Sering kali, kita mendapat nasehat dari orang tua untuk 'gebyah-uyah' dalam menghadapi sebuah masalh. Khusus untuk Muslim, ada perintah Allah SWT yang memerintahkan agar kita meneliti setiap kabar yang sampai pada kita sehingga tidak memyebabkan musibah pada orang lain. Peringatan ini meminta kita jangan tergesa-gesa menuduh orang lain, apalagi yang berujung pada kerusakan atau kekerasan.
Dan gelisah mendadak muncul setelah Presiden Joko Widodo melantik Susi Pudjiastutik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di Kabinet Kerja. Banyak pro dan kontra tapi komentar "Lebih baik bertato dan merokok tapi tidak korupsi, ketimbang BERJILBAB tapi korupsi" bikin saya menulis ini.
Komentar "gebyah uyah" semacam ini tentu saja semacam kalap dan membabi buta menyamaratakan perempuan berjilbab sebagai koruptor. Seolah-olah, penampilan relijius hanya kedok untuk melakukan aktivitas memalukan. Yang bikin pilu, komen itu juga diamini oleh beberapa perempuan berjilbab lainnya. Uhh....kok yang disalahkan adalah agama atau perintah agamanya? Dan seperti kata penyanyi dangdut, Cita Citata, sakitnya tuh disini *nunjuk ke arah dada*
Tidak ada yang salah dengan perempuan berjilbab. Kalau korupsi atau akhlaknya kurang baik, berarti dia masih belum menerapkan ajaran agamanya secara keseluruhan dalam hidupnya. Sehingga berjilbab dan perempuan perokok kurang tepat dibandingkan lantas diambil kesimpulan mana yang lebih baik. Apalagi kesimpulan tersebut kita labelkan pada seluruh perempuan kalau berjilbab itu berarti koruptor atau perempuan perokok sebagai perempuan binal. Atau menilai seluruh guru besar kalau menempati jabatan tinggi pasti korupsi atau plagiat karya.
Atau dengan kasus Susi, tidak perlu sekolah tinggi untuk bisa jadi menteri. Padahal, pasti ada kisah jatuh bangun sebelum Susi sukses seperti ini.
Logika gebyah uyah ini tampaknya makin gampang saja untuk dipraktekkan, terutama ketika saya melihat status di sejumlah media sosial. Orang dengan seenaknya melabeli orang lain sebagai sosok yang tidak baik. Saya tidak tahu pasti penyebabnya, namun saya menduga kemalasan berpikir menjadi salah satu penyebab kita enggan untuk tabayyun dan ber-husnudzon pada orang lain.
Saya khawatir, kalau logika gebyah uyah ini tidak diluruskan maka anggapan di atas akan dianggap sebagai kebenaran dan jadi norma baru di masa depan. Semoga saja tidak.
Salam Emak-emak.
Comments