Biaya sekolah yang cukup tinggi membuat banyak siswa tak mampu bersekolah di sekolah elit. Namun demikian ternyata masih ada sebuah sekolah yang justru menggratiskan siswanya dari biaya apa pun. Itulah SD Juara 100 persen siswanya memang dari keluarga miskin.
Oleh: Nani Mashita
Sebuah lapangan luas langsung menyambut tatkala melewati gerbang sekolah yang sederhana. Di kanan kiri, pepohonan berukuran sedang tumbuh rindang. Angin pun berembus kencang seakan berlomba dengan deru kendaraan yang melintasi Jembatan MERR IIC.
Sekolah itu memang berada tepat di pinggir jembatan dengan cat kuning mencolok dipadu warna biru. Sederetan ruangan yang belum tuntas dibangun terlihat berjejer di sebelah kiri sehingga membuat sekolah itu terlihat bersahaja.
Halaman sekolah hanya diisi segelintir orangtua yang menanti anaknya pulang dari kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS). Tak lama, serombongan anak-anak baru saja kembali dari kegiatan salat berjamaah di mushola tak jauh dari sekolah.
Reyhan Taher Ramadan tampak berlarian di antara rombongan teman-temannya. Dia mengenakan pakaian berwarna hijau, senyumnya merekah menghias wajahnya yang hitam. Sang ayah, Kusnan, hanya mengawasi dari jauh, di depan pintu masuk kelas 1A. Tubuhnya beringsut pelan meminta Reyhan segera meninggalkan kelas. "Ayo pulang, sepatunya cepet dipakai," ujar Kusnan dengan suara tertahan.
Pria yang punya keahlian menyetir itu hanya melihat kelincahan Reyhan mengenakan sepatu. "Saya sekolahkan di sini karena tidak perlu bayar. Anak saya malah dapat seragam, buku dan sepatu," kata Kusnan, Selasa (13/7).
Ia memutuskan memasukkan Reyhan ke sekolah ini setelah mendapat saran dari tetangganya, Agus. Kusnan yang tinggal di Medokan Ayu Utara gang 14/11 itu memang resah dengan pendidikan anaknya. Tanpa pekerjaan dan disokong penghasilan istri yang bekerja serabutan, masa depan pendidikan putranya buram.
Awalnya menyekolahkan di SD negeri, yang gratis SPP, tetap tak menenangkannya. Apalagi kalau bukan masalah kebutuhan seragam, buku dan sepatu yang harus dipenuhi sendiri. Tekad Kusnan menyekolahkan ke sekolah negeri memudar setelah anak tetangga yang lain akhirnya putus sekolah karena tak kuat bayar. "Pak Agus itu akhirnya menyarankan masuk ke SD Juara buat sekolah anak saya," katanya.
Dia pun mencoba mempertimbangkan usulan ini dengan menyampaikan ke Reyhan. Tak diduga, ternyata bocah 7 tahun itu menyetujuinya. "Soalnya sekolahnya bertingkat," saut Reyhan yang sesekali nimbrung pembicaraan.
Selain sekolah yang gratis, pendidikan di sekolah ini juga menerapkan pendidikan agama. Penanaman agama penting dan perlu disampaikan di sekolah. "Karena saya sendiri tak paham agama dan tak bisa baca Al Quran. Jadi saya sekolahkan di sini supaya bisa (baca Al Quran)," akunya.
Pihak sekolah memang menggratiskan seragam merah putih, seragam kotak-kotak, olahraga, buku paket hingga siswa lulus sekolah. Selain itu, ada program makan bersama. Tak hanya itu, pendidikan di sini menerapkan sistem full day school.
Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SD Juara, Herwin Ardianto mengatakan, kurikulum dan pengajaran tak beda jauh dengan sekolah umumnya. Pemberian life skill juga sudah dimiliki seperti kegiatan Pramuka, seni musik, seni lukis, seni tari, futsal juara dan klub Bahasa Inggris. "Proyeksi ada klub Bahasa Mandarin dan Bahasa Arab," kata Herwin.
Sekolah juga memberikan pembelajaran agama dengan mematok target lulusan SD Juara minimal hafal 1 juzz Al Quran. Siswa juga berkesempatan mengikuti belajar di luar sekolah dengan melakukan ekspedisi flora ke Kebun Bibit. Ekspedisi fauna di Kebun Binatang Surabaya serta mengunjungi Pelindo III. Semester ini siswa juga akan diajak outing dengan menggelar tur ke museum saat 17 Agustus nanti.
Sebagai fasilitas, sekolah memiliki laboratorium komputer, jaringan internet, LCD 2 buah, serta media-media pembelajaran science seperti mikroskop, alat peraga biologi, loup, tabung reaksi juga ada.
Tahun ini, sekolah menerapkan kurikulum multiple intelegence (MI), yaitu metode pengembangan 8 kecerdasan anak. Di antaranya dari kecerdasan musikal, kecerdasan logis maupun kecerdasan matematis. Artinya sekolah tak hanya menerapkan kecerdasan kognitif tetapi secara menyeluruh potensi anak digarap.
Orangtua pun ikut digarap untuk menggenjot motivasi anak agar mandiri dan mendongkrak perekonomian keluarga. Sekolah membuat kurikulum parenting school dari LSU (learning support unit) untuk pendidikan motivasi jangka panjang. "Orangtua juga dibina bagaimana membuat anak rajin membaca, misalnya," katanya.
Dari Dana Zakat
Kepala SD Juara Yuni Istikhah menambahkan, kemampuan sekolah menggratiskan siswanya tak lepas dari pengelolaan dana zakat yang disuplai dari lembaga Rumah Zakat. Di Jatim, sekolah gratis yang dikelola lembaga ini memang pertama kalinya didirikan di Surabaya sejak tahun lalu.
Mereka yang masuk sekolah ini harus berstatus mustahiq atau dari kalangan tak mampu. Menurut ajaran Islam, penerima zakat adalah dari delapan golongan mustahiq seperti fakir, miskin dan muallaf, dan mujahiddin. Meski begitu pihak sekolah tak asal mempercayai siswa yang mengaku miskin.
Selain meminta surat keterangan miskin dari pihak kelurahan, KTP, KK atau keterangan anak yatim, sekolah juga melakukan survey ke rumah. Dari sana baru ditentukan siswa itu diterima atau tidak. Pasalnya, meski mendapat dana zakat tetap saja pihaknya mengedepankan kualitas salah satunya pembatasan jumlah siswa di kelas. Per kelas di sekolah ini hanya diisi 25 siswa saja. "Supaya lebih efektif dalam belajar," katanya. Selama setahun 2 bulan berdiri, sekolah ini sudah menerima 67 siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas 4. Banyak suka telah dialami 8 guru disini mulai dari mencari siswa dari pintu ke pintu. Sulitnya komunikasi ke orangtua karena terkendala latar belakang pendidikan, siswa yang tak membawa bekal makanan ke sekolah karena tak memiliki uang saku.
Dia juga bercerita mengenai dua siswanya Wahyu Dwi Adi Pangestu, kelas 4 dan Rama Satria Wibawa siswa kelas 3 yang terpaksa berjalan kaki ke sekolah. Padahal rumah keduanya ada di daerah Simo. Pihak sekolah sebenarnya sudah menyarankan supaya bersekolah di dekat rumah mereka dengan dibantu dari dana zakat. Namun diduga trauma karena putus sekolah, usulan itu ditolak keduanya. "Kini kami tengah mencari donatur tambahan supaya bisa membeli kendaraan antar jemput atau paling tidak sepeda pancal untuk keduanya," tuturnya.
Mengajar buat siswa dari kalangan tak mampu merupakan pengorbanan luar biasa bagi para guru Karena biasanya siswa ini tidak memiliki kepercayaan diri dan ketergantungan kepada orangtua. "Yang bikin semangat kami terus memanjang adalah kenyataan siswa-siswa ini adalah kelompok yang harus ditolong. Itu jadi harapan kita untuk terus menghadapi tantangan," pungkasnya. *
Oleh: Nani Mashita
Sebuah lapangan luas langsung menyambut tatkala melewati gerbang sekolah yang sederhana. Di kanan kiri, pepohonan berukuran sedang tumbuh rindang. Angin pun berembus kencang seakan berlomba dengan deru kendaraan yang melintasi Jembatan MERR IIC.
Sekolah itu memang berada tepat di pinggir jembatan dengan cat kuning mencolok dipadu warna biru. Sederetan ruangan yang belum tuntas dibangun terlihat berjejer di sebelah kiri sehingga membuat sekolah itu terlihat bersahaja.
Halaman sekolah hanya diisi segelintir orangtua yang menanti anaknya pulang dari kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS). Tak lama, serombongan anak-anak baru saja kembali dari kegiatan salat berjamaah di mushola tak jauh dari sekolah.
Reyhan Taher Ramadan tampak berlarian di antara rombongan teman-temannya. Dia mengenakan pakaian berwarna hijau, senyumnya merekah menghias wajahnya yang hitam. Sang ayah, Kusnan, hanya mengawasi dari jauh, di depan pintu masuk kelas 1A. Tubuhnya beringsut pelan meminta Reyhan segera meninggalkan kelas. "Ayo pulang, sepatunya cepet dipakai," ujar Kusnan dengan suara tertahan.
Pria yang punya keahlian menyetir itu hanya melihat kelincahan Reyhan mengenakan sepatu. "Saya sekolahkan di sini karena tidak perlu bayar. Anak saya malah dapat seragam, buku dan sepatu," kata Kusnan, Selasa (13/7).
Ia memutuskan memasukkan Reyhan ke sekolah ini setelah mendapat saran dari tetangganya, Agus. Kusnan yang tinggal di Medokan Ayu Utara gang 14/11 itu memang resah dengan pendidikan anaknya. Tanpa pekerjaan dan disokong penghasilan istri yang bekerja serabutan, masa depan pendidikan putranya buram.
Awalnya menyekolahkan di SD negeri, yang gratis SPP, tetap tak menenangkannya. Apalagi kalau bukan masalah kebutuhan seragam, buku dan sepatu yang harus dipenuhi sendiri. Tekad Kusnan menyekolahkan ke sekolah negeri memudar setelah anak tetangga yang lain akhirnya putus sekolah karena tak kuat bayar. "Pak Agus itu akhirnya menyarankan masuk ke SD Juara buat sekolah anak saya," katanya.
Dia pun mencoba mempertimbangkan usulan ini dengan menyampaikan ke Reyhan. Tak diduga, ternyata bocah 7 tahun itu menyetujuinya. "Soalnya sekolahnya bertingkat," saut Reyhan yang sesekali nimbrung pembicaraan.
Selain sekolah yang gratis, pendidikan di sekolah ini juga menerapkan pendidikan agama. Penanaman agama penting dan perlu disampaikan di sekolah. "Karena saya sendiri tak paham agama dan tak bisa baca Al Quran. Jadi saya sekolahkan di sini supaya bisa (baca Al Quran)," akunya.
Pihak sekolah memang menggratiskan seragam merah putih, seragam kotak-kotak, olahraga, buku paket hingga siswa lulus sekolah. Selain itu, ada program makan bersama. Tak hanya itu, pendidikan di sini menerapkan sistem full day school.
Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SD Juara, Herwin Ardianto mengatakan, kurikulum dan pengajaran tak beda jauh dengan sekolah umumnya. Pemberian life skill juga sudah dimiliki seperti kegiatan Pramuka, seni musik, seni lukis, seni tari, futsal juara dan klub Bahasa Inggris. "Proyeksi ada klub Bahasa Mandarin dan Bahasa Arab," kata Herwin.
Sekolah juga memberikan pembelajaran agama dengan mematok target lulusan SD Juara minimal hafal 1 juzz Al Quran. Siswa juga berkesempatan mengikuti belajar di luar sekolah dengan melakukan ekspedisi flora ke Kebun Bibit. Ekspedisi fauna di Kebun Binatang Surabaya serta mengunjungi Pelindo III. Semester ini siswa juga akan diajak outing dengan menggelar tur ke museum saat 17 Agustus nanti.
Sebagai fasilitas, sekolah memiliki laboratorium komputer, jaringan internet, LCD 2 buah, serta media-media pembelajaran science seperti mikroskop, alat peraga biologi, loup, tabung reaksi juga ada.
Tahun ini, sekolah menerapkan kurikulum multiple intelegence (MI), yaitu metode pengembangan 8 kecerdasan anak. Di antaranya dari kecerdasan musikal, kecerdasan logis maupun kecerdasan matematis. Artinya sekolah tak hanya menerapkan kecerdasan kognitif tetapi secara menyeluruh potensi anak digarap.
Orangtua pun ikut digarap untuk menggenjot motivasi anak agar mandiri dan mendongkrak perekonomian keluarga. Sekolah membuat kurikulum parenting school dari LSU (learning support unit) untuk pendidikan motivasi jangka panjang. "Orangtua juga dibina bagaimana membuat anak rajin membaca, misalnya," katanya.
Dari Dana Zakat
Kepala SD Juara Yuni Istikhah menambahkan, kemampuan sekolah menggratiskan siswanya tak lepas dari pengelolaan dana zakat yang disuplai dari lembaga Rumah Zakat. Di Jatim, sekolah gratis yang dikelola lembaga ini memang pertama kalinya didirikan di Surabaya sejak tahun lalu.
Mereka yang masuk sekolah ini harus berstatus mustahiq atau dari kalangan tak mampu. Menurut ajaran Islam, penerima zakat adalah dari delapan golongan mustahiq seperti fakir, miskin dan muallaf, dan mujahiddin. Meski begitu pihak sekolah tak asal mempercayai siswa yang mengaku miskin.
Selain meminta surat keterangan miskin dari pihak kelurahan, KTP, KK atau keterangan anak yatim, sekolah juga melakukan survey ke rumah. Dari sana baru ditentukan siswa itu diterima atau tidak. Pasalnya, meski mendapat dana zakat tetap saja pihaknya mengedepankan kualitas salah satunya pembatasan jumlah siswa di kelas. Per kelas di sekolah ini hanya diisi 25 siswa saja. "Supaya lebih efektif dalam belajar," katanya. Selama setahun 2 bulan berdiri, sekolah ini sudah menerima 67 siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas 4. Banyak suka telah dialami 8 guru disini mulai dari mencari siswa dari pintu ke pintu. Sulitnya komunikasi ke orangtua karena terkendala latar belakang pendidikan, siswa yang tak membawa bekal makanan ke sekolah karena tak memiliki uang saku.
Dia juga bercerita mengenai dua siswanya Wahyu Dwi Adi Pangestu, kelas 4 dan Rama Satria Wibawa siswa kelas 3 yang terpaksa berjalan kaki ke sekolah. Padahal rumah keduanya ada di daerah Simo. Pihak sekolah sebenarnya sudah menyarankan supaya bersekolah di dekat rumah mereka dengan dibantu dari dana zakat. Namun diduga trauma karena putus sekolah, usulan itu ditolak keduanya. "Kini kami tengah mencari donatur tambahan supaya bisa membeli kendaraan antar jemput atau paling tidak sepeda pancal untuk keduanya," tuturnya.
Mengajar buat siswa dari kalangan tak mampu merupakan pengorbanan luar biasa bagi para guru Karena biasanya siswa ini tidak memiliki kepercayaan diri dan ketergantungan kepada orangtua. "Yang bikin semangat kami terus memanjang adalah kenyataan siswa-siswa ini adalah kelompok yang harus ditolong. Itu jadi harapan kita untuk terus menghadapi tantangan," pungkasnya. *
Comments