Skip to main content

Drakor True Beauty : Jejak Masa Lalu

Ada sebuah adagium, kecantikan dari dalam lebih penting ketimbang kecantikan luar (fisik). Tapi konon yang suka ngomong inner beauty  lebih unggul daripada kecantikan fisik cuma orang jelek. Benarkah?






Drama Korea berjudul "True Beauty" lagi trending sejak 9 Desember 2020 dan kira-kira hingga akhir Januari ini. Tidak lain karena drakor ini merupakan adaptasi dari webtoon populer dengan judul sama karangan Yaongyi. Jujur, aku gak pernah baca webtoon, apalagi dengan judul tersebut. 

Tapi aku merasa punya keterkaitan dengan karakter dan kisah yang dialami oleh Kim Ju-Kyung (diperankan oleh Moon Ga Young). Apalagi kalau bukan bullying atau perisakan teman sekolah. Dan seperti halnya Ju-Kyung, aku juga tidak berani menceritakan perisakan ini kepada orang tua atau mengeluhkannya kepada orang lain. Alasannya klise : takut dianggap cengeng. 

Kalau kisah perisakan Ju-Kyung, dilakukan oleh segerombol anak perempuan populer yang dibiarkan oleh pihak sekolah. Kalau aku gak sampai dirisak anak perempuan populer sih karena alhamdulillah aku cukup berprestasi di sekolahan. Jadi meski jelek, banyak teman yang mau berteman karena aku selalu jadi kesayangan para guru.

Perisakan yang aku alami lebih kepada bentuk kekerasan verbal (istilah yang baru aku ketahui ketika jadi jurnalis). Ternyata kekerasan ga cuma fisik, tetapi ada kekerasan verbal dan kekerasan fisik+verbal. Terakhir kekerasan seksual. Semuanya pernah aku alami.  

Sebagai anak seorang birokrat, aku terbiasa pindah-pindah tempat tinggal mengikuti penugasan orang tua. Pada saat SD, aku tinggal di Bekasi. Teman-teman sekelas selalu mengolok-olok aku anak pengungsi dari Timor Timur (sekarang Timor Leste) karena perawakanku ceking, tinggi, item, kriwul. Kadang juga aku diolok-olok karena kemedokanku dan menyebutku anak orang Jawa. 

Meski tidak paham apa itu kekerasan verbal, yang jelas aku berusaha menggemukkan badan untuk bertahan dari olok-olokan, supaya tidak lagi disebut anak pengungsi.  

Naik ke SMP, aku mengira olok-olok fisik semacam itu akan berhenti kuterima. Ternyata tidak. Sudah biasa bagi teman-teman untuk mengolok. Apalagi kali ini, guru pun ikut mengolok-olok. "Ini ada anak dari Afghanistan sekolah disini." Aku menganggapnya guyonan karena beliau guru favorit aku, guru Geografi. Ganteng. Lucu. Tapi lupa namanya. Tapi selalu ingat olok-oloknya. 

Strategi supaya tidak diolok-olok saat SMP adalah menjadi siswa berprestasi. Selain itu, aku juga aktif di pencak silat, bisa main basket, main sepeda, main tenis dan badminton.

Olok-olok terus berlanjut ketika menapaki SMA di Bogor. Disana, jelas sekali perbedaan fisik antara aku dan teman-teman yang pada umumnya berkulit putih, cantik dan terawat. Saat SMA adalah masa ketika kita punya geng yang punya minat sejenis. Geng orang cantik? Jelas bukan aku. Geng orang pintar? Jelas gak juga. Geng cewek jelek? Duh...! 

Tapi menjadi jelek tampaknya jadi masalah bagi manusia lain. Lelaki jelek bahkan bercita-cita punya pacar cantik. Cewek jelek? berani dekat dengan anak lelaki, apalagi gacoan, gak berani!!

Hanya dua kali aku menyatakan cinta. Saat cinta monyet, aku ditolak mentah-mentah dan ketika bertemu si dia selalu menaikkan dagunya tinggi-tinggi. Yang kedua di tahun 2004 ketika awal bekerja. Ditolak juga. Habis itu sempat diajak menikah lelaki baik. Aku tolak. Sekarang lelaki tersebut karirnya moncer. 

Pernah pula aku dijodohkan teman-teman sama seorang lelaki. Tapi tidak sengaja aku mendengar, dia pernah berkata : "Sita ya manis juga sih. Tapi ntar aja, kalo semua cewek udah abis baru aku mikir dia." 

Makjleb. Memori buruk diolok-olok karena jelek mendadak berputar di kepala. Adagium bahwa, "Inner beauty lebih berharga ketimbang kecantikan fisik" langsung ambruk. Prestasi akademis tiba-tiba lenyap. Pengen songong soal prestasi religius juga gak bisa. 

Apalagi teman lelaki yang lain pernah berkata, "Yang ngomong inner beauty itu cuma orang jelek." Lelaki itu mungkin menertawakan diri sendiri karena kami sama-sama jelek. 

Melihat drakor "True Beauty", tentu aku iri. Andaikan dahulu aku punya pacar seperti Lee Su-Hoo ataupun Seo-Jun yang selalu memperhatikan diriku, tentu gak akan semerana ini. Kadang pula andaikan aku cantik, ga harus dihina dan dijadikan perempuan terakhir yang akan dipilih di bumi ini. Andai andai andai andai... oh andaikan. 

Sekecil apapun bully yang pernah aku (ataupun yang kalian terima), kusadari berdampak pada kepercayaan diri. Yang paling terasa adalah takut muncul di permukaan. Lebih suka dalam bayang-bayang orang lain. Mirip lah kayak Tae Gong Sil (Master's Sun) yang cari perlindungan ke Joo Joong-won.   

Bunuh diri? Pernah terlintas niat itu. Tapi berkali-kali pula niat itu aku urungkan karena pahalaku belum banyak-banyak amat. Meski tidak pandai secara religius, aku tidak mau masuk neraka. Naudzubillah! 

Mungkin cara aku menangani perisakan ini tidak pas, menurut teori yang berkembang saat ini. Tapi beginilah manusia berbobot ini "menyelamatkan" jiwa dan fisik dari kerusakan lebih lanjut. 
  
Kalau sekarang apa masih suka di-bully ? Kayaknya iya. Apalagi sekarang malah gendut banget. Tapi telinga ini udah terlatih untuk memfilter mana perkataan/perbuatan yang tidak berguna dan mana perkataan/perbuatan bermanfaat. Suatu nasihat yang disampaikan mas Lege 2004 lalu. Baru bisa dipraktekkan setelah lebih dari 10 tahun kemudian. 

Lantas benarkah adagium di atas  ? Entahlah...bagiku yang penting saat ini adalah bisa tetap hidup di tengah nyinyiran netizen yang Maha Benar. 

Gimana ending Ju-Kyung dan Su-Hoo ? Mungkinkah babang tamvan berjodoh dengan cewek jelek? Nanti yah kutulis review-nya kalo sempet. Wkekekekekekk.... 

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej