Mata Restu berkedip-kedip menahan perih. Dia berada di tengah ruang putih bercahaya terang. Dia terduduk dengan mengangkat tangannya untuk melindungi matanya dari sinar itu.
Tidak ada suara. Tidak ada benda yang lain. Hanya putih dan terang saja. Waktu serasa tidak pernah ada di ruangan ini.
Rasanya sangat aneh. Mendadak, Restu mengira dia berada di sebuah ruang waktu sebelum dikirim ke surga atau neraka. Pikiran yang aneh di tengah situasi seperti ini. Tapi pelan namun pasti, benda-benda lain muncul satu per satu.
"Oh...ini sebuah kamar," lirihnya.
"Kamar Bumi!!!," serunya.
Dia berdiri. Kepalanya mendadak nyeri. Dia tidak ingat bagaimana dia ada di kamar ini. Yang baru saja dia tinggalkan beberapa menit lalu. Dia membelalak. Restu teringat lagi laku Bumi pada perempuan itu.
"Laknat! Arrrggghhh...." dia menggeram. Nafasnya menderu. Tapi tiba-tiba terang itu mendadak gelap. Dia kembali terjatuh. Sebelum matanya tertutup rapat, sepasang kaki mendekatinya. Restu tidak tahu apa yang dilakukan pria itu.
*****
"Bumi....," kata Restu.
Bumi hanya tersenyum. Dia membelai kening Restu.
Restu mencoba mengelak. Tapi tubuhnya seperti terbekap. Mulutnya hanya mengerang pelan.
"Maafkan aku....," Bumi berbisik. Restu terlelap. Dia lelah. *****
Suara hujan membangunkan Restu. Dia berjalan menuju jendela kamar. Membukanya. Menghirup bau hujan. Menikmati pias langit. Meresapi air yang terpecik. Restu selalu suka dengan hujan. Dan dia rindu Hujan.
Belum juga angannya mengawang-awang, Bumi muncul dari daun pintu. Dia tersenyum. Bau cokelat mendadak meruap bersetubuh dengan bau hujan. Restu merinding. Angannya kembali dibanting gravitasi.
"Minumlah, biar hangat. Kamu bicara apa dengan hujan?," senyum Bumi mengembang. Dia tahu Restu menyukai hujan.
Sekelebat, Restu teringat wajah kekanak-kanakkan Bumi akan selalu muncul tiap kali dia berbicara tentang hujan yang ajaib. Yang selalu bisa menyelimut hangat meski dingin tak tertahan.
Bumi tidak tahu itu.
"Hujan memang membuat kita merasa hangat ya," cetus Bumi lembut.
Restu tersentak.
"Aku juga mencari hujanku. Yang selalu membasahiku dengan kasih sayangnya. Dengan pelukannya. Tawanya. Dan juga mata manik-manik sepertimu," kata Bumi.
Wajah Restu memerah. Terkejut karena ucapan Bumi yang dikenalnya sebagai sosok yang kaku dan kuat, khas lelaki. Tidak pernah mendengar kalimat semanis itu keluar dari mulut Bumi.
Mendadak dia serasa terlempar ke nirwana, seperti tiap kali Hujan berkisah mengenai tutur camar. Camar itu julukan Hujan untuk Restu.
"Tapi hujan tidak pernah berubah tujuan. Selalu turun ke bumi," ketus Restu. Dia teringat hatinya perih.
Suaranya berat. Dia menekankan kata "tujuan"....mengharap Bumi paham kalau hatiya remuk redam karena perbuatan Bumi.
Bumi terdiam. Dia menatap nanar pada mata Restu. Matanya mencari pengampunan. "Restu....maafkan aku," iba Bumi.
...
Tidak ada kalimat yang terucap. Hanya rintik hujan.
"Aku pulang dulu," ujar Restu.
"Tapi diluar sedang hujan," kata Bumi sembari menarik lengan Restu yang sudah melangkah keluar kamar.
"Aku rindu hujan." Restu melangkah pergi.
Tidak ada suara. Tidak ada benda yang lain. Hanya putih dan terang saja. Waktu serasa tidak pernah ada di ruangan ini.
Rasanya sangat aneh. Mendadak, Restu mengira dia berada di sebuah ruang waktu sebelum dikirim ke surga atau neraka. Pikiran yang aneh di tengah situasi seperti ini. Tapi pelan namun pasti, benda-benda lain muncul satu per satu.
"Oh...ini sebuah kamar," lirihnya.
"Kamar Bumi!!!," serunya.
Dia berdiri. Kepalanya mendadak nyeri. Dia tidak ingat bagaimana dia ada di kamar ini. Yang baru saja dia tinggalkan beberapa menit lalu. Dia membelalak. Restu teringat lagi laku Bumi pada perempuan itu.
"Laknat! Arrrggghhh...." dia menggeram. Nafasnya menderu. Tapi tiba-tiba terang itu mendadak gelap. Dia kembali terjatuh. Sebelum matanya tertutup rapat, sepasang kaki mendekatinya. Restu tidak tahu apa yang dilakukan pria itu.
*****
"Bumi....," kata Restu.
Bumi hanya tersenyum. Dia membelai kening Restu.
Restu mencoba mengelak. Tapi tubuhnya seperti terbekap. Mulutnya hanya mengerang pelan.
"Maafkan aku....," Bumi berbisik. Restu terlelap. Dia lelah. *****
Suara hujan membangunkan Restu. Dia berjalan menuju jendela kamar. Membukanya. Menghirup bau hujan. Menikmati pias langit. Meresapi air yang terpecik. Restu selalu suka dengan hujan. Dan dia rindu Hujan.
Belum juga angannya mengawang-awang, Bumi muncul dari daun pintu. Dia tersenyum. Bau cokelat mendadak meruap bersetubuh dengan bau hujan. Restu merinding. Angannya kembali dibanting gravitasi.
"Minumlah, biar hangat. Kamu bicara apa dengan hujan?," senyum Bumi mengembang. Dia tahu Restu menyukai hujan.
Sekelebat, Restu teringat wajah kekanak-kanakkan Bumi akan selalu muncul tiap kali dia berbicara tentang hujan yang ajaib. Yang selalu bisa menyelimut hangat meski dingin tak tertahan.
Bumi tidak tahu itu.
"Hujan memang membuat kita merasa hangat ya," cetus Bumi lembut.
Restu tersentak.
"Aku juga mencari hujanku. Yang selalu membasahiku dengan kasih sayangnya. Dengan pelukannya. Tawanya. Dan juga mata manik-manik sepertimu," kata Bumi.
Wajah Restu memerah. Terkejut karena ucapan Bumi yang dikenalnya sebagai sosok yang kaku dan kuat, khas lelaki. Tidak pernah mendengar kalimat semanis itu keluar dari mulut Bumi.
Mendadak dia serasa terlempar ke nirwana, seperti tiap kali Hujan berkisah mengenai tutur camar. Camar itu julukan Hujan untuk Restu.
"Tapi hujan tidak pernah berubah tujuan. Selalu turun ke bumi," ketus Restu. Dia teringat hatinya perih.
Suaranya berat. Dia menekankan kata "tujuan"....mengharap Bumi paham kalau hatiya remuk redam karena perbuatan Bumi.
Bumi terdiam. Dia menatap nanar pada mata Restu. Matanya mencari pengampunan. "Restu....maafkan aku," iba Bumi.
...
Tidak ada kalimat yang terucap. Hanya rintik hujan.
"Aku pulang dulu," ujar Restu.
"Tapi diluar sedang hujan," kata Bumi sembari menarik lengan Restu yang sudah melangkah keluar kamar.
"Aku rindu hujan." Restu melangkah pergi.
Comments