Skip to main content

Ice Lemon Tea



Angin menerpa mukanya yang sayu.
Kilat tak terdengar namun cahayanya bersautan di ujung langit.
Wulan duduk sendiri. Di meja berkursi empat itu, dia duduk memandang mininote-nya. Di layar terpampang halaman jejaring sosial facebook, wajahnya bersama seorang pria berkacamata, kurus dengan wajah yang selalu terlihat putih.

Dia tersenyum saat melihat hidung besar yang nangkring di wajah Tora, kekasihnya. Hidung mancung yang membulat itu selalu jadi bahan godaan untuk membuat wajah Tora memerah menahan malu dan amarah. Namun pada akhirnya, dia akan tersenyum karena menurut kata rayuannya, senyumku sungguh menenangkan hatinya.

”Hmmm......” Wulan tiba-tiba menarik nafas panjang. Wajahnya tak lagi tersenyum simpul. Matanya kembali sayu.

”Berubah lagi,” keluhnya pelan.

Dia memandang ke petir yang masih berkejaran di langit malam itu. Purnama tak lagi penuh, angin tak lagi sepoi-sepoi. Dingin malam terasa mengiris lembut kulitnya yang tengah gelisah menanti Tora di kafe Cekidot. Hingar bingar musik cafe malah membuatnya tak nyaman. Untunglah, didepan kafe ini ada taman yang cukup rindang, cukup untuk bisa menelisipkan kegetirannya dalam cinta.

Getir saat tahu Tora masih sibuk mencari perempuan-perempuan lain di belakangnya. Perih saat tahu Tora masih suka mengajak makan malam romantis tanpa sepengetahuannya. Dan sakit saat tahu Tora tengah bermesraan di tempat tidur bermesraan dengan perempuan lain di kamar tidurnya.

Hatinya tiba-tiba tertoreh pisau tajam bernama kenangan. Dia pedih mengingat bahwa Tora hanya bisa memberikan janji akan mengubah kebiasaannya menebar pesona pada wanita lain. Dia hanya menjadi anak manis jika bersama Wulan, di luar itu Tora akan tetap jadi pria liar yang haus pada perempuan. Janjinya pada Wulan berubah lagi dan menguap begitu saja.

***

“Ah.....,” tiba-tiba dia tersadar.

Tenggorokkannya menuntut untuk diberi minuman lagi tapi kafein yang dia teguk sudah terlalu banyak. Dia akhirnya memesan segelas ice lemon tea yang dengan segera disuguhkan oleh waitress. Saat menunggu itu, dia baru sadar jika kafe Cekidot tak seramai biasanya. Live music yang biasanya menghibur tiap Rabu tak nongol dan digantikan oleh musik biasa.

“Mbak Reni, kok tumben gak ada live music-nya?,” tanyanya pada Reni, pelayan kafe. Wulan sesungguhnya tak kenal perempuan itu, namun di dadanya terpasang papan nama sehingga dia berani memanggil namanya.

“Lho mbak, mainnya kan biasanya jam delapan. Sekarang masih jam enam,” tutur Reni lembut.

”Oooh....” jawab Wulan yang refleks melihat ke jam tangannya. Dia pun tersenyum dengan jawaban Reni sebagai ganti meminta maaf atas kesalahannya atas mengerti waktu.

Wulan sengaja mengajak bertemu Tora lebih sore dari kebiasaan selama ini. Alasannya sederhana, dia tidak ingin percakapan seriusnya terganggu oleh musik dari band yang manggung di kafe ini. ”Hehehe....dasar pelupa,” Wulan tertawa kecil mengingat rencana yang disusunnya dilupakan dengan mudah.

Wulan memang tipe perempuan pelupa. Selalu lupa akan segala perlakuan buruk Tora padanya, sikap tak setia Tora pada Wulan yang dengan mudah dilupakannya. Alasannya dia percaya janji Tora yang akan mengubah sikap playboynya. Sikapnya keukeh sehingga kerap jadi bahan olokan sahabat-sahabatnya, Desi, Jayanti dan Tiara yang tak pernah lelah untuk mengingatkan Wulan akan sikap tak setia Tora.

Wulan sendiri tak pernah mau ambil pusing dengan peringatan sahabatnya karena baginya Tora adalah lelaki sempurna. Yang telah mencuri hatinya lewat sebuah perkenalan tak sengaja. Perkenalan lewat yahoomessenger yang berlanjut dengan kopi darat. Di pertemuan pertama di Kafe Cekidot, hatinya langsung tersengat oleh Tora. Kacamata yang nangkring di hidungnya membuat Tora terlihat smart. Apalagi, dalam sesi perbincangan itu, Tora bisa membuatnya santai dan nyaman.

Tak perlu waktu lama untuk membuat hubungannya dengan Tora menjadi hangat. Dia pun tak ragu untuk merawatnya ketika Tora mengalami patah kaki di rumahnya. Wulan mengira semua berjalan sempurna dan sesuai rencananya.

Tak pernah dia mengira akan terlibat cinta yang begitu rumit dengan Tora.

Tak mengira di ujung pengharapannya sebuah kejutan besar menampar mukanya. Separuh jiwanya terasa dicerabut dari tubuhnya saat mengetahui Tora tengah asyik masyuk tengah candle light dinner dengan seorang perempuan yang bukan dirinya di lokasi yang jadi saksi pertemuan mereka, Kafe Cekidot.

Wulan memang punya kebiasaan khusus jika ingin mengunjungi Kafe Cekidot bareng Tora yaitu pada Rabu malam. Namun, pekan itu dia memilih datang pada Senin karena merasa begitu rindu pada Tora yang tak sempat menemuinya. Tora beralasan event organizer-nya tengah mengerjakan banyak orderan sehingga tak sempat menjadwalkan bertemu Wulan. Mengobati kerinduannya pada Tora, dia memilih berangkat ke Kafe Cekidot, duduk di sebuah sudut yang menghadap ke taman dengan beratapkan separuh langit.

Tapi kenyataannya, mulutnya ternganga begitu melihat Tora duduk berdampingan dengan perempuan yang tak dikenalnya. Awalnya Wulan mengira perempuan berambut sebahu dengan sackdress one shoulder-nya, adalah klien Tora. Namun perkiraan itu langsung tertepis ketika tangan Tora mulai menyentuh bahu perempuan itu. Tora lalu mendaratkan sebuah kecupan manis di pipinya.

Wulan memilih meninggalkan kafe.

***

Malam itu juga Wulan menelepon Tora. Dengan suara yang dibuat senormal mungkin, Wulan memohon Tora menyediakan waktu untuk menemaninya makan malam di Kafe Cekidot. Dia memilih datang ke kafe lebih sore yang langsung disetujui Tora. ”Karena malamnya aku harus rapat sama kru EO, say,” ujar Tora memberi alasan.

Jawaban ini sempat membuat Wulan kecewa karena dia berharap memiliki waktu yang lebih banyak jika datang lebih awal ke kafe. Namun, Wulan akhirnya memupusnya dengan harapan Tora akan berubah dan kembali ke pelukannya lagi.

Dan kini, Wulan masih duduk di kursi di sudut yang menghadap taman. Menanti sembari menyusun kalimat yang akan disampaikannya pada Tora. Namun pikirannya tak lagi jernih, hatinya bergejolak, dingin mengiris kulit tangannya. Apalagi tak lama kemudian Tora datang.

Penampilannya cukup mengejutkan. Tora datang mengenakan celana jeans belel yang dipadu dengan kaos putih. Tubuhnya terlihat tegap dengan balutan jas hitam semi formal. Dia berjalan sembari membetulkan letak gagang kacamatanya. Dan hidung besarnya masih terlihat lucu di wajahnya yang putih bersih.

Tora tersenyum. Wulan berusaha tersenyum.

”Hai say, kamu cantik sekali malam ini,” katanya sembari mencium pipi kanan-kiri Wulan.

Wulan tak menjawab. Dia duduk dengan wajah serius. Matanya lurus menatap ke mata Tora. Matanya menuntut jawaban dari Tora. ”Bisakah kamu berubah? Aku mohon berubahlah demi hubungan kita,” katanya.

Pertanyaan ini mengejutkan Tora. Dia tidak menyangka kekasihnya selama dua tahun terakhir ini mengeluarkan permintaan seperti itu. Biasanya dia bisa menghindar, namun dari tatapan matanya Tora tahu Wulan tengah berbicara sangat serius.

”Siapa dia Tora?,” tanya Wulan.
”Dia siapa, say?,” Tora mencoba mengelak.

Wulan melengos. Dia kesal. Kebiasaan Tora muncul lagi. Tak mau jujur padanya.

“Perempuan berambut sebahu yang mengenakan sackdress satu lengan warna hitam. Yang kamu peluk mesra di kafe ini, yang kamu berikan ciuman hangat Senin kemarin, di tempat ini, di kursi KITA,” cecar Wulan dengan menekankan kata ‘kita’.

Tora gelagapan. Dia tak menyangka jika Wulan tahu perilaku belangnya ketahuan lagi oleh Wulan. Dalam hati dia merutuk kenapa menuruti permintaan Santi, perempuan berambut sebahu itu, bertemu di Kafe Cekidot. Setengah mati dia menolak permintaan itu namun luluh juga ketika Santi merajuk mesra padanya. Dia tidak memperhitungkan kemungkinann ketahuan oleh Wulan padahal ada ratusan kafe di lingkungannya.

“Ah....dia itu...anu...dia...itu....,” Tora tergagap menjawab pertanyaan Wulan.

“Apakah kamu memang tidak bisa berubah Tora? Aku selalu percaya padamu, yakin jika kau akan berubah demi hubungan kita. Aku yakin padamu Tora,” kata Wulan.

”........,” Tora membisu.

Namun hatinya merasakan getir air mata yang meleleh dari mata Wulan. Lidahnya kelu, tangannya yang ingin menggenggam tangan Wulan terhenti di tengah jalan. Tubuhnya duduk tegak tak bergerak.

”Kenapa tak bisa diriku yang mencintaimu? Aku layak untuk dicintai karena aku selalu tulus padamu,” kata Wulan.

”Tora.....bicaralah padaku!!! Kumohon, BERUBAHLAH!!,” jerit Wulan dengan nada pelan.

Tora menunduk. Dia tahu jika permintaan Wulan tak mungkin bisa dia turuti. Dirinya terlalu mencintai kehidupannya yang dikeliling para wanita. Tanpa diminta, para wanita selalu mendekatinya dan memberikan kemesraan cuma-cuma.

Tora kelu.

Bulir-bulir air mulai mengalir di tubuh gelas berisi ice lemon tea yang tersisa separuh, pesanan Wulan. Tora tak tahan melihat air mata Wulan satu per satu menetes. Hatinya bergejolak. Egonya menolak.

Dia tak ingin terikat pada Wulan. ”Maaf, aku tak mungkin memberikan sepenuhnya hatiku padamu,” tegas Tora.

Tora langsung berdiri dan meninggalkan Wulan yang wajahnya tak lagi berwarna. Hanya monitor mininote-nya yang masih menyala dan ice lemon tea yang masih terduduk di atas meja.

Wulan terdiam dan mulai menangis.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej