Skip to main content

Besarkan Kampus hingga Urusan Piring

Profesor Pratikno, Rektor Terpilih UGM

NAMANYA pendek: Pratikno. Tetapi dengan predikat guru besar, sudah bisa dibayangkan prestasinya tidak sependek nama pemberian orang tua. Terlebih kini, setelah pria kelahiran Desa Donogede, Tambak, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, ini terpilih sebagai Rektor Universitas Gadjah mada periode lima tahun ke depan, kesibukannya bertambah.

Meski begitu, ia tetaplah sosok relevan dan simple. Dengan dua jurus itu, Pratikno yang dikenal dengan panggilan akrab Pak Tikno atau cukup Pak Tik ini ingin membangun sinergitas antarfakultas. Tujuannya, menjadikan kampus Bulaksumur menjadi rujukan penyelesaian masalah bangsa

Ketika ditemui wartawan Radar Jogja Nani Mashita pekan lalu di ruang Wakil Dekan III, Praktikno yang akan dilantik sebagai rektor pada 28 Mei, tengah menjawab sejumlah email dari pemuda binaan di desa asalnya. Selama kurang lebih 30 menit, ia sibuk membalas email.

Jemarinya tampak lincah menari-nari di atas tuts keyboard. Keseriusan di wajah menunjukkan jika email tersebut benar-benar penting. ”Saya kan punya lembaga pemberdayaan pemuda, namanya Ademos (Asosiasi untuk Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial, Red),” katanya.

Lembaga ini bertujuan memberdayakan pemuda di desanya. Setidaknya ada 11 pemuda yang dibina di bidang peternakan, pertanian, maupun industri kreatif. ”Sayang sekali kalau mereka tidak dikawal,” katanya.



Sejak terpilih sebagai rector UGM, Anda sering hadir dalam kegiatan resmi kampus. Apakah memang sedang magang?

(…ia tak langsung menjawab, tetapi tersenyum lebih dahulu…) Sebetulnya bukan magang. Saya punya kepentingan untuk tahu tentang permasalahan, agenda kerja dengan kompleksitas UGM yang luar biasa itu. Sehingga saya upayakan bertemu orang sebanyak mungkin. Selain itu, sudah mulai mempelajari dokumen-dokumen yang ada.

Sebagai orang yang full di kampus, sebenarnya sudah cukup mempelajari berbagai hal dan bersentuhan dengan banyak isu di UGM. Yang saya lakukan saat ini adalah pendalaman isu, terutama di luar sosio-humaniora seperti agrokompleks, teknik, medical science, yang bukan basic saya. (Pratikno adalah Dekan Fisipol, Red).

Isu apa yang menjadi perhatian utama?

Banyak hal yang saya pelajari, terutama tata kelola dan governance infrastruktur, keuangan, maupun kepegawaian. Kami juga harus merumuskan renstra (rencana strategis, Red) tahun depan, rencana operasional, dan anggarannya terutama statuta UGM terkait dengan status yang baru sebagai BLU.

Apa yang akan dikerjakan selama memimpin UGM?
Banyak hal pastinya. Di bidang riset, saya ingin menekankan pada riset yang fokus pada permasalahan dan hal-hal strategis bangsa. Didekati secara multidisipliner, dan melibatkan bukan hanya dosen, juga mahasiswa. Hal lain misalnya isu energi atau krisis pangan. Tidak hanya melibatkan satu fakultas, tapi sinergitas seluruh fakultas.
Saya ingin UGM ini heboh untuk memecahkan segala permasalahan bangsa. Selama jadi rektor, saya harus mau mendengar dan membuat UGM didengar. Tagline ideologi saya, UGM harus jadi rujukan bangsa. Dengan modal sebagai rektor, ingin membawa Indonesia bisa memanfaatkan sumber daya internal menyelesaikan masalah.

Apakah tidak takut dipolitisasi mengingat kedekatan Anda dengan politisi?

Yang penting kan tidak partisan. Tetap harus punya peran dalam politik. Kedekatan dengan politisi maupun pejabat merupakan zona privat, sedangkan menjadi rektor zona publik. Butuh integritas luar biasa agar zona ini tidak dilanggar. Dan, seorang akademisi terlatih untuk itu.

Sebagai rektor, saya akan menenggelamkan diri untuk mengembangkan kampus sekaligus ikut memecahkan permasalahan bangsa. Hidup bukan sekadar uang. Kepuasan itu sangat luar biasa. Orang harus punya legacy (warisan, Red) dan itu akan memunculkan kebanggaan luar biasa.

Menggerakkan seluruh elemen UGM pasti banyak hambatannya?

Ya, tentu saja sulit. Karena masyarakat kampus adalah orang-orang yang otonom, mandiri berpikir, dan berbicara dalam arena kebebasan akademik. Arena ini harus tetap dijaga dan tak boleh diganggu. Tetapi di saat yang sama, individu otonom harus dibangun sinergitas. Tapi ini jadi tantangan. Tipe kepemimpinan di kampus jelas berbeda dengan di birokrasi yang cenderung hierarki, satu komando. Sedangkan di kampus, yang utama adalah ide dan gagasan, kesepahaman, kegelisahan.

Rektor itu pekerjaan serius, karena berhadapan dengan orang-orang pintar. Sinergi adalah kunci utama. Selain itu, harus full of commitment, full time, dan full speed.

Mengapa?

UGM ini sudah maju di banyak hal. Yang bikin kurang menggelegar karena tidak dikerjakan bareng-bareng secara sinergis dan lintas disiplin. Misalkan pangan. Meski Fakultas Pertanian membuat bibit padi yang bisa produksi banyak, kalau tidak jadi komitmen politik, hal itu akan selesai begitu saja. Sehingga membutuhkan bantuan Fisipol. Tapi juga tidak akan jalan kalau ternyata Fakultas Ekonomi tidak ikut dalam diplomasi ekonominya.

Bagaimana agar UGM bisa bersaing dengan perguruan tinggi lain?

Paling tepat bagi UGM adalah membuka ruang sinergitas dengan perguruan tinggi lain, terutama di DIJ. Kalau sudah dilantiik jadi rektor, saya ingin melakukan pertemuan dengan para rektor se-DIJ dan Jateng untuk program spesifik dan relevan dengan kemajuan bangsa. Misalnya dalam mengembangkan turisme akademik, orang-orang yang datang ke Jogja ikut seminar di berbagai kampus di sini. Bisa dibayangkan bagaimana pariwisata tumbuh besar. Itu baru turis akademik. Belum lagi kalau UGM dan universitas lain mengembangkan best practices dalam teknologi pertanian bekerjasama dengan pemda, masyarakat, keraton, dan pakualaman. Ini akan jadi contoh pengorganisasian luar biasa.

Jadi rektor, sebuah cita-cita?

Sebenarnya cita-cita saya sederhana, pengen jadi orang yang relevan. Kalau tidak ada maka dicari orang lain. Saya bukan tipe penikmat kekuasaan, atau menggunakan kekuasaan untuk mengubah sesuatu. Saya menjadi rektor sebenarnya dimulai dari keterpaksaan karena mendapat dukungan teman-teman. Itu dimulai dari gagasan, kepercayaan, dan konsesus. Oleh karena itu saya enjoy saja.

Apakah keluarga tidak protes karena waktunya akan tersita untuk membesarkan kampus?

Istri saya memahami kesibukan ini. Saya katakan, lebih baik ketemu sebentar tapi punya kualitas tinggi, ketimbang tiap hari ketemu tapi bertengkar. Saya juga selalu upayakan untuk berkumpul dengan keluarga seperti menggunakan kendaran keluarga enam seat.

Di rumah, ruang tengah kami sulap sebagai tempat belajar dan kerja bareng. Jadi, ada sebuah meja besar dan semuanya duduk lesehan di sana. Anak-anak saya, meski sudah besar, kadang saat malam minggu saya ajak berkeliling bareng.

Sejak dulu, saya punya tugas meletakkan piring-piring yang dicuci ke tempatnya. Tiap hari membersihkan meja, membuat air panas, dan susu. Setelah itu, bersepeda statis yang diletakkan di depan meja makan. Jadi itu strategi di tengah kesibukan padat. (*/tya)

foto : M. Asim/Radar Jogja

Comments

Popular posts from this blog

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran ...

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,...

Uang Tunai Hilang, Onde-onde Melayang

Kehidupan manusia di era digital sangat dimanjakan. Ada smartphone, smarthome, sampe udah ada konsep smartcity. Begitu juga kehidupan sehari-hari banyak teknologi memudahkan manusia. Salah satunya uang digital.  Saat ini, saya termasuk pengguna aktif uang digital. Kemana-mana ga pernah bawa uang cash banyak... Secukupnya aja. Biasanya Rp50 ribu. Paling banyak Rp100 ribu. Buat beli bensin atau sekedar jaga-jaga ban bocor/kempes. Kalo ga ada insiden di atas, bisa berhari-hari ngendon di dompet. Kartu debet aneka bank.  Ada kartu vaksin juga. Wkwkkw Lah gimana enggak? Belanja di minimarket, gesek kartu debet. Lewat tol, pake e-money. Beli pulsa, bayar tagihan, BPJS, langganan internet, tinggal tutul-tutul aplikasi keuangan di hape. Belanja makanan tinggal scan barcode hape. Hmm apalagi yah... Banyak deh.  Uang digital emang membantu banget sih buat saya. Karena ga harus bawa uang yang banyak. Otomatis di dompet cuma berisi KTP, SIM, STNK, dan kartu ATM. Wkwkkwkw... Gak enakn...