Skip to main content

Museum BI, Emas di Tengah Kota Tua

Di tengah padatnya mal Jembatan Merah Plaza dan terminal bayangan di sekitarnya, plus Taman Jayengrono yang begitu memikat hati dengan gemerlap lampunya, ada emas yang tersembunyi. Bukan emas beneran, apalagi mas-mas ganteng. Wkwkwkwk...

Yang aku maksud adalah Museum Bank Indonesia yang berada di Jalan Garuda no. 1. Untuk menuju kesana, tinggal mencari angkutan kota (angkot) yang menuju ke JMP. Agak capek karena harus ganti-ganti angkot sebelum akhirnya tiba di JMP. Kalau mau naik bus, lebih mudah. Dari Terminal Bungurasih, cari jurusan menuju ke JMP duduk manis, sampeee deeeh.

Meski sudah diresmikan sejak 27 Januari 2012, aku baru menginjakkan kaki ke museum itu pada Rabu 11 Maret 2020. Itu pun karena ada kepentingan peliputan kegiatan sebuah lembaga. Pake acara nyasar pula.  Oh my good!!! 

Lalu selama 8 tahun kemana aja sampe museum sekeren itu lewat dari pandangan? Alasannya banyak sih...utamanya karena gak pernah ditugaskan liputan kesana. Selebihnya ya agak kurang tertarik dengan kata "museum" mengingat disini tempat itu identik dengan kusam, gelap, berdebu dan membosankan. Hahahahaha...

Anyway, apa yang ada di Museum BI sungguh patut diapresiasi karena melestarikan sejarah Indonesia. Gedung ini punya nama De Javasche Bank dan dulu berperan sebagai Bank Sentral Hindia Belanda yang bermarkas di Batavia. Keren yah....

Berada di kawasan kota tua, gedungnya terawat dengan sangat baik sekali. Bersih. Punya areal parkir yang cukup luas, bisa deh bus besar masuk parkir disini. Sayangnya gak sempat mampir ke kamar mandinya. Hehehehe.

Masuk ke museum tidak dipungut biaya, namun pengunjung diminta untuk mengisi buku tamu. Untuk rombongan, diminta untuk mendaftarkan jadwal kunjungannya. Biasanya ada guide yang akan menjelaskan koleksi-koleksi yang dimiliki oleh Museum BI. 

Di sisi kanan areal Museum BI, terdapat ruang keamanan alias satpam. Disinilah kita bisa tanya-tanya untuk jadwal dan mengisi buku tamu. Museumnya sendiri ada di sisi kiri dan harus turun tangga sekitar setengah meter. Dari luar keliatannya gedung ini kecil, tapi adakno guedeee lan jembar rek!!!

Karena kedatangan ke museum dalam rangka pekerjaan, maka saya kurang memperhatikan koleksi yang ada. Tapi yang paling menarik adalah CCTV ala Hindia Belanda. Jadi, jaman dulu orang Belanda memasang cermin di empat sudut ruangan penyimpan uang untuk mengetahui gerak-gerik mencurigakan. Semacam pencuri hati gitu...hihihiihi.

Ada juga ruangan menyimpan uang (brankas). Berhubung gak pernah masuk ke brankas bank, maka saya membandingkannya dengan ruangan tersebut seperti yang ada di film-film yaaa. Kalau jaman sekarang ruangan itu ditutup dengan pintu baja plus kunci brankas mungil mulai dari manual sampai digital.

Nah di Museum BI, brankasnya juga kayak gitu. Cuma gagang brankasnya punya lingkaran yang besar. Di dalamnya, ruangannya disekat menjadi dua, dengan dibatasi oleh jeruji besi. Di dalam ruangan berjeruji itulah disimpan uang-uang hasil setoran di teller. Uniknya, uang setoran dari teller dikirim dari lantai atas melalui sebuah lift - yang mirip dengan pintu brankas - dikirim ke ruang brankas di lantai bawah. Untuk membukanya, juga diperlukan sebuah kunci yang hanya dimiliki oleh pejabat berwenang. 

Selanjutnya bisa dilihat di foto-foto aja ya...tapi bagian depan gak kefoto soalnya ada baliho besar yang mengganggu foto. Kalau ada waktu luang, ntar main lagi kesana. Sorry kalau masih banyak detil yang tidak tertulis dan terfoto. Karena saat berkunjung, waktunya sangat mepet dengan tugas yang lain.






















Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej