangan terlalu berlebihan, yang penting itu kelayakan," jelasnya.
Farid sendiri punya ide untuk menghilangkan gejala tak baik tersebut. Caranya adalah dengan menciptakan sebuah sistem pembayaran kesehatan di depan bagi para dokter dan paramedis. "Dengan sistem prabayar dalam bentuk asuransi, orientasinya bukan lagi sakit, tapi sehat," papar Farid.
Namun Kartono melihat masalah utama selama ini adalah kurang tegasnya IDI terhadap anggota. Apalagi mereka yang bertugas menindak juga turut serta dalam lingkaran bisnis jual-beli obat di belakang layar tersebut. "Jadi wajar saja penindakan menjadi lemah," jelasnya.
Kalau begitu, ada baiknya penertiban dilakukan terlebih dahulu dari kalangan dokter. Pasalnya jika seorang dokter berani berkata "tidak" pada produsen obat, hal ini tak akan terjadi. Begitu juga jika seorang dokter memahami misi mulia profesi yang diembannya, tak mungkin resep yang diberikan bakal membuat pasien bertambah sakit memikirkan cara menebus deretan obat dengan harga selangit.(ADO/Tim SIGI)
Silakan klik disini
Mahalnya harga obat di Indonesia bukan cerita baru. Hal ini sudah menjadi keluhan sejak lama. Kebijakan pemerintah untuk mengedarkan obat generik yang diklaim lebih murah dari obat paten malah berbalik. Di lapangan pasien ternyata mendapatkan fakta bahwa harga obat generik yang diresepkan dokter lebih mahal ketimbang obat paten [baca: Pengawasan Kurang, Harga Obat Mahal].
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Kesehatan serta Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga mengakui harga obat di Indonesia mahal bukan kepalang. Disinyalir harganya ada yang mencapai 200 kali lipat dari harga di pasaran internasional. Yang mengagetkan, salah satu penyebabnya tak lain tingginya biaya promosi dari produsen obat untuk dokter, rumah sakit serta apotek.
Tidak usah mencari pembenaran jauh-jauh, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Anthony Ch. Sunarjo tidak menampik sinyalemen tersebut. Menurutnya, cara-cara perusahaan farmasi dalam memasarkan produknya sudah sangat berlebihan. "Misalnya dalam mensponsori acara ilmiah kedokteran, kan tidak harus di hotel berbintang," ujarnya.
Pangkal masalah mahalnya harga obat mudah ditelusuri. Saat ini ada lebih dari 200 produsen obat besar dan kecil di Indonesia, sementara konsumsi tidak seberapa, bahkan kalah jauh dibandingkan Kuwait yang memiliki penduduk cuma tiga juta jiwa.
Hal ini kemudian menciptakan persaingan tidak sehat di antara perusahaan farmasi yang ada. Mereka berlomba-lomba merayu dan melobi dokter, rumah sakit serta apotek, agar obat mereka menjadi acuan utama dalam pemberian obat kepada pasien. Jika berbagai kiat melariskan produk itu masih dalam koridor etika kedokteran yang ada, tentu bisa menerima. Namun yang terjadi sebaliknya.
Sejumlah sales obat yang kerap berhubungan dengan dokter atau rumah sakit menyebutkan bahwa memberikan bonus atau hadiah kepada dokter sesuatu yang wajar bagi mereka. Jangan pula kaget kalau servis yang diberikan kini semakin dahsyat. Mulai dari tawaran potongan harga besar-besaran, hadiah mobil, komisi bulanan, berlibur ke luar negeri hingga menyuguhkan wanita penghibur.
Denny Wahyudi, seorang manajer sebuah produsen obat menilai semua kiat itu bisa diterima dari sisi bisnis, meski dari sudut pandang etika tidak benar karena sangat merugikan konsumen obat. "Tapi bagaimana lagi, orientasi dokter sekarang memang bisnis. Jarang sekali kita melihat dokter yang idealis dalam menjalankan misi mereka," paparnya.
Meski enggan memberikan keterangan secara langsung, para dokter yang ditemui Tim SIGI mengakui adanya pemberian hadiah atau komisi dari produsen obat melalui sales sebagai perpanjangan tangan. Dokter Syaffra Birwen misalnya, mengaku pernah didatangi salesman obat yang meminta dirinya meresepkan produk obat mereka kepada pasien. Bahkan, dia tahu betul kalau praktik tersebut sudah berlangsung sejak dia belum menjadi dokter. "Perjanjiannya hanya tahu sama tahu, tidak mungkin tertulis, si dokter bakal terjerat jika melakukan itu," ujarnya.
Lebih gamblang lagi, seorang manajer sebuah produsen obat sebut saja namanya Hendrik, menjelaskan lebih rinci praktik yang dijalankan perusahaannya. Menurut Hendrik, persaingan di antara sesama perusahaan farmasi yang sudah melampaui batas membuat cara-cara promosi tidak lagi sesuai dengan etika. Misalnya dalam hal pemberian hadiah kepada seorang dokter, harus sesuai dengan kebutuhan profesi. Seperti memberi stetoskop masih dibolehkan. Kalau pendingin ruangan atau mobil itu jelas-jelas dilarang.
Kendati demikian kini kesepakatan antara seorang dokter dan sales obat sudah langsung mengarah ke jumlah angka nominal uang yang diinginkan. "Angka itu bisa jadi kita yang menawarkan atau permintaan dari dokternya," jelas Hendrik.
Biasanya kata Hendrik, produsen obat akan berusaha mencari informasi tentang harga obat yang ditawarkan oleh kompetitor kepada seorang dokter. Jika harga sudah diketahui, akan dicari pula informasi tentang servis yang diberikan kompetitor kepada si dokter. "Kemudian kita akan memberikan harga yang lebih bersaing dengan servis yang juga lebih agar dokter bersangkutan memilih produk kita," cerita Hendrik.
Dengan cara-cara seperti itu tidak aneh kalau uang yang digelontorkan perusahaan farmasi untuk keperluan promosi membuat kita 'kagum'. Menurut penelitian Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), biaya promosi serta servis bagi dokter dalam setahun ditaksir lebih dari Rp 500 miliar.
Ketua YPKKI dokter Marius Widjajarta menambahkan, bukan hanya dokter, sebagian besar rumah sakit juga ikut-ikutan melakukan praktik tercela tersebut. Bahkan ada perusahaan obat yang memberikan bantuan miliaran rupiah untuk menambah fasilitas serta membangun gedung rumah sakit. "Kalau itu sampai terjadi maka celakalah pasien kita," ungkap Marius dengan nada prihatin.
Adanya perselingkuhan di antara produsen obat dengan dokter memang sulit dibuktikan. Namun bukan tidak bisa diraba. Misalnya dari jumlah dan jenis obat yang diresepkan seorang dokter. Bukan hal yang aneh dalam satu resep terdapat sampai lima jenis obat, padahal yang dibutuhkan pasien sebenarnya cuma tiga jenis obat. "Ada obat yang tidak perlu diberikan tapi tetap ditulis dalam resep," ujar mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kartono Mohammad. Begitu juga jika semua obat yang diresepkan berasal dari produsen yang sama.
Dengan perselingkuhan di belakang layar antara dokter, rumah sakit atau apotek dengan perusahaan farmasi, yang menjadi korban tak lain para pasien. Kartu keluarga miskin (gakin) tidak lagi jaminan bahwa seorang pasien akan terbebas dari biaya berobat.
Di Rumah Sakit dokter Sardjito Yogyakarta misalnya, Tim SIGI menemukan seorang pasien pemegang kartu gakin bernama Ngalimun mengaku masih diharuskan membayar sejumlah biaya. "Saya tetap diminta membayar pembelian infus," ujarnya.
Namun keterangan berbeda diberikan pejabat di bagian hubungan masyarakat rumah sakit ini Trisno Heru Nugroho. Menurutnya pihak rumah sakit telah membebaskan semua pasien gakin dari segala biaya. "Asal mereka mengikuti semua persyaratan pelayanan bagi pemegang kartu gakin," jelasnya. Lantas, bagaimana dengan Ngalimun?
Ketua Umum IDI Farid Anfasa Moeloek tidak menolak adanya kolusi antara dokter atau organisasi profesi dengan produsen obat. Di satu sisi dia menyadari bahwa produsen obat memerlukan biaya dalam produksi serta pemasarannya. "Tapi mengambil keuntungan jangan terlalu berlebihan, yang penting itu kelayakan," jelasnya.
Farid sendiri punya ide untuk menghilangkan gejala tak baik tersebut. Caranya adalah dengan menciptakan sebuah sistem pembayaran kesehatan di depan bagi para dokter dan paramedis. "Dengan sistem prabayar dalam bentuk asuransi, orientasinya bukan lagi sakit, tapi sehat," papar Farid.
Namun Kartono melihat masalah utama selama ini adalah kurang tegasnya IDI terhadap anggota. Apalagi mereka yang bertugas menindak juga turut serta dalam lingkaran bisnis jual-beli obat di belakang layar tersebut. "Jadi wajar saja penindakan menjadi lemah," jelasnya.
Kalau begitu, ada baiknya penertiban dilakukan terlebih dahulu dari kalangan dokter. Pasalnya jika seorang dokter berani berkata "tidak" pada produsen obat, hal ini tak akan terjadi. Begitu juga jika seorang dokter memahami misi mulia profesi yang diembannya, tak mungkin resep yang diberikan bakal membuat pasien bertambah sakit memikirkan cara menebus deretan obat dengan harga selangit.(ADO/Tim SIGI)
Silakan klik disini
Comments