Dunia animasi Surabaya kembali menggeliat dengan digelarnya Surabaya Animnation 2010 di gedung CCCL Darmo Kali, Jumat (23/7) malam. Pemutaran film yang digelar gratis yang dipenuhi oleh ratusan penikmat film animasi menunjukkan jika dunia animasi Surabaya jadi salah satu potensi yang tidak boleh dilupakan Pemkot Surabaya.
OLEH: NANI MASHITA
Area parkir gedung kesenian Perancis CCCL, semalam dipenuhi oleh ratusan kendaraan roda dua dan roda empat. Didalam gedung tersebut, ratusan anak muda datang dengan penuh semangat. Ruang pemutaran film, Salle France langsung luber dengan penonton bahkan rela berdiri hingga di depan pintu lokasi pemutaran. Tawa terkadang terdengar dan tepuk tangan pun beberapa kali membahana tiap kali adegan heroik namun konyol muncul di film-film tersebut.
Even Surabaya Animnation sesungguhnya dibuat dalam dua sesi, namun yang ditunggu-tunggu jelas pada pemutaran sesi kedua. Di sesi ini, ada enam film indie karya arek Surabaya yang diputar yaitu Deborah (sinematografi Airlangga), Boy’s Talk (sinematografi Airlangga), Napak Tilas Trisna, Free (Pink Blues), Kapit 3 (Cazlorda Studio), Culo Boyo Juniol (Gathotkaca Studio).
”Mengesankan sekali tapi sayang kenapa tidak ada yang 3D (tiga dimensi),” kata Rizqi Della Mahardika, mahasiswa multimedia semester 5 STIKOMP usai menonton Surabaya Animnation.
Meski begitu, Dika, panggilan akrabnya mengaku terinspirasi dengan pemutaran film. Dia yang sudah memiliki dua stok film serta tutorial 3D hingga kini masih belum berani tampil memamerkan karyanya. Dia bersama empat temannya memiliki impian untuk bisa pameran bersama di kampus. “Nah sekarang lagi saya kumpulkan film-filmnya. Kalau INFIS bisa, kenapa saya tidak,” ungkapnya.
Salah satu film yang ditunggu adalah pemutaran perdana film animasi Culo Boyo Juniol karya Solikhin. Animator sekaligus pemilik Gathotkaca Studio itu ternyata memberi kejutan kepada karakternya yang paling terkenal Suro Boyo yang kental dengan misuh Suroboyoan menjadi dua tokoh anak-anak. Isi filmnya akhirnya berubah menjadi lebih edukatif dan menghibur dengan kecadelan dua tokoh tersebut. Yang mengejutkan, film ini tetap mendapat sambutan luar biasa dari para penonton bahkan sampai ada penonton yang merekam film tersebut.
Meski sedikit terkejut dengan penonton yang merekam tersebut, Solikhin usai pemutaran film mengatakan puas karena antusias masyarakat Surabaya terhadap dunia animasi cukup tinggi. “Tapi saya minta maaf kalau lokasi pemutarannya tak bisa menampung seluruh penonton,” katanya.
Tidak adanya lokasi yang representatif memang jadi hal yang selalu dikeluhkan para seniman khususnya animator. Wiryadi Dharmawan menambahkan even pemutaran film seperti ini seakan jadi ‘jendela’ dalam sirkulasi udara di rumah. Selama ini, karya animator Surabaya kerap kali terbentur kepada ketiadaan lokasi yang layak untuk menampilkan karya mereka. Padahal bagi seniman, apresiasi merupakan penghargaan yang paling tinggi. “Jadi film juga butuh sirkulasi supaya perkembangan animasi Surabaya tidak mati,” katanya.
Pendapat ini didukung dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga yang juga pemerhati film independen mengatakan melubernya penonton di Surabaya Animnation menunjukkan bahwa dunia animasi Surabaya sangat luar biasa. Potensi ini seharusnya digarap serius Pemkot Surabaya karena animasi kota ini memiliki karakternya sendiri. “Industri kreatif di Surabaya tidak pernah diperhatikan, namun kalau masalah fisi,k Pemkot ributnya minta ampun,” kritiknya.
Menurutnya, hal ini ironis karena sebuah kota tak harus dikenali dari sisi pembangunan fisik saja namun juga dari kebudayaan. Dia mencontohkan Jogjakarta dan Bali jadi brand kebudayaan di Indonesia. Di Surabaya, kegiatan yang berbau kebudayaan dianggap tidak mampu memberikan sumbangan ke PAD. “Padahal kalau potensi itu digarap serius, uang pasti datang kok,” pungkasnya. (sit)
OLEH: NANI MASHITA
Area parkir gedung kesenian Perancis CCCL, semalam dipenuhi oleh ratusan kendaraan roda dua dan roda empat. Didalam gedung tersebut, ratusan anak muda datang dengan penuh semangat. Ruang pemutaran film, Salle France langsung luber dengan penonton bahkan rela berdiri hingga di depan pintu lokasi pemutaran. Tawa terkadang terdengar dan tepuk tangan pun beberapa kali membahana tiap kali adegan heroik namun konyol muncul di film-film tersebut.
Even Surabaya Animnation sesungguhnya dibuat dalam dua sesi, namun yang ditunggu-tunggu jelas pada pemutaran sesi kedua. Di sesi ini, ada enam film indie karya arek Surabaya yang diputar yaitu Deborah (sinematografi Airlangga), Boy’s Talk (sinematografi Airlangga), Napak Tilas Trisna, Free (Pink Blues), Kapit 3 (Cazlorda Studio), Culo Boyo Juniol (Gathotkaca Studio).
”Mengesankan sekali tapi sayang kenapa tidak ada yang 3D (tiga dimensi),” kata Rizqi Della Mahardika, mahasiswa multimedia semester 5 STIKOMP usai menonton Surabaya Animnation.
Meski begitu, Dika, panggilan akrabnya mengaku terinspirasi dengan pemutaran film. Dia yang sudah memiliki dua stok film serta tutorial 3D hingga kini masih belum berani tampil memamerkan karyanya. Dia bersama empat temannya memiliki impian untuk bisa pameran bersama di kampus. “Nah sekarang lagi saya kumpulkan film-filmnya. Kalau INFIS bisa, kenapa saya tidak,” ungkapnya.
Salah satu film yang ditunggu adalah pemutaran perdana film animasi Culo Boyo Juniol karya Solikhin. Animator sekaligus pemilik Gathotkaca Studio itu ternyata memberi kejutan kepada karakternya yang paling terkenal Suro Boyo yang kental dengan misuh Suroboyoan menjadi dua tokoh anak-anak. Isi filmnya akhirnya berubah menjadi lebih edukatif dan menghibur dengan kecadelan dua tokoh tersebut. Yang mengejutkan, film ini tetap mendapat sambutan luar biasa dari para penonton bahkan sampai ada penonton yang merekam film tersebut.
Meski sedikit terkejut dengan penonton yang merekam tersebut, Solikhin usai pemutaran film mengatakan puas karena antusias masyarakat Surabaya terhadap dunia animasi cukup tinggi. “Tapi saya minta maaf kalau lokasi pemutarannya tak bisa menampung seluruh penonton,” katanya.
Tidak adanya lokasi yang representatif memang jadi hal yang selalu dikeluhkan para seniman khususnya animator. Wiryadi Dharmawan menambahkan even pemutaran film seperti ini seakan jadi ‘jendela’ dalam sirkulasi udara di rumah. Selama ini, karya animator Surabaya kerap kali terbentur kepada ketiadaan lokasi yang layak untuk menampilkan karya mereka. Padahal bagi seniman, apresiasi merupakan penghargaan yang paling tinggi. “Jadi film juga butuh sirkulasi supaya perkembangan animasi Surabaya tidak mati,” katanya.
Pendapat ini didukung dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga yang juga pemerhati film independen mengatakan melubernya penonton di Surabaya Animnation menunjukkan bahwa dunia animasi Surabaya sangat luar biasa. Potensi ini seharusnya digarap serius Pemkot Surabaya karena animasi kota ini memiliki karakternya sendiri. “Industri kreatif di Surabaya tidak pernah diperhatikan, namun kalau masalah fisi,k Pemkot ributnya minta ampun,” kritiknya.
Menurutnya, hal ini ironis karena sebuah kota tak harus dikenali dari sisi pembangunan fisik saja namun juga dari kebudayaan. Dia mencontohkan Jogjakarta dan Bali jadi brand kebudayaan di Indonesia. Di Surabaya, kegiatan yang berbau kebudayaan dianggap tidak mampu memberikan sumbangan ke PAD. “Padahal kalau potensi itu digarap serius, uang pasti datang kok,” pungkasnya. (sit)
Comments
Sangat disayangkan pemerintah ataupun lembaga yang berkaitan dengan kebudayaan kurang mengapresiasi apa yang dia lakukan.
Rencananya film animasi ini akan diputar kembali tanggal 8 agustus disurabaya, mau nonton lagi
Jika dilihat dari peta industri Nasional, Surabaya memang bukan untuk industri kreatif. Surabaya mencakup Industri pabrik-pabrik dagang non kreatif.
Namun sebenarnya hal ini bisa disiasati dengan adanya usaha-usaha mengembangkan industri animasi Indonesia, dengan selalu berkontribusi untuk apresiasi seni masyarakat. Dari sana paling tidak Surabaya masih ada dalam peta animasi Indonesia.
Industri juga tidak bisa hanya mencakupi daerah, Industri standarnya adalah mencakupi seluruh negri ini. Jika masih dalam daerah, belum bisa dikatakan industri, hanya order per perusahaan-perusahaan kecil.
Namun gerakan untuk memberi pemahaman kepada pemerintah kota atau daerah itu perlu. Kegiatan kreatif ini harus ada, menjadi bagian dalam agenda acara-acara kesenian yang sudah ada. Sehingga jika Industri berkembang subur, paling tidak kita sudah siap.
Pak Waw :D