Skip to main content

Diskriminasi Media

Saat ini, media menjadi alat efektif dalam membentuk opini publik. Tak hanya itu, media juga dijadikan sarana promosi segala hal yang dianggap penting. Nah, menurutku sesuatu ‘yang dianggap penting’ saat ini sudah bergeser.

Dulu, ketika awal jadi wartawan saya didoktrin oleh seorang wartawan senior yang kini jadi pemred website Departemen Pemuda dan Olahraga, M. Anis. Satu hal yang saya ingat selalu bahwa yang dianggap ‘penting’ yang harus dibela pekerja jurnalis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat. Apa itu? Misalkan pendaftaran kuliah atau sekolah, peristiwa bencana, atau kebijakan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat seperti kenaikan BBM.

Memang tak banyak yang perubahan drastis dari doktrin, yang ada malah tambahan ‘sesuatu yang penting’ itu. Terutama bila dikaitkan dengan segmen pembaca dari media tersebut. katakanlah seperti Jawa Pos, yang dalam penglihatan awam saya, tambahan itu berupa segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis Tionghoa. Tak salah, karena segmen koran ini membidik etnis tersebut.

Hanya saja, saat ini ‘sesuatu yang penting’ tersebut bertambah makin tak realistis. Ada beberapa liputan yang sebenarnya tak penting namun dipaksakan penting karena ada ‘titipan’ entah itu dari bagian iklan atau bahkan dari bos besar itu sendiri. Contohnya, ada sebuah berita yang menceritakan seorang pasien terjebak dalam sebuah lift rumah sakit selama sepuluh menit. Berita itu akhirnya naik cetak karena yang jadi korban adalah anak bos dari media yang bersangkutan.

Padahal, ada serombongan wartawan dan karyawan DPR RI yang bolak-balik terjebak dalam lift di Gedung Nusantara I. Bahkan sempat pula lift tersebut anjlok beberapa lantai dan menyebabkan histeria. Sayangnya berita itu tak laku dan tak naik cetak.

Lihatlah sebuah media online yang secara intensif memberitakan perihal 'kebaikan' kandidat ketua umum Partai Demokrat. Selidik punya selidik, ternyata berita itu bersifat advetorial alias iklan yang dibuat sedemikian rupa sehingga mirip jadi berita.

Atau contoh lain adalah sebuah pendidikan yang dipaket pentas musik yang mendatangkan artis ibukota. Tak salah, namun pada akhirnya yang jadi lead berita itu adalah mengenai kehadiran artis ibukota or pentas itu sendiri yang dikedepankan. Pelatihannya sendiri hanya disinggung ala kadarnya saja. “Seharusnya penyelenggara mengedepankan sisi pendidikannya ketimbang pentas musik atau hura-huranya,” kataku pada pihak penyelenggara.

Detik itu juga hatiku bersorak mencibir. “Huh…itu kan gara-gara kamu dan kalian, reporter yang bikin tulisan semacam itu. Kalau kalian tak bikin seperti itu, tentu penyelenggara juga gak bakal bombastis mengenai pentas musiknya,” kata suara di otakku.

Tiba-tiba saja, kepalaku jadi pening. Aku mencoba menyelesaikan pertanyaan itu meski dengan terbata-bata. Dan otakku tertohok cukup dalam ketika dua hari kemudian seorang narasumber mengeluhkan ketidakhadiran media dalam penandatanganan nota kesepahaman dengan sebuah kampus negeri. “Kenapa ya mbak kok media melakukan diskriminasi pada berita-berita seperti ini. Kalau soal (skandal) Century atau berita-berita politik, pasti langsung tertarik dan mengeksposenya,” katanya.

MoU itu mengenai kesepakatan untuk membentuk sebuah sentra pelatihan bagi anak-anak downsyndrome. Untuk diketahui, narasumberku adalah seorang professor jebolan universitas negeri ternama. Dia menjadi ketua sebuah organisasi sosial yang peduli terhadap nasib anak-anak downsyndrome. Dengan background sedemikian tinggi, tentu yang dia maksud bukanlah sekedar tidak adanya ekspose terhadap even yang dia gelar.

Lebih dari itu.

Mungkin dia terdengar histeris dengan pernyataan bahwa media telah melakukan diskriminasi. Tapi suara ini pentin yang mana media tak lagi mengedepankan kepentingan masyarakat, memberikan informasi yang berharga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam kasusnya, tentu informasi adanya sentra pelatihan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini sangat dibutuhkan oleh orang tua yang memiliki anak-anak luar biasa ini. Mereka membutuhkan suatu tempat yang bisa dipercaya untuk melatih kemampuan motorik anak mereka dengan pelatih yang dapat dipercaya.

Itu PENTING!

Tapi mengapa media kita jarang memberitakannya? Kecuali jika dibalik peristiwa itu ada kepentingan yang mengintervensi seperti adanya kepentingan dari pemilik koran.

Dalam pemikiranku yang singkat, perubahan ini tak lepas dari kepentingan pemodal alias kapitalis. Mereka yang kini mengendalikan semuanya. Tak peduli apakah itu penting atau tidak penting bagi masyarakat, tak penting lagi apakah berita itu akurat atau tidak, terlalu berat sebelah atau seimbang. Yang penting adalah pengiklan datang dan korannya laku banyak atau rating televisi itu tinggi.

“Soal kebutuhan masyarakat itu nomor sekian, karena media (kapitalis)lah yang menentukan apa keinginan dan kebutuhan masyarakat. Kitalah yang menentukan ukuran baik-buruk masyarakat, layak dan tak layak atau siapa yang harus kita hormati dan kita serang,” mungkin seperti itu yang ada di pikiran pemilik media.

Benar….memang benar. Media menjadi alat yang sangat menakutkan jika kekuasaan yang diberikan kepada pers tak diimbangi dengan hati nurani. Mencoba mempertahankan idealisme, terutama idealismeku sendiri, di dunia media sangatlah sulit. Kita terkadang ikut arus, apalagi kalau redaktur kita juga tak lagi mengingatkan kita akan tugas kita sebagai jurnalis. Selain memberitakan fakta sebuah peristiwa, tentu kita harus mendidik pembaca kita.

Pada akhirnya, media saat ini telah terseret pada kepentingan pragmatis dan kepentingan kelompok tertentu. Kapitalis menjadi dominan dalam sebuah produk idealisme. (Sebenarnya kalau ada media seperti ini, tak lagi bisa dikatakan produknya sebagai produk idealisme). Mungkin terdengar naïf, tapi saya berharap masih menemukan media atau redaktur yang mau mengajarkan saya apa itu jurnalistik dan terapannya. Dan jika itu tak lagi ada maka bersiaplah mengucapkan selamat tinggal pada IDEALISME.



*Sebuah catatan setelah deadline lewat.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej