“Assalamualaikum Ta…udah di kos?”, kata Ibu di seberang telepon.
“Sudah, barusan datang,” kataku sembari merebahkan tubuh di atas kasur.
“Trus…kapan pindah balik ke rumah,” kata beliau.
“Iya…sedang beberes ini. Masih harus nyari kardus yang lebih besar lagi,” ucapku sedikit enggan.
Lalu obrolan selanjutnya mulai mengalir. Mulai dari pekerjaanku, mantanku, sampe marah-marah karena aku yang selalu susah makan tepat waktu.
***
Ibu bukan sekedar pertanyaan, tapi desakan yang cenderung untuk memerintah. Ibu tahu, kalau terlalu keras memaksa, aku akan makin keras menolak. Secara pelan namun pasti, Ibu meminta untuk kembali ke rumah.
Awalnya, berat karena tentu ada pertanyaan apa yang harus dikerjakan? Apa yang harus dilakukan kalau kembali ke rumah? Apa tidak membebani orang tua? Bagaimana pekerjaan yang sekarang?
Banyak ketakutan. Banyak keresahan.
Sedih dan kecewa meninggalkan pekerjaan lama memang sempat menggelayut hati.
Tapi mengabaikan pernyataan Ibu bukan hal yang gampang dilakukan. Mengecewakan permintaan Ibu bukan pilihan yang lebih mudah.
Bertahan, juga bukan pilihan yang tepat karena zona nyaman membuat kita menjadi stagnan dan tidak berkembang. Yaaah…boleh lah memperdebatkan ‘tidak ada yang salah dengan zona nyaman’. Toh, itu bukan hal yang buruk. Tempat jenak untuk berlindung dari segala gangguan yang ada. Hmmm…untuk kehidupan pribadi, ini yang sedang kulakukan. Hihihii.
Tapi, ya itu tadi.
Menolak permintaan Ibu bukan hal yang mudah. Niatnya pengen membuat Ibu senang. Makanya aku pulang. Meski awalnya tidak jelas pula apa yang ingin aku kerjakan.
Di rumah, tempat favorit kami adalah kamar Ibu. Disana segala macam hal akan ditemui mulai dari dokumen TK (Ibu punya sebuah TK yang berdiri selama enam tahun terakhir dan terakreditasi B), baju-baju hingga anak-anaknya yang malas mandi. Hahahahh…..
Kadang melihat hal itu, Ibu ngomel-ngomel karena anak-anaknya kok malas mandi. Kadang omelan juga meluncur kalau melihat dokumen TK tidak jua dikerjakan olehku atau adikku. Kadang juga kami pringas-pringis ngelihat Ibu yang suka lupa naruh kacamata-nya dimana.
Itu pula yang terjadi di suatu sore. Aku baru saja menyelesaikan naskah berita tentang kuliner Jogja. Adikku menggelempangkan diri di atas kasur, di sebelahku. Kakak laki-lakiku bersliweran di ruang tengah.
Ibu mulai mengomel tentang hari itu. Tentang guru yang kurang detail dalam mengajar, tentang organisasi yang di dalamnya beliau jadi bendahara, tentang mainan yang rusak, seragam yang kurang. Tentang baju-baju yang belum dilipat, tentang rumah yang lupa di pel, tentang motorku yang masih rusak, tentang semuanya.
Di ujung omelan (yang sebenarnya bukan omelan sih :D), beliau berkata :”Tapi Ibu seneng, semua anak-anak Ibu sudah di rumah.”
Aku terpana sejenak mendengar kalimat itu. Ekpsresiku cuma senyum simpul saja.
Kadang aku merindukan liputan di Jogja seperti dulu. Kotanya indah. Nyaman. Meski tukang parkirnya paling galak di antara kota-kota yang pernah aku kunjungi. Yaa memang kurang dieksplorasi olehku sih. Apalagi kan modelku anak rumahan, mlebu kos yo turu. Hahahaha…
Tapi berada di samping Ibu, juga tidak kalah menggembirakan. Dan aku bersyukur untuk itu. Obrolan dengan seorang teman di seberang telepon maupun saat makan di Ciputra World, beberapa waktu lalu, cukup mengendapkan keinginan untuk meninggalkan rumah.
Ohya, dalam sembilan tahun terakhir ini memang aku berpindah-pindah kota. Berpindah-pindah pekerjaan, kebanyakan karena perusahaan medianya bangkrut. Kwkwkw…. Dan meski profesinya tetap: jadi jurnalis. Hemm…ini kayaknya emang udah panggilan hati ya cyiiint….
Lanjut lagi soal Ibu.
Ibu mungkin tidak mengatakan apapun soal anaknya, yang paling suka mengembara keliling ke berbagai kota di Indonesia ini. Kwkwkwk. Tapi Ibu memang paling tahu, sejauh-jauhnya aku jalan-jalan, pasti akan pulang ke rumah. Dan memang, serangkaian ‘hantaman’ baik kecil maupun yang terbesar sekalipun seperti perceraian orang tua hingga putus ama kamu (ahayyy…sapa nih), Ibu memang jadi tempat melabuhkan seluruh keluh kesah.
Ibu jadi samudera bagi anak-anaknya.
Aku bersyukur masih bisa menemani beliau, pas lagi ketawa, makan, ngantuk, tidur, cuci baju, masak, bahkan ketika pura-pura ngomel, ngomel ala kadarnya sampai ngomel beneran
Pulang ke rumah bukannya tanpa resiko. Karena ternyata, di rumah perasaan tidak bisa memberi kebahagiaan untuk Ibu, begitu kuat. Beliau memang diam. Tapi aku pun paham beliau tidak akan menuntut apapun atas kasih sayang yang telah diberikan pada anak-anaknya. Pun demikian, betapa aku begitu khawatir telah menjerumuskan Ibu sebagai penghuni neraka karena perbuatanku. Naudzubillahimmindzalik.
Surabaya, 19 Oktober 2012
“Sudah, barusan datang,” kataku sembari merebahkan tubuh di atas kasur.
“Trus…kapan pindah balik ke rumah,” kata beliau.
“Iya…sedang beberes ini. Masih harus nyari kardus yang lebih besar lagi,” ucapku sedikit enggan.
Lalu obrolan selanjutnya mulai mengalir. Mulai dari pekerjaanku, mantanku, sampe marah-marah karena aku yang selalu susah makan tepat waktu.
***
Ibu bukan sekedar pertanyaan, tapi desakan yang cenderung untuk memerintah. Ibu tahu, kalau terlalu keras memaksa, aku akan makin keras menolak. Secara pelan namun pasti, Ibu meminta untuk kembali ke rumah.
Awalnya, berat karena tentu ada pertanyaan apa yang harus dikerjakan? Apa yang harus dilakukan kalau kembali ke rumah? Apa tidak membebani orang tua? Bagaimana pekerjaan yang sekarang?
Banyak ketakutan. Banyak keresahan.
Sedih dan kecewa meninggalkan pekerjaan lama memang sempat menggelayut hati.
Tapi mengabaikan pernyataan Ibu bukan hal yang gampang dilakukan. Mengecewakan permintaan Ibu bukan pilihan yang lebih mudah.
Bertahan, juga bukan pilihan yang tepat karena zona nyaman membuat kita menjadi stagnan dan tidak berkembang. Yaaah…boleh lah memperdebatkan ‘tidak ada yang salah dengan zona nyaman’. Toh, itu bukan hal yang buruk. Tempat jenak untuk berlindung dari segala gangguan yang ada. Hmmm…untuk kehidupan pribadi, ini yang sedang kulakukan. Hihihii.
Tapi, ya itu tadi.
Menolak permintaan Ibu bukan hal yang mudah. Niatnya pengen membuat Ibu senang. Makanya aku pulang. Meski awalnya tidak jelas pula apa yang ingin aku kerjakan.
Di rumah, tempat favorit kami adalah kamar Ibu. Disana segala macam hal akan ditemui mulai dari dokumen TK (Ibu punya sebuah TK yang berdiri selama enam tahun terakhir dan terakreditasi B), baju-baju hingga anak-anaknya yang malas mandi. Hahahahh…..
Kadang melihat hal itu, Ibu ngomel-ngomel karena anak-anaknya kok malas mandi. Kadang omelan juga meluncur kalau melihat dokumen TK tidak jua dikerjakan olehku atau adikku. Kadang juga kami pringas-pringis ngelihat Ibu yang suka lupa naruh kacamata-nya dimana.
Itu pula yang terjadi di suatu sore. Aku baru saja menyelesaikan naskah berita tentang kuliner Jogja. Adikku menggelempangkan diri di atas kasur, di sebelahku. Kakak laki-lakiku bersliweran di ruang tengah.
Ibu mulai mengomel tentang hari itu. Tentang guru yang kurang detail dalam mengajar, tentang organisasi yang di dalamnya beliau jadi bendahara, tentang mainan yang rusak, seragam yang kurang. Tentang baju-baju yang belum dilipat, tentang rumah yang lupa di pel, tentang motorku yang masih rusak, tentang semuanya.
Di ujung omelan (yang sebenarnya bukan omelan sih :D), beliau berkata :”Tapi Ibu seneng, semua anak-anak Ibu sudah di rumah.”
Aku terpana sejenak mendengar kalimat itu. Ekpsresiku cuma senyum simpul saja.
Kadang aku merindukan liputan di Jogja seperti dulu. Kotanya indah. Nyaman. Meski tukang parkirnya paling galak di antara kota-kota yang pernah aku kunjungi. Yaa memang kurang dieksplorasi olehku sih. Apalagi kan modelku anak rumahan, mlebu kos yo turu. Hahahaha…
Tapi berada di samping Ibu, juga tidak kalah menggembirakan. Dan aku bersyukur untuk itu. Obrolan dengan seorang teman di seberang telepon maupun saat makan di Ciputra World, beberapa waktu lalu, cukup mengendapkan keinginan untuk meninggalkan rumah.
Ohya, dalam sembilan tahun terakhir ini memang aku berpindah-pindah kota. Berpindah-pindah pekerjaan, kebanyakan karena perusahaan medianya bangkrut. Kwkwkw…. Dan meski profesinya tetap: jadi jurnalis. Hemm…ini kayaknya emang udah panggilan hati ya cyiiint….
Lanjut lagi soal Ibu.
Ibu mungkin tidak mengatakan apapun soal anaknya, yang paling suka mengembara keliling ke berbagai kota di Indonesia ini. Kwkwkwk. Tapi Ibu memang paling tahu, sejauh-jauhnya aku jalan-jalan, pasti akan pulang ke rumah. Dan memang, serangkaian ‘hantaman’ baik kecil maupun yang terbesar sekalipun seperti perceraian orang tua hingga putus ama kamu (ahayyy…sapa nih), Ibu memang jadi tempat melabuhkan seluruh keluh kesah.
Ibu jadi samudera bagi anak-anaknya.
Aku bersyukur masih bisa menemani beliau, pas lagi ketawa, makan, ngantuk, tidur, cuci baju, masak, bahkan ketika pura-pura ngomel, ngomel ala kadarnya sampai ngomel beneran
Pulang ke rumah bukannya tanpa resiko. Karena ternyata, di rumah perasaan tidak bisa memberi kebahagiaan untuk Ibu, begitu kuat. Beliau memang diam. Tapi aku pun paham beliau tidak akan menuntut apapun atas kasih sayang yang telah diberikan pada anak-anaknya. Pun demikian, betapa aku begitu khawatir telah menjerumuskan Ibu sebagai penghuni neraka karena perbuatanku. Naudzubillahimmindzalik.
Surabaya, 19 Oktober 2012
Comments