Sekolah daring tahun ajaran 2021/2022 dimulai lagi. Masih belum banyak kontroversi yang muncul di tahun kedua pembelajaran daring ini.
Tapi tahun ini saya yang juga jadi guru SD dadakan karena pandemi tak kunjung selesai. Memang pengalaman saya masih seupil perihal sekolah daring ini. Tapi dari beberapa hari ikut MPLS (Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah) dan pengalaman sekolah daring dari sejumlah kawan, ada beberapa catatan yang ingin saya bagikan disini :
1. Pendidik
Memang kalo sekolah negeri, gurunya bisa santai selama sekolah daring. Itu yang diceritakan emak-emak tetangga saya yang 'lebih senior' perihal sekolah daring.
Kasih tugas lewat WAG trus abis itu tinggal nungguin foto-foto anak-anak yang diajari sama ibunya/ayahnya sendiri. Entah mengerjakan sendiri atau dibuatin ayah/ibunya, setelah itu beri nilai. Suami nyeletuk, ngapain daftar sekolah mahal kalau belajar daring diajarin mama. Cukup belikan seragam sendiri, buku paket dan ajari sendiri. Ndak usah bayar sekolah yang mahal, lah wong pelajarannya bisa diajari mama sendiri. (Wkwkwkw...salah sendiri pilih sekolah negeri).
Beda dengan guru swasta, harus jungkir balik mengajari secara daring. Tiap hari ngajar via zoom padahal siswanya matiin layarnya. Tiap hari kirim tugas dan memantau, si anu dan si fulan belum kirim tugas. Seabrek tugas mirip sekolah sebelum pandemi. Bahkan beberapa memilih melanggar aturan pemerintah selama pandemi. Kalau tidak begitu, wali murid enggan membayar. Gurunya gak bayaran. Operasional kembang kempis. Jumlah siswa makin sedikit. Hidup segan mati tidak mau.
Lucunya masih ada orang tua yang menunda bayar SPP juga. Alasannya pendapatan semburat karena Covid-19. Lho kok daftar sekolah swasta.... Wkwkwkwk
2. Materi pembelajaran
Soal belajar, kalau sekedar pelajaran yang diterima selama beberapa hari terakhir, orangtua mungkin bisa mengajari. Entah untuk level selanjutnya, yang katanya soal SD udah kayak SMP. Dulu istilah kerennya kalau gak salah HOTS (High Order Thingking Skill). Alasan Mendikbud saat itu, materi pendidikan di Indonesia ketinggalan jauh dengan negara lain. Sehingga tingkat kesulitannya lebih tinggi.
Begini aja udah bikin horor bagi emak-emak yang otaknya pas-pas an kayak saya. Lewat pengalaman emak yang lain, gurunya (sekolah negeri) gak menjelaskan apapun soal pelajaran, cuma sekedar kasih tugas.
3. Perkembangan anak
Salah satunya soal sosialisasi yang tidak bisa diajari di rumah. Lingkaran pertemanan di rumah juga terbatas, apalagi dengan latar belakang hidup di perumahan. Tingkat sosialnya mungkin berbeda sedikit, tapi karakternya sama. Sedikit individualistik. Di dalam rumah terus. Pasang WiFi. Kasih hape. Anteng. Beda di sekolah. Anak membaur jadi satu. Bermain jadi satu. Mau kaya mau miskin, saling bantu.
Secara fisik, dengan berkegiatan di sekolah anak dilatih lewat permainan bersama teman. Lari-lari, kejar-kejaran. Petak umpet, gobak sodor, senam SKJ (duh tua banget nih istilahnya). Kalau sekolah secara daring, kemarin pelajaran PJOK disuruh gambar bola. Errr... mungkin harus tunggu beberapa lama lagi yak.
Secara sosial, anak belajar toleransi, memahami karakter temannya, menjalin persahabatan dan berkomunikasi dengan sebaya. Menghormati guru dan orang-orang yang lebih tua. Di rumah, mungkin saja anaknya kurang menaruh hormat pada orangtuanya.
Secara akademis, anak juga dilatih untuk termotivasi bila melihat temanya yang berprestasi. Bahkan jiwa kompetisi anak juga terasah karena ingin menjadi yang terbaik.
Dari segi, religius anak juga bisa mendapatkan teladan. Tidak semua orangtua punya religiusitas yang baik, yaah rata-rata lah kayak saya. Sedangkan di sekolah, pembelajaran dan pengajaran sesuai dengan standar. Kalau sekolah Islam, bahkan lebih ketat lagi. Harus hafal berapa juz dan rutin sholat wajib. Tambah-tambah kalau sekolah di pesantren.
Dari segi kecerdasan? Entah lah. Kalau mau mengerjakan pasti dapat nilai. Alhamdulillah semua tugas yang Ayun kerjakan mendapatkan nilai 87-89. Soal mengerjakan tugas memang harus jujur pada diri sendiri sih. Wkwkwkwk......
Kementerian terkait juga tidak memaksa kalau siswa sendiri yang harus mengerjakan seluruh soal di tengah keterbatasan kondisi. Jadi prestasi (sementara ini) hanya diatas kertas saja.
4. Orangtua
Dirangkum dari curhatan para emak-emak di lingkup penulis, rata-rata mengeluhkan "drama" yang selalu muncul saat sekolah, terutama yang masih duduk di jenjang dasar. Rata-rata mereka menyebut tidak sekolah karena tidak berangkat ke sebuah gedung yang dinamakan sekolahan. Ini membuat ortu harus putar otak memaksa anak-anaknya belajar. Salah satu strategi yang saya pakai, Ayun boleh main game kalau sudah selesai mengerjakan tugas. Hasilnya cukup menghibur, semua tugas dia kerjakan tepat waktu. Dampaknya, abis itu main game, dilanjut sepedaan, dilanjut liat youtube, abis itu main boneka, main... main... main... main...
Belum lagi kalo emaknya juga kerja. Duh... tiap istirahat kerja digunakan untuk mengerjakan tugas daring anak-anaknya. Makan siang pun terasa tidak nyaman karena banyak soal yang bingung cara menjawab. "Untung zaman sekarang ada Mbah Google. Nyontek sana aja. Urusan bener atau salah, jujur atau tidak, belakangan. Yang penting anak mengerjakan tugas," ujar salah seorang tetangga yang bekerja di pabrik.
5. Anak
Sejauh ini anak-anak cukup senang dengan sekolah daring. Karena belajar hanya beberapa jam saja disambi makan, jajan, liat kartun dsb. Belum lagi dapat "sogokan" orang tua supaya mau buka buku pelajaran dan belajar di rumah. Hahahahaha.......
Penutup
Tujuan belajar di rumah adalah demi terhindar dari penyakit Covid-19. Apakah betul seperti itu? Tidak juga. Banyak kasus kluster keluarga yang artinya penularan tidak terjadi di sekolah.
"Sekolah ga sekolah tetap ketularan di sekitar sini, bahkan kena dari orangtua. Untung aja anakku imunnya tinggi jadi ga ketularan ketika aku terkonfirmasi positif Covid-19. Jadi harusnya ya sekolah aja sih. Tapi aturan pemerintah mau bagaimana lagi," ujar A, tetangga yang baru saja sembuh dari paparan Covid-19.
Pandemi menjadikan situasi dan kondisi menjadi tidak ideal. Termasuk soal bagaimana belajar dan bersekolah, dengan kurikulum yang berubah-ubah. Anak-anak dan orangtua (termasuk guru) dipaksa untuk beradaptasi dengan kebijakan yang ada.
Solusinya? Sudah banyak yang bicara, termasuk teorinya juga sudah lengkap. Mengendalikan pandemi di Indonesia nyatanya tidak pernah semudah teori yang dikemukakan para ahli.
At the end... sebagai warga jelantah dan remahan rengginang semata, mau tidak mau terpaksa mengikuti aturan coba-coba sambil terus berdoa kita semua tidak kena virus Covid-19.
Comments