Awal tulisan, saya mengaku terpicu kontempelasi mbak Nurul Rahmawati di blog pribadinya. Mungkin sedikit berbeda dengan mbak Nurul, saya punya pengalaman yang berbeda dengan mbak Nurul yang sedikit banyak menyelipkan dakwah dalam tulisannya. Saya belum berani. Hehehe.
Sinetron Catatan Hati Seorang Istri (CHSI) dibuat berdasarkan novel Asma Nadia dengan judul yang sama, sedangkan untuk skenarionya ditulis Hilman Hariwijaya. Pemainnya adalah Dewi Sandra, Dewi Sandra, Ashraff Sinclair, Baim Wong, dan lain-lain. CHSI saya jadikan tontonan akhir-akhir ini, selain kisahnya yang down to earth, juga udah bosen banget ama sajian yang diberitakan oleh TVOne dan MetroTV (yang sekarang lagi ramai digeruduk salah satu pendukung capres).
Singkat cerita sinetron ini mengisahkan kesabaran super duper Hanna (diperankan Dewi Sandra) menghadapi perselingkuhan suaminya, Bramantyo (Ashraff Sinclair) dengan Karin (Cut Meyriska). Saya bilang super duper sabar karena perselingkuhan suaminya harusnya tidak disikapi begitu kalem dan menahan emosi seperti yang dicontohkan oleh Hanna.
Eits…jangan salah. Sikap seperti itu memang ada dan dekat dengan hidup saya. Siapa lagi kalau bukan melihat ibu saya sendiri. Beliau begitu sabar dan luar biasa tangguh menghadapi prahara rumah tangga yang sudah berlangsung kurang lebih 28 tahun. Tidak perlu lah saya merinci betapa pahitnya kehidupan kami pasca keretakan keharmonisan orang tua, tapi mirip-mirip lah dengan yang dikisahkan dalam sinetron #CHSI.
Setidaknya ada dua scene yang membuat saya tercenung dan merenungi kisah CHSI ini.
Yaitu pertama betapa kita menjadi seorang manusia, termasuk isteri, tidak boleh takabur dengan karunia Allah SWT. Keluarga saya, seperti halnya keluarga Bram-Hanna. Ayah saya orang yang berilmu agama, dengan karir sukses. Yang berbeda mungkin ibu saya yang hanya seorang ibu rumah tangga.
Saya tidak hafal quote aslinya, tapi secara garis besar Hanna pernah bertutur: “Mungkin aku sebagai isteri terlalu takabur bahwa suamiku tidak mungkin akan berselingkuh,”. Lontaran yang sedikit berbeda tapi mengandung makna yang kurang lebih sama diucapkan oleh ibu saya: “Di sinetron banyak cerita tentang suami yang berselingkuh, eh kok ibu mengalami sendiri.”
Sekarang ibu berkisah dengan nada yang lebih ringan dan bercanda.Meski saya tahu, hati kecilnya masih terselip rasa perih atas pengkhianatan suami tercintanya.
Yang kedua adalah scene ketika Hanna menerima seorang lelaki muda gondrong yang datang ke kantornya dengan marah-marah. Setelah ditanyai, lelaki itu mengaku ingin membunuh bapaknya yang berselingkuh padahal sang ibu sedang sakit keras dan masuk rumah sakit. Yang menambah perih adalah si ibu selama ini yang menopang kehidupan keluarga. Setelah kasus diselesaikan, Hanna menulis bahwa perceraian selalu menjadikan anak sebagai korban dan menimbulkan trauma, berapapun usia anak tersebut.
Saat pernikahan orangtua saya karam, saya berusia 21 tahun. Dan benar, hati saya sehancur-hancurnya menghadapi persoalan tersebut. Trauma pasti ada, tetapi saya sendiri tidak tahu pasti trauma macam apa yang saya hadapi dan perangi selama ini.
Hanya saja, saya bersyukur sekarang trauma itu sudah terobati – entah berapa kadarnya. Salah satu indikatornya adalah saya sudah berani terbuka kepada teman-teman mengenai kehidupan keluarga saya yang tidak sempurna, dan sekarang saya berani menuliskannya di blog saya. Yang mungkin dibaca oleh ratusan orang, dan kemungkinan mendapatkan cibiran bahkan dari orang terdekat sekalipun.
Apapun itu, saya sudah melangkah ke langkah terakhir sebagai sebuah bentuk reaksi manusia terhadap peristiwa yaitu sudah mampu menerima. Iya, saya sudah menerima peristiwa tersebut sebagai bagian dari hidup dan membentuk karakter saya selama ini. Itu tidak singkat...untuk kasus saya, setelah 10 tahun maka tulisan ini adalah yang pertama kali saya menulis dengan lebih jujur dan terbuka mengenai saya yang berasal dari keluarga broken home.
Buku maupun sinetron CHSI menjadikan saya semakin memperkuat keyakinan saya bahwa manusia itu butuh proses. Sepahit proses tersebut harus dijalani karena pasti akan baik untuk kehidupan masa depan. Saya tidak tahu bagaimana masa depan saya maupun rumah tangga saya. Yang jelas, saya tidak ragu-ragu untuk melangkah dalam hidup.
Saya tidak lagi malu terhadap peristiwa ini, atau marah terhadap ayah saya yang sekarang sudah almarhum pada 2009 lalu. Bahkan di bulan puasa ini, saya kembali rindu akan sosok dia untuk minta maaf atau restu agar pernikahan saya langgeng. Dan yang paling menyenangkan dari semua ini adalah, sinetron #CHSI membawa berkah ekonomis pada saya. Sebagai penjual jilbab, alhamdulillah hingga sekarang dagangan jilbab Hanna masih laris dan semoga terus laris . Amin.
Satu-satunya yang masih belum saya terima adalah bila perempuan perusak rumah tangga orang tua saya hadir kembali dalam kehidupan ini. Saya sudah tidak peduli kenyataan bahwa harta ayah saya sudah dihabiskan oleh perempuan itu. Saya cuma minta untuk jangan hadir lagi dalam kehidupan kami dan keluarga besar kami. Saya sudah memaafkan tapi saya tidak pernah melupakan.
Jelang berbuka puasa
Surabaya, 3 Juli 2014
Comments
Aku ketemu blog kamu ini, gegara googling namaku hahaha
Wih, wiiih, ternyata dikau arek suroboyo juga tho?
Ga pernah ikutan kopdar?
kopdar apaan yak