Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2012

Lontong Balap yang Menggelegar

Ahahayhayhay....agak menggelegar juga judulnya. Maaf sebesar-besarnya, soalnya saya tidak  bisa  tidak untuk menggambarkan betapa beruntungnya saya bisa mencicipi lezatnya makanan khas Surabaya yang disebut Lontong Balap. Langsung jatuh cinta ketika pertama kali menginjak Surabaya di tahun 1999. Eitss..aku asli Arek Suroboyo tapi baru benar-benar tinggal ketika pertengahan SMA karena ikut ortu yang kerja jadi PNS. Waktu itu, almarhum Ayah mengajak makan di daerah Kranggan untuk menghibur hatiku yang sedih karena merasa dipaksa pindah ke Surabaya. Awalnya merasa aneh ada nama makanan Lontong Balap....awal mengira kalau hal itu dikarenakan pedagangnya harus balapan dng Satpol PP, takut diobrak. Hahahah..... And it's heaven! Makanan ini benar-benar luar biasa enak. Curigaku, hal ini disebabkan oleh sambel petisnya yang juga wah-wah pedasnya. Meski begitu, sesendok sambel petis rasanya kurang....ya minimal dua sendok or tiga sendok lah. Nggobyosss! Kayaknya ini makna 'balapa

Lebaran Jadi 'Kuburan'

Lebaran..... Tiap Muslim yang mendengar satu kata tersebut pasti merinding, menitikkan air mata karena meral asa lahir jadi pribadi yang baru.Di sisi lain,umat Islam ada yang bersuka cita, bergembira ria menyambut kedatangan hari yang ditandai sebagai 1 Syawal. Perihal 1 Syawal, saya kira sudah banyak yang membahasnya dengan lebih ahli. Dari sudut ilmiah dan religius, sudah ada pakarnya. Saya hanya ingin menuliskan ulang, dalam sebuah diskusi singkat di media sosial twitter, kawan saya menyebutkan puisi 'Malam Lebaran' karya Sitor Situmorang. Puisi ini sangat singkat, hanya berisi satu baris kalimat : 'bulan di atas kuburan'. Tentu Sitor bukan seorang yang bodoh karena di malam Syawal, tidak akan ada bulan yang terlihat. Tapi, bisa jadi kalimat itu tidak untuk diartikan secara harfiah semata. Harus diselami. Tidak perlu susah-susah sebenarnya karena dari judul puisi dan baitnya pun, dengan mudah kita melihat realitas tiap jelang Lebaran di kehidupan masyarakat I

Sajadah

Sajadah itu ada gambar masjid di atasnya Basah karena bulir air mata, jatuh bersama segudang kesedihan. Makin lama makin basah Suara-suara merapal gejolak.  Dimana Tuhan, dimana DIA? tanyamu. Katanya DIA ada dekat kita,dekat urat nadi leher kita. Kenapa Tuhan masih membuat sajadah ini basah karena tangis. Suara itu membaca puisi-puisi hujan, menuliskan rintik hujan dalam kaca-kaca yang berembun Menyanyikan kerinduan pada mendung yang bergulung tak tentu arah Lantas patah menanti hujan. Andai Sajadah diberi lengan, takkan menolak memeluk suara yang bertutur tanpa tentu. Tanpa henti. Tak terbendung bersama isak.   Sajadah masih tergelar di atas lantai, masih mendengar suara berpuisi yang makin lamat. Tapi bukan lagi puisi hujan. Mungkin tentang sembilu yang merobek pagi.  Sajadah itu masih basah. Suara itu bisu. Air tak lagi menetes.  Mungkin tengah merapal doa agar alam tetap memeluk keluh. Agar tetap mencari jalan. Bertemu Tuhan.