Pernahkah saya bercerita tentang lezatnya bubur ayam Jakarta?
Ya..saya memang penggemar berat makanan yang katanya buat orang sakit itu. Saya sukaaa sekali, bahkan pernah ada suatu momen tiap hari sarapan pake menu ini.
Itu dulu, ketika masih duduk di bangku SMP di Bekasi. Kalau tak ada bubur ayam, selezat apapun masakan Ibu rasanya sarapan/makan siang kurang enak.
Oiya, jaman dulu SMP negeri masih ada yang masuk siang. Makanya, kalau berangkat sekolah gak makan bubur ayam rasanya gak semangat. Isinya sih gak hebat-hebat amat, bubur ayam ditaburi bawang goreng, kacang, cakue, ayam suwir, plus kecap manis dan sambal. Ditemani dengan teh manis, sarapan dengan bubur ayam rasanya tak ternilai harganya. Total hanya Rp9000 saja. (helooo..jaman gini saya suka harga segitu. hahahaha...)
Waktu itu, seingat saya seporsi masih murah banget. Mulai dari Rp1500, abang jualannya pun pakai rombong dan bersepeda. Warnanya kalau tak salah ingat warna biru muda. Tiap jam 9 hingga jam 10, si abang ini pasti langsung berhenti depan rumah tanpa dipanggil. Abangnya juga masih muda (ini apa hubungannya...)
Setelah pindah ke Surabaya, nyaris tak ada orang yang jualan bubur ayam. Kalaupun ada, tak seperti bubur yang biasa saya konsumsi.
Ah..rasanya sempat linglung, apalagi masakan Surabaya (perasaan) lebih asin ketimbang masakan Jawa Barat. Yaaa pada akhirnya sih terbiasa ya ya ya.
Setelah sekian tahun, voilaa....ada teteh-teteh jualan bubur ayam, di seberang kantor Surabaya Post yang di Rich Palace. (Koran ini udah pindah-pindah ke berbagai tempat).
Dan kebiasaan makan bubur ayam tiap pagi pun nyaris kembali. Sebelum ngantor, nyarap di seberang kantor, di rombong Teteh Lilis ditemani segelas teh manis.
Setelah pindah tugas ke Jakarta, saya kembali menemukan bubur ayam kembali. Ah tapi kalau disini sih, saya lebih suka nasi uduk. Kwkwwk..
Anehnya, di Jakarta saya malah nyaris tak pernah makan bubur ayam. Alasannya klise, takut kena macet, apalagi koran saya koran sore, jadinya harus cepet-cepet cari narsum untuk segera dikirim ke Surabaya.
Padahal, kos-kosan saya di Bendungan Hilir, yang kalau pagi perjalanan menuju Senayan tak lebih dari setengah jam. Tapi kalau pulang itu yang agak bikin bulu kuduk berdiri. Macetnya...ngeriiii...
Entah apa yang membuat orang-orang betah tinggal di Jakarta dengan kemacetan yang seperti itu. Berbagai alasan, asli Jakarta, dapat pekerjaan di Jakarta, gaji di Jakarta sangat besar, hingga dekat dengan pusat kekuasaan.
Yayaaayaa...berada di lingkar kekuasaan itu memang nyaman sekali. Banyak kawan saya yang sukses karena mendekat pada kekuasaan. Apa-apa saja mudah didapatkan. Tapi saya yang di pinggir melihatnya ngeri.
Seorang kawan menyebut saya terlalu naif. Harusnya bisa memanfaatkan jaringan yang ada supaya hidup lebih 'makmur'.
Bukan karena tak bisa masuk, saya tak mau masuk. Alasannya klise, saya teringat pada nasehat mentor saya M. Anis di koran Suara Indonesia: Jurnalis itu harus mengedepankan hati nurani dan berpihak pada rakyat. Mungkin itu yang bikin saya gak bisa kaya raya.
Ah..kenapa jadi serius. Yuk nyarap dulu...
Ya..saya memang penggemar berat makanan yang katanya buat orang sakit itu. Saya sukaaa sekali, bahkan pernah ada suatu momen tiap hari sarapan pake menu ini.
Itu dulu, ketika masih duduk di bangku SMP di Bekasi. Kalau tak ada bubur ayam, selezat apapun masakan Ibu rasanya sarapan/makan siang kurang enak.
Oiya, jaman dulu SMP negeri masih ada yang masuk siang. Makanya, kalau berangkat sekolah gak makan bubur ayam rasanya gak semangat. Isinya sih gak hebat-hebat amat, bubur ayam ditaburi bawang goreng, kacang, cakue, ayam suwir, plus kecap manis dan sambal. Ditemani dengan teh manis, sarapan dengan bubur ayam rasanya tak ternilai harganya. Total hanya Rp9000 saja. (helooo..jaman gini saya suka harga segitu. hahahaha...)
Waktu itu, seingat saya seporsi masih murah banget. Mulai dari Rp1500, abang jualannya pun pakai rombong dan bersepeda. Warnanya kalau tak salah ingat warna biru muda. Tiap jam 9 hingga jam 10, si abang ini pasti langsung berhenti depan rumah tanpa dipanggil. Abangnya juga masih muda (ini apa hubungannya...)
Setelah pindah ke Surabaya, nyaris tak ada orang yang jualan bubur ayam. Kalaupun ada, tak seperti bubur yang biasa saya konsumsi.
Ah..rasanya sempat linglung, apalagi masakan Surabaya (perasaan) lebih asin ketimbang masakan Jawa Barat. Yaaa pada akhirnya sih terbiasa ya ya ya.
Setelah sekian tahun, voilaa....ada teteh-teteh jualan bubur ayam, di seberang kantor Surabaya Post yang di Rich Palace. (Koran ini udah pindah-pindah ke berbagai tempat).
Dan kebiasaan makan bubur ayam tiap pagi pun nyaris kembali. Sebelum ngantor, nyarap di seberang kantor, di rombong Teteh Lilis ditemani segelas teh manis.
Setelah pindah tugas ke Jakarta, saya kembali menemukan bubur ayam kembali. Ah tapi kalau disini sih, saya lebih suka nasi uduk. Kwkwwk..
Anehnya, di Jakarta saya malah nyaris tak pernah makan bubur ayam. Alasannya klise, takut kena macet, apalagi koran saya koran sore, jadinya harus cepet-cepet cari narsum untuk segera dikirim ke Surabaya.
Padahal, kos-kosan saya di Bendungan Hilir, yang kalau pagi perjalanan menuju Senayan tak lebih dari setengah jam. Tapi kalau pulang itu yang agak bikin bulu kuduk berdiri. Macetnya...ngeriiii...
Entah apa yang membuat orang-orang betah tinggal di Jakarta dengan kemacetan yang seperti itu. Berbagai alasan, asli Jakarta, dapat pekerjaan di Jakarta, gaji di Jakarta sangat besar, hingga dekat dengan pusat kekuasaan.
Yayaaayaa...berada di lingkar kekuasaan itu memang nyaman sekali. Banyak kawan saya yang sukses karena mendekat pada kekuasaan. Apa-apa saja mudah didapatkan. Tapi saya yang di pinggir melihatnya ngeri.
Seorang kawan menyebut saya terlalu naif. Harusnya bisa memanfaatkan jaringan yang ada supaya hidup lebih 'makmur'.
Bukan karena tak bisa masuk, saya tak mau masuk. Alasannya klise, saya teringat pada nasehat mentor saya M. Anis di koran Suara Indonesia: Jurnalis itu harus mengedepankan hati nurani dan berpihak pada rakyat. Mungkin itu yang bikin saya gak bisa kaya raya.
Ah..kenapa jadi serius. Yuk nyarap dulu...
Comments