Skip to main content

Pilih Bekerja atau Ibu Rumah Tangga?

Sebuah pilihan berat akhirnya aku ambil keputusan berat : RESIGN!!!

Pilihan dibuat dengan tangis dan derai air mata di sebuah warung kopi di kawasan Surabaya Barat. Dengan tersedu-sedu, lelah dengan tekanan pekerjaan, kuliah dan tangisan anak-anak, aku mantapkan hati untuk berhenti jadi jurnalis.

Pekerjaan impian yang selalu aku banggakan. Dengan segala daya upaya, aku meraih pekerjaan tersebut, dengan tangisan, menahan sedu, menahan lelah dan menekan segala keinginan, aku sukses menjalani profesi wartawan selama 15 tahun terakhir.

Apa prestasiku? Hmmm...memang tidak banyak piala atau sertifikat yang bisa aku dapatkan. Tapi di profesi ini, setidaknya aku puas bisa menyampaikan kepedihan, kesedihan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi kehidupannya yang semakin ditekan oleh keadaan. Pun pemerintah juga seolah tidak pernah ada di dalam kehidupan masyarakatnya. Guyonannya, ada atau tidak ada pemerintah, toh rakyat Indonesia bisa tetap makan, hidup dan mandiri.

Dengan pekerjaan ini pula, aku bisa berkeliling Indonesia. Bertemu dengan orang-orang berbagai karakter dan cara mereka merespon masalah yang dihadapinya. Jujur, kala berhadapan dengan sejumlah narasumber keren kadang malu juga karena diri ini masih manja dengan masalah kehidupan. Saat bertemu dengan para tokoh, aku merasa termotivasi untuk tetap optimistis menghadapi masalah kehidupan.

Dan setelah sekian belas tahun, aku memutuskan untuk berhenti. Rasanya? Duh kepala seakan berputar-berputar. Pusing tujuh keliling. Makdek diam gak kemana-mana, gak liputan, gak naik motor ngukur jalan, ketemu orang. Tapi gak seperti dunia runtuh sih.

Penyebabnya? Aku melihat anakku, terutama si sulung Ayun, berubah menjadi anak yang lebih baik. Adiknya apalagi, lagi cerewet-cerewetnya, nggemesin, lucu, mokong, duh semua jadi satu. Sedikit cerita soal si anak kedua, Mikha. Dulu pas Ayun masih batita, tatag ninggalin dia kerja. Tapi entah kenapa, kalo liat wajah si Mikha pas mau berangkat kerja hati jadi merasa sendu dan memelas. Lebih-lebih setelah dia sakit lumayan serius di usia 1,3 bulan. Dia kena radang paru-paru. Kalau ingat-ingat lagi saat itu, rasanya mau nangis. Paling melas pas dia harus diuapi pakai masker. Berontak dan nangisnya sukses bikin emaknya yang tomboi ini mbrebes mili. 

Tiap hari kasih obat, dua minggu sekali ke dokter untuk mengecek perkembangan kesehatannya. Belum lagi kalau tiba-tiba Mikha kena flu dan batuk. Oalaaah rasaneee emosi jiwa diaduk-aduk gak karuan. Rasa keibuanku tercabik-cabik. Tiba-tiba aja ada rasa bersalah karena meninggalkan anak bekerja. Dan perasaan buruk lainnya datang bertubi-tubi di tengah padatnya kegiatanku.

Hhiihihihi...ternyata aku seperti perempuan pada umumnya. Gak kuat kalo ngadepin masalah anak. Ya udahlah yaaaa akhirnya aku memilih untuk resign. Alasan lain, ya banyak kalo ditanyain mah. Kalo kata orang Jawa, alasan lebih luas dari alas (hutan).



  Perasaan resign dari pekerjaan tuh antara lega dan gelo. Kecewa karena kehilangan pendapatan dan kehilangan momen menghapus rasa bosan dengan keliling ngukur dalan. Lega karena bisa mendampingi anak-anak lebih maksimal. Termasuk pas lagi lucu-lucunya Mikha atau pas lagi pinter-pinternya.

Sampai sekarang, salah satu hambatan yang paling besar adalah mengelola uang belanja yang kadang cukup tapi lebih banyak kurangnya. Hahahahaha....kalo pas masih jadi wanita karier, uang belanja kurang masih bisa diambil dari gaji sendiri. Beli bedak, lipstik, pelembab, cushion, eyeliner, maskara, pake duit sendiri. Sekarang? Ya wassalamualaikum wr wb sambil merapal doa.

Jadi mana yang lebih baik buat perempuan?Jadi wanita karier atau jadi ibu rumah tangga? Jawabannya balik ke diri sendiri. Tiap perempuan punya kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dengan perempuan yang lain. Gak usah dibandingin apalagi sampe dicari baik-buruknya. Insha Allah dengan cara demikian, perempuan bisa lebih berdaya dan punya daya saing meskipun itu dari rumah.

Whoaaaaaa.........semangat!!!







Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej