Skip to main content

Cita-citaku...eh cita-cita orang tua eh...cita-citaku


Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.

-----------

Puisi milik Khalil Gibran sengaja saya sematkan di awal tulisan ini. Pekan lalu, seluruh orang tua se-Indonesia Raya menerima hasil ujian semester, termasuk saya. Jujur, naruh ekspektasi agak tinggi kepada Ayun karena melihat antusiasme tinggi bocah 5 tahun ini saat bersekolah. Dan ketika di rapor tertulis ada penilaian "belum berkembang", sekelebat kecewa dan muncul rasa 'gak terima Ayun dinilai tidak mampu.'  Apa yang salah? Apa yang kurang? Apa yang belum maksimal dalam mendidik anak? Apa yang harus dibeli supaya Ayun bisa belajar maksimal? Ayun terlalu lama main hp? Terlalu malas? Dan sederet pertanyaan muncul selama beberapa hari ini.

Dan kemudian malam ini saya terhenyak bahwa sikap seperti saya berlebihan. Sebagai orang yang sedikit mengerti soal perkembangan anak, tuntutan saya kepada Ayun sangat tidak rasional dan terkesan kejam.

Duh Gusti.....ampuni hambamu Ya Allah...karena sudah terlalu kejam menilai padahal Ayun masih lima tahun, gaeesss. Masih waktunya bermain dan bersenang-senang tanpa harus mikir rapor. Apalagi dari ratusan indikator, yang nilai kurang cuma tiga item!!! Sungguh TERLALU!

Orang tua, termasuk saya, sering lupa bahwa anak punya keunikannya sendiri-sendiri. Paradigma kesuksesan anak dari nilai akademis, harus diubah. Banyak jenis kecerdasan yang dikembangkan dan bisa membanggakan di masa depan. Pun janganmemaksakan hal-hal yang bukan keinginannya sendiri.

Anak bukanlah alat bagi orang tua mewujudkan cita-cita pribadi mereka yang tidak tercapai. Kalo kata Gibran Rakabuming...eh salah maksudnya Khalil Gibran, anakmu bukanlah anakmu. Orang tua hanyalah sebagai busur, yang melesatkan anaknya ke cita-citanya sendiri bukan cita-cita orang tuanya.

Mungkin beginilah rasanya almarhum Ayah saat tahu ternyata saya memilih jadi jurnalis saat dia mempersiapkan kuliah di  STIE Perbanas Surabaya. Atau saat Ibu menginginkan anaknya bekerja dengan pekerjaan yang lebih serius dan mentereng. Toh pada akhirnya mereka tetap menerima apa adanya saya, khususnya Ibu.

Maka baiklah...bismillah. Saya akan membiasakan diri untuk melupakan target-target yang tidak rasional dan kejam pada Ayun dan Mikha. Harus menekan ego untuk mengajak les sana-sini, atau mengajak terapi sana-sini.

Tarik nafaaasss...hempaaaaassskaaan semua keinginan pribadi dan jadilah busur bagi anak-anak. Hempaaassskaaaan keinginanmu menjadikan Ayun sebagai wali kota Surabaya di masa depan, dan sedari dini menerima anak-anak apapun kondisinya. Kuatkan hatimu dan pikiranmu Sita!
All is well.

Surabaya, 25 Desember 2019.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej