Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.
Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.
Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.
Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.
Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.
Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.
-----------
Dan kemudian malam ini saya terhenyak bahwa sikap seperti saya berlebihan. Sebagai orang yang sedikit mengerti soal perkembangan anak, tuntutan saya kepada Ayun sangat tidak rasional dan terkesan kejam.
Duh Gusti.....ampuni hambamu Ya Allah...karena sudah terlalu kejam menilai padahal Ayun masih lima tahun, gaeesss. Masih waktunya bermain dan bersenang-senang tanpa harus mikir rapor. Apalagi dari ratusan indikator, yang nilai kurang cuma tiga item!!! Sungguh TERLALU!
Orang tua, termasuk saya, sering lupa bahwa anak punya keunikannya sendiri-sendiri. Paradigma kesuksesan anak dari nilai akademis, harus diubah. Banyak jenis kecerdasan yang dikembangkan dan bisa membanggakan di masa depan. Pun janganmemaksakan hal-hal yang bukan keinginannya sendiri.
Anak bukanlah alat bagi orang tua mewujudkan cita-cita pribadi mereka yang tidak tercapai. Kalo kata Gibran Rakabuming...eh salah maksudnya Khalil Gibran, anakmu bukanlah anakmu. Orang tua hanyalah sebagai busur, yang melesatkan anaknya ke cita-citanya sendiri bukan cita-cita orang tuanya.
Mungkin beginilah rasanya almarhum Ayah saat tahu ternyata saya memilih jadi jurnalis saat dia mempersiapkan kuliah di STIE Perbanas Surabaya. Atau saat Ibu menginginkan anaknya bekerja dengan pekerjaan yang lebih serius dan mentereng. Toh pada akhirnya mereka tetap menerima apa adanya saya, khususnya Ibu.
Maka baiklah...bismillah. Saya akan membiasakan diri untuk melupakan target-target yang tidak rasional dan kejam pada Ayun dan Mikha. Harus menekan ego untuk mengajak les sana-sini, atau mengajak terapi sana-sini.
Tarik nafaaasss...hempaaaaassskaaan semua keinginan pribadi dan jadilah busur bagi anak-anak. Hempaaassskaaaan keinginanmu menjadikan Ayun sebagai wali kota Surabaya di masa depan, dan sedari dini menerima anak-anak apapun kondisinya. Kuatkan hatimu dan pikiranmu Sita!
Surabaya, 25 Desember 2019.
Comments