Aku kaget juga. Ibu mendadak masuk ke kamar dan bercerita tentang pernikahan. Di akhir obrolan, beliau bertanya, “Sudah waktunya kamu memiliki pendamping hidup.” Waktu terasa lama bergulir saat aku menyerap kalimat itu. Dan jawaban yang aku berikan juga tidak memuaskan ibu. "Iya, nanti aku menikah ,” kataku dengan detak jantung berdegup terkejut. panic bottom(google) Wajahnya masih pucat kelelahan, tapi sudut bibirnya membentuk tawa yang tertahankan. Aku juga tak bisa menahan tawa mendengar cerita perempuan itu. Bilang saja namanya Dea, berusia 29 tahun, perempuan dengan segudang cita-cita dan punya kemauan keras. Isu “kapan menikah” sudah melandanya beberapa tahun terakhir. Ini semacam jadi serangan bertubi-tubi yang harus dia tangkis dengan tangkas. Antara sebal ditanyain tentang kapan menikah, sekaligus menjaga hati si "teroris kapan nikah". Sebenarnya bisa saja Dea memperoleh jodoh yang dia inginkan. Namun ada syarat yang sudah terceta...
happy, healthy, wealthy