Skip to main content

CUKS Showrockboyeahh!!

Film Independen Surabaya Menggeliat Ditengah Pemerintah yang Abai
Dunia perfilman Indonesia mulai menggeliat dengan maraknya produksi film yang membanjiri bioskop. Mulai tumbuhnya dunia ini juga berimbas pada menggeliatnya dunia film independen (inde) di Surabaya. Seperti apa?

Nani Mashita

Surabaya sendiri tidak pernah sepi dari aktivitas komunitas filmnya yang jumlahnya berkisar 15 komunitas. Salah satu filmmaker muda, Indiana Yanuar, yang tergabung dalam UKM Sinematografi Universitas Airlangga. Gadis berambut panjang itu adalah salah satu sineas hijau di Surabaya yang karyanya berjudul ’Semanggi’ lolos seleksi untuk ikut Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) di Jambi.
Film ini dibuat bersama sembilan kawannya yang tergabung dalam Girl Power. Indi mengangkat kisah seorang penjual Semanggi di Surabaya yang berjuang mendapatkan uang untuk membiayai anaknya yang ingin study tour ke Bali. ”Aku tuh ingin ngenalin masakan khas Surabaya selain lontong balap kepada publik,” kata Indi menjelaskan soal pemilihan tema filmnya.
Alumni SMAN 14 Surabaya itu mengaku memang bercita-cita jadi sutradara. Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat 2007 itu mengaku selama setahun bergulat di UKM Sinematografi, dia mendapatkan pengetahuan tentang perfilman, membuat film sekaligus menemukan tempat nongkrong yang sesuai dengan hobinya.
Jagad perfilman independen juga mengenal komunitas Gathotkaca yang muncul tahun 2004 dengan spesialisasi di animasi yang menseriusi tema budaya lokal. Menurut sutradara komunitas ini, Mohammad Sholikin, setidaknya tiga seri film animasi dibuat dengan tokoh Gathotkaca. Dia juga membuat karakter animasi Suro dan Boyo dalam dua seri film animasi berjudul ’Grammar’ yang mearih juara I Kategori Umum Festival Game dan Animasi Indonesia 2008 dan Beda ’Grammar’ Core Duo.
Film Grammar sendiri bermula dari keprihatinan adanya pembajakan budaya Indonesia oleh sejumlah negara swasta. Film pendek ini menyuguhkan percakapan antara Suro dan Boyo dengan dialek Surabaya yang dikenal dengan misuh (umpatan) khas-nya. Awalnya dia sempat ragu karena khawatir malah mendapat kecaman penonton dan memilih konsultasi dengan sejumlah pihak. ”Ternyata penonton cukup apresiatif terhadap filmku,” ujar si ikin, panggilan bekennya.
Pilihan terjun di animasi sendiri disebabkan minimnya dan dan hobinya di dunia desain. Lelaki kelahiran 25 September 1983 ini juga berharap dunia animasi semakin dikenal di masyarakat. ”Aku juga pengen kasih tahu ke teman-teman lain kalau animasi itu mudah,” tegas animator asal Bojonegoro tersebut.
Prestasi si ikin bisa dikatakan cukup membanggakan. Selain menyabet sebagai juara favorit, lulusan Desain Komunikasi Visual (Diskomvis) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya 2006 ini aktif mengikuti festival-festival. Untuk film Gathotkaca 1 diputar di Parade Film Pendek Pesta Seni Surabaya 2005. Langkahnya makin mantap ketika diundang Lulu Ratna dari Boemboe Forum Jakarta dalam Forum Boemboe Forum 2 di Teater Utan Kayu tahun 2005. Dari sana pulalah, keinginannya untuk membuat film menggebu. ”Aku melihat apresiasi diluar kampus ternyata cukup baik sehingga Gathotkaca dibikin sekuelnya,” katanya.
Dengan film yang sama juga, si ikin mengikuti Festival Film Animasi dan Dokumenter Indonesia, Comik Cambodia-Indonesia Exchange 2005. Sekuel kedua Gathotkaca meraih Penghargaan Khusus Karya Animasi Sulasfisfest INFIS Surabaya 2005, Finalis Hellofest Volume 3 Jakarta 2005, serta ikut dalam Festival Seni Surabaya 2006. Karya si ikin makin mendapat pengakuan lewat Gathotkaca bagian 3 yang meraih juara dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional VIII di Makassar tahun 2006, berpartisipasi dalam Slingshortfest ”Southeast Asian Filmmakers” Jakarta 2006. Selanjutnya dia juga membuat film animasi ”Pringgondani” dan beberapa iklan layanan masyarakat.
Nama lain yang cukup kondang adalah Tosan Priyonggo yang tergabung dalam komunitas Cazlorda. Alumni ITS jurusan Desain Grafis 2004 itu sudah menghasilkan sekitar 29 film. Film besutannya berjudul Topeng Kota (2004) ikut dalam Boemboe Forum Jakarta (2005). Sedangkan film berjudul Serem 3: Ting Tong meraih juara favorit penonton S13FFEST Infis (2005). Kimeru (2005) mendapat label Musik, Sinematografi dan Film Terbaik INFUS UK Petra Surabaya (2006). Dia juga menyabet penghargaan Kuldesak Award, penghargaan khusus dari para sutradara film dalam Hellofest Volume 4 Jakarta (2007). Tosan sendiri pernah menyabet juara favorit III Hellofest 2008 lewat karyanya berjudul ’Kapit’.
Wiryadi Dharmawan, filmmaker lain, mengaku saat ini kondisi perfilman di Surabaya sudah mulai tumbuh dan cukup menjanjikan. Sejak film independen muncul di akhir tahun 1990-an, sudah banyak prestasi sineas Surabaya telah diukir di tingkat regional maupun nasional. ”Sebenarnya karya Surabaya tak kalah dengan yang diproduksi di Jakarta,” kata sineas yang meraih gelar Favorit I Hellofest II atas film Petualangan Penthil Penthol itu.
Namun perkembangan film di Kota Pahlawan diakui terasa lambat. Menurut Wawan, banyak kendala yan g dihadapi seperti dukungan dari Pemprop Jatim atau Pemkot Surabaya dirasakan cukup minim. Sebenarnya wadah perfilman seperti Parfi, Dewan Kesenian Surabaya ataupun Dinas Pariwisata mengetahui keberadaan komunitas film di Surabaya. Namun seolah-olah kehadiran komunitas film independen ini dianggap tidak ada. ”Saya meragukan mereka tidak tahu, bisa saja mereka pura-pura tidak tahu,” ujar sutradara animasi video klip The Titans Animated itu.
Masalah klise lain yang menghadang adalah minimnya pendanaan untuk membuat sebuah film yang menghabiskan dana sekitar Rp 2 miliar. Biaya sebesar ini masuk dalam biaya pra produksi, produksi dan pas a produksi terdiri dari biaya pembuatan film, divisi fotografi, komik, musik, komunikasi, editing akhir dan biaya transfer pita seluloid. Dana ini belum termasuk biaya promosi, publikasi dan roadshow ke sejumlah daerah.
Namun biaya pembuatan satu film pendek sendiri biasanya menghabiskan dana sekitar Rp 6 juta. Karena masih belum memiliki sumber dana kuat, para filmmaker terpaksa merogoh kocek sendiri. ”Mulai dari jual handphone sampai mengambil orderan syuting kawinan kita lakoni supaya kita terus bisa eksis,” terang Jaka Wiradinata, dari komunitas Sinematografi Unair.
Para produser juga masih belum memberi kepercayaan sineas Surabaya dalam penggarapan proyek film. Ini terjadi karena masih adanya Jakarta oriented yakni segala sesuatu yang bukan berasal dari Jakarta dianggap kurang berkualitas. Persoalan klasik lain yang menghadang yaitu masalah regenerasi. Hingga kini, regenerasi masih mengandalkan UKM film yang dibentuk di beberapa kampus. Mencari bibit perfilman di luar kampus, dirasakan masih cukup sulit karena pelajaran soal film dan tetek bengeknya tak masuk dalam kurikulum.
Mereka adalah sineas muda yang menggeliat di jagad perfilman independen di Surabaya. Menggeliat karena memang hingga kini kiprah mereka tak banyak terdengar di kota sendiri, tak banyak arek Suroboyo yang menonton karya mereka. Kini tinggal menunggu langkah pemerintah untuk memayungi dan membimbing mereka. Pertanyaannya apakah pemerintah mampu memelihara bibit kreatifitas yang sudah mulai tumbuh?

========

Siapkan CUKS 2 Showrockbooyeah!!
Ditengah kendala tersebut, para filmmaker terus merintis gebrakan dengan membuat suatu wadah kumpulan dari komunitas film di Surabaya. Terbentuknya wadah ini sendiri harus melewati proses yang cukup lama.
Wiryadi Dharmawan bercerita jika dirinya bertemu dengan filmmaker lain asal Surabaya tanpa sengaja. Biasanya mereka bertemu saat festival atau diskusi film yang digelar di luar kota Pahlawan ini. ”Saya sempat ketemu dengan beberapa kawan saat INFIS menggelar pemutaran film di CCCL sehingga akhirnya berkenalan,” kenang sutradara animasi The Asean Community 2015 tersebut.
Dari sana mereka mulai bertukar cerita, bertutur kisah soal film. Terkadang saling bertukar informasi kapan festival akan digelar. Namun kala itu masih belum ada ide untuk menyatukan komunitas dalam satu wadah. Ide itu muncul ketika timbul kegelisahan akan eksistensi film di Surabaya yang masih jalan ditempat.
Mereka pun bersama-sama mencoba untuk membuat film berdurasi panjang dengan menggabungkan karya dari komunitas yang ada. Saat itu yang bergabung ada 13 komunitas yaitu ABC, Asaku, Anak Langit, Uno, Kine Unair, KinneUPN, Kame, Cazlorda, Gathotkaca, Stuffer, Binal Prestasi, PinkBlues, Cinematografi Unair. Kegiatan tersebut juga menggandeng Komunitas Indie Band, Komik dan Fotografi Surabaya serta Infis (Independen Film Surabaya) sebagai distributor.
Maka terwujudlah proyek komunitas bersama yang dinamakan Cinta Untuk Kota Surabaya (CUKS). Proyek pertamanya sudah diputar pada 14-15 Februari lalu dengan memutar film dari 13 komunitas film Surabaya di eks bioskop Mitra lewat pagelaran Surabaya Roman Taste.
Di wadah inilah, mereka menghasilkan film dan didistribusikan pada publik dalam bentuk omnibus. Dengan menggunakan jalur INFIS, sineas Surabaya mencoba mendistribusikannya pada masyarakat. Jalur lain yang digunakan filmmaker kota ini juga mendistribusikan ala bonek yaitu menjualnya di festival-festival film atau di even berbau film secara swadaya.
Meski jalan terjal masih menghadang, CUKS terus berjalan. Saat ini mereka tengah mempersiapkan proyek Surabaya Roman Taste 2 dengan tema Showrockbooyeah!! Konsep yang diusung sama seperti tahun sebelumnya yaitu omnibus dengan membuat benang merahnya yaitu tema cinta, Surabaya dan musikal. Lanskap yang diambil seperti kebun binatang, tugu pahlawan, Perak, Pasar Turi, pantai dan lokasi lainnya.
Rencananya produksi film akan dilakukan pertengahan Oktober 2008 hingga Januari 2009 mendatang. Namun target proyek kedua ini lebih ambisius dengan memutar premiere film yang dijadwalkan pada November 2009 di bioskop 21 Cineplex se Indonesia. Saat ini komunitas CUKS tengah mencari sponsor agar proyek ini bisa terealisasi.
Mereka tetap berharap rintisan ini mendapat dukungan dari pemda setempat. Pasalnya jika bisa dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin perfilman Surabaya akan jadi industri seperti Hollywood. ”Kita memang butuh dukungan dari instansi terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata agar ini tetap berkembang dan eksis,” harapnya.(k2).


==================

Butuh Dukungan Pemerintah
Dosen Ilmu Komunikasi , IGAK Satrya Wibawa menyambut antusias geliat yang diperlihatkan komunitas film yang ada saat ini karena sesungguhnya Surabaya memiliki sejarah panjang perfilman. Dia menyebut tahun 1800-an banyak sekali tempat menonton film, bahkan bioskop pertama Indonesia ada di kota ini.
”Tapi di perjalanannya politic culture membuat sejarah ini hilang dan orientasinya sekarang ini semuanya di Jakarta, termasuk industri film,” ujar Satriya.
Dominasi pusat ini harus bisa diimbangi di daerah termasuk komunitas film Surabaya yang kini tengah merintis sebuah industri dari Surabaya. Kehadiran Cinta Untuk Komunitas Surabaya (CUKS) diyakini akan jadi motor pergerakan perfilman dari wilayah Timur Pulau Jawa ini.
Namun, upaya ini jelas akan menghadapi hambatan yang luar biasa besar terutama berkaitan dengan mind set yang mana masih belum ada budaya menonton film buatan filmmaker Surabaya. Satriya mengkritik peran pemerintah yang hingga kini tidak jelas juntrungannya. Dia mencontohkan pemerintah Jogjakarta yang sangat concern dengan aktivitas senimannya dan mengelolanya sebagai aset daerah. Di Jakarta, Taman Ismail Marzuki menyediakan gedung untuk pemutaran video digital.
Di Surabaya, belum ada infrastruktur memadai yang seharusnya disediakan pemerintah, dan makin sulit ketika Bioskop Mitra ditutup. Padahal, perfilman akan tumbuh dan berkembang ketika didukung empat hal yaitu filmmaker itu sendiri, pemerintah daerah, media dan komunitas distribusi yang hingga kini perannya belum maksimal. Mengandalkan pihak swasta juga tidak bisa terlalu diharapkan yang lebih beriorientasi profit. ”Alhasil film Surabaya masih belum jadi tuan rumah di kota sendiri,” ujarnya.
Dari sisi internal komunitas sendiri, Satriya mengatakan ada satu lubang besar yang kini tengah terjadi ketika komunitas film menggebu dalam memproduksi sebuah film. ”Semua euforia yang muncul adalah membuat film. Mereka lupa film itu nanti akan didistribusikan oleh siapa dan kemana?,” kata Satriya.
Distributor film asal Surabaya, Independen Film Surabaya (INFIS) mengaku cukup ngos-ngosan jika harus menangani pendistribusian sendiri. Pasalnya, selama ini proses tersebut menguras kocek pribadi. ”Kalau diterusin, jelas enggak bisa,” jelas Novita N. Soemardjo, mantan anggota INFIS.
Novita menjalani profesi ini selama empat tahun terakhir, selama menjadi mahasiswa jurusan Komunikasi Unair. Novita merupakan satu diantara delapan anggota INFIS yang aktif melakukan pendistribusian film Surabaya selama empat tahun terakhir. Selama itu pula, bersama kawan-kawannya, dia harus jungkir balik tanpa ada bantuan dari pemerintah.
INFIS telah menukangi pagelaran S13FFEST (Surabaya 13 Film Festival) di tahun 2007 yang diikuti 150 peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Festival ini dulunya bernama Sulasfifest yang digelar tahun 2005 lalu. Mereka juga terlibat dalam even CUKS Roman Taste 14 Februari lalu termasuk pendistribusiannya DVD-nya.
Meski telah menggelar festival yang cukup bergengsi, tetap belum menggerakkan pemerintah kota untuk ikut membantu. Lucunya, dalam S13FFEST tahun lalu tetap tidak ada satu pun dinas yang terlibat. Pihak panitia terpaksa merogoh kocek pribadi untuk memberikan hadiah piala dan menandatangani sendiri sertifikat pemenang. ”Sebelum saya ikut terjun, kawan-kawan sebelumnya juga melakukan hal sama, merogoh kocek sendiri,” ujarnya.
Proses regenerasi untuk orang-orang yang terlibat dalam distribusi film juga sulit dilaksanakan. Seperti kata Satriya, aktivitas distribusi merupakan lahan kering dan pengabdian agar film independen Surabaya bisa berjalan lancar. Dengan cara bonek macam ini, tak heran kini INFIS tengah pingsan jika tanpa disuntik bantuan dari pemerintah.
Tetapi Satriya mengatakan ditengah skeptisme dan apatisme berbagai pihak, Satriya tetap meniupkan rasa optimisme. Dirinya percaya jika upaya ini terus dilaksanakan secara kontinyu dan konsisten, industri film yang diimpikan akan bisa terwujud. (k2).


(ditulis untuk Surabaya Post edisi 28 Juli, belum diedit).

Comments

Anonymous said…
blog nya bagus sekalii
Anonymous said…
hik hik hik aku jan temen cinta karo SUROBOYO, aku pingin melok komunitas2 SUROBOYO, salah sijin yo koyo CUKS, tapi aku gak isok nggawe film, aku cumak isok misuh thok, medhok sisan, hik hik hi
Mashita Mashita said…
@mas Salas : cinta Suroboyo gak kudu nggawe film jeh. isok lewat penggunaan kata-kata misuh. hahahahaha
@madzz: makasih.....

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej