Skip to main content
Peserta Tuna Netra Sulit Jawab Soal UN * Negara Lakukan Diskriminasi

JOGJA - Keputusan panitia pusat Ujian Nasional yang tidak mencetak soal ujian dalam huruf braille menuai kontroversi. Langkah itu dianggap ceroboh dan menyulitkan siswa dalam menjawab pertanyaan UN.

Seperti yang terlihat di MTs Yaketunis (Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam) yang dalam ujian kemarin diikuti enam peserta. Kemarin, Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang diujikan di hari pertama. Sejumlah siswa terlihat kesulitan menjawab soal terutama yang berkaitan dengan denah. Dalam mendeskripsikan soal denah, pengawas kelas meminta peserta ujian mempraktekkan sejumlah lokasi dengan cara saling bergandengan tangan. "Bagian denah maupun bagan tetap akan sulit dipahami meski sudah dinarasikan seperti itu karena kemampuan memahami tiap anak berbeda-beda," keluh Kepala MTs Yaketunis, Agus Suryanto ditemui di sekolah, Senin (23/4).

Dia mengatakan siswanya kecewa karena pemerintah tidak menyediakan soal ujian dalam huruf Braille. Pihak sekolah sendiri terpaksa menyediakan sound system untuk membantu pengawas membacakan soal. "Kami juga hanya menyediakan satu paket soal karena kemungkinan contek-contekan kan tidak ada," ujarnya.

Pelaksanaan ujian sendiri diberi tambahan waktu selama 45 menit. Namun, meski ada tambahan waktu sejumlah siswa di MTs Yaketunis mengaku sulit menyelesaikan soal. "Kalau dibacakan memang lebih mudah, tapi untuk denah itu sulit sekali jawabannya," kata salah satu siswa MTs Yaketunis, Herfianto.

Dia menceritakan tadi sulit menjawab pertanyaan mengenai jalur paling cepat dari rumah sakit ke masjid. "Susah sekali karena kan cuma membayangkan," ungkapnya.

Dia berharap ke depan ada soal menggunakan huruf Braille terutama untuk mata pelajaran Matematika dan IPA. Untuk dua mata pelajaran itu dirasa lebih mudah jika membaca sendiri. "Kalau dibacakan pengawas nanti malah susah," ujarnya.

Siswa lain, Sulastri juga mengatakan kesulitan ketika menjawab grafik yang dibacakan. Begitu juga Imam Mahdi yang mengaku kesulitan mengingat bacaan panjang. "Saya kecewa karena nggak ada huruf braille," tuturnya.

Menanggapi hal ini, Dirjen Mandikdasmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Suyanto mengatakan ketiadaan soal berhuruf braille tidak perlu dipermasalahkan. Dari segi jumlah, peserta dengan kebutuhan khusus tidak lebih 70 ribu siswa. "Yang membutuhkan soal dengan huruf braille tidak lebih dari seribu orang. Jadi memang direncanakan sejak awal tidak ada braille. Jadi tidak perlu dipermasalahkan," ujarnya ditemui di sela-sela kunjungan di SMP Muhammadiyah 2.

Untuk membantu siswa tuna netra menjawab soal, dilayani oleh pengawas dengan cara dibacakan. Suyanto memastikan pengawas yang membacakan soal itu adalah mereka yang betul-betul punya kemampuan menarasikan soal untuk siswa tuna netra.

Suyanto membantah jika ada pelanggaran terhadap hak-hak siswa untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Mantan Rektor UNY itu menyatakan tidak adanya huruf braille untuk soal UN jangan disangkutpautkan dengan masalah filosofis. "Ini tidak melanggar HAM siapapun. Tidak adanya huruf Braille juga sudah dipertimbangkan matang-matang," tegasnya.


Dia juga menampik bila disebut hal ini menyulitkan siswa untuk berkonsentrasi. Menurutnya hal itu hanya persepsi orang saja. "Itu kan persepsi kamu, yang ujian saja tidak ribet kok," ucapnya.

Dia bahkan menegaskan hasil UN tidak akan terpengaruh dengan siswa tuna netra yang kesulitan tanpa soal huruf braille. Secara keseluruhan, pelaksanaan UN sendiri berjalan baik. "Saya bertaruh meski tanpa (soal dengan huruf) braile tidak akan mengurangi prestasi kita," katanya.

Ketiadaan soal berhuruf Braille dikecam Ketua Dewan Pendidikan Provinsi DIJ, Prof. Wuryadi. Menurut dia hal ini membuktikan kecerobohan panitia pusat dalam mempersiapkan UN. "Panitia UN lupa bahwa tidak semua orang bisa membaca huruf latin, tentu saya protes," katanya.

Dia menyebut jika hal ini bentuk sebagai pelanggaran HAM pada siswa karena telah mempersulit peserta UN. Wuryadi juga menyebut jika tidak dibuatnya soal UN dalam huruf braille sebagai sikap diskriminatif. Bahkan alasan jumlah yang sedikit dianggap tidak masuk akal. "Sedikit atau banyak (jumlah peserta UN tuna netra, red) tetap harus dilayani sama," tegasnya.

Data dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIJ menyebut siswa berkebutuhan khusus yang ikut UN SMP ada 39 orang. Wuryadi menambahkan akan memberikan masukan kepada panitia pusat UN maupun dinas setempat agar tetap memperhatikan siswa berkebutuhan khusus. "Kalau nanti ada gugatan, hal itu juga wajar," tegasnya.

Sementara itu, Kepala SMP Muhammadiyah 2 Dr. Suprapto mengatakan ada 291 siswa di 15 ruang kelas dalam pelaksanaan UN kali ini. Tercatat ada dua siswa yang mengerjakan soal UN di ruang khusus dengan fasilitas tempat tidur. Dua siswa itu adalah Muhammad Helmi Patria Diffa kelas IXF yang mengalami patah kaki yangg serius, dan Muhammad Rizaldy Abbyu kelas IXG yang sakit karena virus. "Untuk pengawas tetap dua orang," jelasnya. (sit)

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej