Skip to main content

Nyapres, Jokowi (Tidak) Jadi Media Darling?

Di depan Rumah Makam Si Pitung, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo memberikan pengumuman PENTING. Dia mengaku mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dan siap bertarung dalam pilpres yang tinggal menghitung bulan.

Kesiapan Jokowi itu pun ditutup dengan cara yang sangat heroik, atau bahkan dramatis: mencium bendera merah putih yang ada di belakangnya. Ini link

Bak orang yang terkena bisul, pengumuman resmi Jokowi – yang disusul dengan cuitan dari twitter DPP PDIP membenarkan pencapresan tersebut --- bisul itu langsung pecah. Penderita bisul itu tentulah pendukung berat Jokowi. Tidak hanya senyum, tawa bahkan ucapan “Alhamdulillah” jadi kalimat pamungkas untuk menunjukkan betapa pencapresan Jokowi sangat ditunggu-tunggu.

Banyak pro-kontra yang terjadi. Bahkan sebagian besar masyarakat Jakarta tidak setuju dengan langkah Jokowi yang memutuskan untuk nyapres. Peneliti LIPI, Siti Zuhro, bahkan berani menyebut hanya 30 persen publik Jakarta setuju atas pencapresan Jokowi, sedangkan sisanya menolak keputusan tersebut. Link disini dan disini untuk melihat video “Kami Pegang Janji Jokowi”.

Lihat video itu, saya merasa begitu tragis. Tapi bang namanya juga politisi ya jangan terlalu percaya ama janjinya. Kwkwkwk…Sorry to say Jakarta.
Kembali ke laptop.

Saya ingin berpendapat mengenai posisi Jokowi sebelum dan sesudah menjadi Gubernur DKI Jakarta. Saat pencalonan gubernur, Jokowi sebagai underdog melawan Fauzi Bowo yang saat itu berstatus incumbent. Media terpukau ada sosok pria ceking, berbaju kotak-kotak, ndeso yang mau melawan Foke yang saat itu diibaratkan sebagai gajah yang tak mungkin dikalahkan.

Ketertarikan tersebut awalnya tidak kentara. Namun, ketika resmi dilantik jadi gubernur maka tak ada satu haripun tanpa berita Jokowi di media, apalagi media online. Kita tahu, hampir seluruh media memberitakan hal positif tentang pria asal Solo tersebut. Bahkan sudah jadi rahasia umum bahwa Jokowi telah menjadi ‘media darling’ untuk menunjukkan betapa besarnya dukungan pers pada kepemimpinannya. Setidaknya ada tiga berita tentang Jokowi di SATU media online, dalam pantauan saya. Kondisi tersebut berlangsung konsisten selama lebih 500 hari Jokowi-Ahok menjabat.

1. Di Kompas.com hingga 17 Maret 2014 ada 10.780 artikel yang berkaitan dengan Jokowi

2. Di detik.com tercatat 13.828 artikel, juga tentang Jokowi

3. Di Okezone.com ada 6.744 berita tentang Jokowi

5. Di situs merdeka.com kira-kira ada 7,22 juta berita berkaitan dengan Jokowi

4. Di Google.com setidaknya, 14,9 juta berita tentang Jokowi!!!

PDIP mendapat promosi gratis dan besar-besaran tentang kader mereka, yang otomatis membuat citra PDIP semakin baik dibandingkan Demokrat --- partai pengusung Foke.

Keputusan Megawati untuk mencalonkan Jokowi jadi capres, tidak terlalu mengejutkan, ketimbang PDIP kalah (lagi) di Pileg 2014. Jokowi ini diharap jadi vote getter untuk kemenangan PDIP tahun ini. Entah sengaja atau tidak, media jadi salah satu unsur mendorong-dorong Megawati untuk memutuskan Jokowi sebagai capres PDIP di pilpres 2014.

Berarti belum dua tahun Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta kalau terpilih jadi Presiden RI.


Santernya pencapresan Jokowi makin berembus kencang lewat media sosial. Bahkan akun twitter @IndraPilliang menyebut bahwa sebelum kampanye, PDIP akan me-launching jagonya maju sebagai capres, yaitu Jokowi.Saat ini Indra memegang PressTalk, jaringan berita yang dibuat oleh masyarakat umum. Dia juga dikenal dekat sebagai pendukungnya Jokowi.

Pengumuman Jokowi pada Jumat lalu membuat geger dunia (elit) politik. Dan kegemparan itu berimbas pada kegiatan para pegiat media sosial, hingga saat ini. Berbagai ucapan selamat ditujukan pada Jokowi dan berjanji akan memberikan suaranya pada pasangan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok itu. Tak ketinggalan berbagai analisis bermunculan setelah Jokowi resmi menjadi capres. Sisanya adalah para pendukung Jokowi di pilgub DKI Jakarta yang berbalik ‘memusuhi’ jagonya karena dianggap ingkar janji. Tentu yang tidak boleh ketinggalan adalah memantau meme --- guyonan --- seputar pencalonan Jokowi sebagai capres. Ini salah satu link.

Sebaliknya.

Situasi adem ayem tidak terlalu kentara di media-media yang selama ini memberitakan segala macam hal tentang Jokowi, termasuk pernak-perniknya. Sikap ini bisa dilihat di media-media yang bosnya resmi mendeklarasikan diri maju jadi calon presiden. Yaitu media milik Grup Bakrie --- mencalonkan Aburizal Bakrie--- , MNC Grup --- mencalonkan Wiranto-Harry Tanoesudibjo --- , Jawa Pos --- mencalonkan Dahlan Iskan ---- dan Metro TV yang sempat memunculkan nama pemiliknya, Surya Paloh, sebagai capres atau cawapres.

Bertahun-tahun, pers menjadi salah satu garda terdepan dalam mengarahkan opini publik. Termasuk ketika pencalonan Jokowi sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, secara sengaja atau tidak, telah menggiring publik untuk mendapatkan pemimpin baru. Dan itu sesuai dengan tagline Jokowi-Ahok: Jakarta Baru.

Dan Megawati memakan dan memanfaatkan umpan tersebut untuk kepentingan 2014.

Sedangkan media yang dimiliki oleh politikus saat ini, ngaplo.Langkah dahulu yang mendukung Joko Widodo jadi kartu mati dan membuat media-media tersebut mati kutu. Di satu sisi, Jokowi yang dulu mereka dukung habis-habisan, harus segera berbalik sikap 180 derajat dengan mengkritik bahkan kalau perlu mengubah Jokowi sebagai ‘musuh bersama’ demi kepentingan owner.

Setidaknya ini sangat kentara di media yang dimiliki oleh grup Bakrie dan Jawa Pos. Usai deklarasi Jokowi, TVOne berusaha mengkritik pencalonan tersebut dalam “Apa Kabar Indonesia” malam. Talkshow yang dibuka dengan kritik masyarakat yang menolak pencapresan Jokowi. Di Jawa Pos, berita tentang pencalonan Jokowi hanya ada di sudut kanan atas dalam porsi yang terlalu biasa, atau nyaris tidak ada gaungnya. Pemberitaan tidak terlalu positif juga berlanjut hari ini, Minggu (15/3), dengan mengambil tema tidak ada hubungannya Jokowi nyapres dengan turunnya angka golput pada pileg-pilpres tahun ini.

Sebaliknya, euforia pencalonan Jokowi sebagai capres masih sangat kentara di akun-akun media sosial. Sejumlah tokoh yang selama ini jadi pendukung berat bahkan motor Jokowi, terus menerus menuliskan opini mengenai pencalonan figur idolanya tersebut. Tiap ada komentar positif tentang Jokowi, langsung di-retweet yang bersangkutan. Belum lagi, cybertroops Jokowi yang juga terus-terusan menyatakan dukungannya pada Jokowi. Mereka inilah yang punya bisul Jokowi. Begitu pecah, euforianya tidak karuan.

Tentu saja ini menarik.

Media mainstream menunjukkan kurang tertariknya mereka terhadap pencalonan yang dilakukan oleh Jokowi. Secara positif, bisa kita anggap bahwa media mulai bermain fair dengan memposisikan masing-masing kandidat sebagai calon yang memiliki peluang sama-sama besar jadi presiden. Ah tapi kecurigaan besar tentu berlaku pada media-media yang dimiliki politiisi. Bagaimanapun mereka harus membela kepentingan pemilik yang sudah rajin wara-wiri curi start berkampanye di televisi atau korannya sendiri.

Jelasnya ini adalah sikap yang menyimpang dari sebuah perusahaan media itu sendiri. Secara ideal, harusnya kepentingan yang dibela adalah kepentingan rakyat, bukan kepentingan pemilik modal semata. Teori lama bahwa pers tidak boleh memihak dalam penulisan berita, namun boleh berpihak ketika menulis opini terabaikan. Jika sikap ini tetap dipertahankan --- membela pemilik --- tentu akan merugikan perusahaan itu sendiri, dan media secara global.

Apalagi, di era media sosial seperti ini, hampir tidak mungkin tidak ada wartawan yang tidak menggunakan medsos untuk menyuarakan suara mereka yang tidak mungkin muncul di media tempat mereka bekerja. Ada banyak alasan seperti etika maupun alasan politis: pemilik harus selalu unggul di medianya sendiri. ^_^

Indonesia merupakan negara keempat pengguna jaringan sosial terbanyak di dunia, dan Jakarta menjadi kota nomor satu untuk urusan cuit-mencuit di Twitter. Sebuah angka yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Dan pernah pula tidak terbayangkan, bagaimana sebuah media sosial bisa menggiring massa untuk membuat aksi nyata untuk mendukung pimpinan KPK saat itu, Bibit-Chandra yang terlibat dalam skandal Cicak-Buaya jilid I versus Kepolisian.

Perang antara media sosial dan Pers (milik capres) ini patut disimak. Apakah peran pers yang bertahun-tahun menggiring opini masyarakat bisa tergantikan oleh peran media sosial? Kita tunggu.

Saya nulis Jokowi juga bukan karena benci, tapi juga bukan karena mendukung. Jadi saya dukung siapa? Rahasia.

Comments

Popular posts from this blog

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran ...

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,...

Uang Tunai Hilang, Onde-onde Melayang

Kehidupan manusia di era digital sangat dimanjakan. Ada smartphone, smarthome, sampe udah ada konsep smartcity. Begitu juga kehidupan sehari-hari banyak teknologi memudahkan manusia. Salah satunya uang digital.  Saat ini, saya termasuk pengguna aktif uang digital. Kemana-mana ga pernah bawa uang cash banyak... Secukupnya aja. Biasanya Rp50 ribu. Paling banyak Rp100 ribu. Buat beli bensin atau sekedar jaga-jaga ban bocor/kempes. Kalo ga ada insiden di atas, bisa berhari-hari ngendon di dompet. Kartu debet aneka bank.  Ada kartu vaksin juga. Wkwkkw Lah gimana enggak? Belanja di minimarket, gesek kartu debet. Lewat tol, pake e-money. Beli pulsa, bayar tagihan, BPJS, langganan internet, tinggal tutul-tutul aplikasi keuangan di hape. Belanja makanan tinggal scan barcode hape. Hmm apalagi yah... Banyak deh.  Uang digital emang membantu banget sih buat saya. Karena ga harus bawa uang yang banyak. Otomatis di dompet cuma berisi KTP, SIM, STNK, dan kartu ATM. Wkwkkwkw... Gak enakn...