Skip to main content

Menyulap Madura Menjadi Lumbung Tebu



IBARAT kembang desa, Madura kini menjadi rebutan untuk dikembangkan sebagai wilayah industri tebu baru di Jawa Timur. Namun, mengolah tebu di lahan Madura tidak semudah pengerjaannya di lapangan, terutama yang berkaitan dengan kultur masyarakat. 

Awalnya, optimisme disebar dengan rencana pengembangan lahan tebu ini. Pasalnya, Madura memiliki keuntungan tersendiri terkait kondisi lingkungan yang memadai, ditambah sinar matahari, kecepatan angin, suhu, kelembaban udara, air, dan kesesuaian lahannya yang mendukung budidaya tebu secara baik. Dengan ‘kekayaan’ sinar matahari, tebu Madura memang berpotensi memiliki kualitas terbaik. Kementerian Pertanian juga ikut mendorong perluasan areal tebu di Madura hingga 4.000 hektar dengan menyiapkan dana Rp 89 miliar. Dana sebesar ini  untuk membantu bibit, traktor, dan tenaga pendamping. Hingga saat ini, lahan tebu yang sudah dikembangkan di Madura sekitar 1.300 hektar.

Keberadaan Jembatan Suramadu menjadi salah satu faktor optimisme karena Madura sebenarnya bukan tempat baru bagi PTPN X. Di tahun 1980-an, hasil pertanian tebu menjadi salah satu andalan. Sayangnya, saat itu akses pengiriman yang menggunakan kapal tongkang yang rawan pencurian, menjadi kegiatan ini akhirnya dihentikan.

Mengutip PTPN X Mag, PTPN X (Persero) membidik dua kabupaten yaitu Sampang dan Bangkalan sebagai pilot project menghidupkan tanaman tebu di Madura. Di Sampang, dari hasil pemetaan yang dilakukan PTPN 10 dari total luasan 122.510 ha, setidaknya ada 106.571,476 ha lahan yang potensial untuk ditanami tebu yang tersebar di 13 kecamatan dan 63 desa.  Sedangkan di Kabupaten Bangkalan yang memiliki 17 kecamatan dan 72 desa dengan luasan lahan 130.525, lahan yang potensial ada 55.549, 250 ha.  Secara keseluruhan di Madura ada lahan seluas 60 ribu hektar yang potensial untuk ditanami tebu. PTPN X sendiri memiliki total lahan sebesar 70.130 ribu. Di musim tanam 2011-2012,  disediakan bibit KBD seluas 64,8 ha dengan tujuh jenis tebu yaitu PS 862, PS 881, VMC 7616, PSJT 941, Kidang Kencono, PS 864 dan Bulu Lawang. Jika nanti dianggap memadai, sebuah pabrik gula siap didirikan oleh Kementerian BUMN dan menjadikan Madura sebagai jawaban dalam merealisasikan swasembada gula.

petani tebu di madura (setkab.go.id)
Kenyataannya, hingga kini pelaksanaan penanaman tebu masih belum jadi tanaman yang ‘akrab’ dengan masyarakat Madura, yang lebih mengenal jagung,kacang atau bahkan tembakau. Alhasil, penanaman tebu di lapangan memang menemui sejumlah kendala, terutama dari sisi petani. Banyak petani yang mengeluhkan tidak adanya pengelolaan lahan tebu sehingga mengurangi kadar kesuburan tanah. Jangankan ingin mengembangkan bibit tersebut, petani memilih untuk tidak menyewakan lahannya ketimbang lahannya tidak bisa ditanami tanaman lain.

Di Burneh, para petani juga mengeluhkan terlambatnya pembayaran hasil penjualan tebu yang sudah dipanen sejak tiga bulan lalu. Petani pun berbondong-bondong menagih kepada PT Perkebunan Nusantara X (Persero) menagih uang keringat hasil merawat tebu. Belum jelasnya sistem pembayaran pada petani memunculkan ancaman petani untuk berhenti menanam tebu di lahannya.

Hal ini tentu memantik pertanyaan terkait sejauh mana keseriusan PTPN X maupun pihak lain yang tertarik mengembangkan lahan tebu di Madura.  Lahan-lahan tidur yang selama ini ada di Madura  memang baik untuk dikembangkan menjadi lahan produktif. Sejauh ini, masyarakat di akar rumput tidak keberatan jika diajak untuk program yang sudah dicanangkan oleh Pemprov Jatim.

Tetapi keraguan yang muncul tentu harus dicarikan jawabannya. Keluhan yang mencuat harus segera dijawab oleh pihak yang mengurus masalah pengembangan lahan tebu di Madura. Jangan terbuai dengan bayangan menjadikan Madura sebagai lumbung tebu di Jatim. Apalagi sampai terlena dengan hitung-hitungan keuntungan kapital yang bisa dicapai bila program ini sukses.

Maka transparansi program pengembangan tebu di Madura harus benar-benar dikomunikasikan kepada seluruh pihak. Petani jangan hanya sebagai tumbal demi kesuksesan pihak-pihak tertentu karena petani adalah ujung tombak. Jangan sampai, petani diombang-ambingkan dengan ketidakjelasan pembayaran upah dari keringat yang diperas untuk menanam tebu. Dan yang lebih penting adalah, seluruh program ini dilakukan demi kemakmuran masyarakat Madura, jangan cuma bos-bos perusahaan gula yang mendapatkan untung.  Manisnya tebu harus juga dirasakan oleh petani Madura. Semoga.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej