“Assalamualaikum
Ta…udah di kos?”, kata Ibu di seberang telepon.
Surabaya, 19 Oktober 2012
“Sudah,
barusan datang,” kataku sembari merebahkan tubuh di atas kasur.
“Trus…kapan
pindah balik ke rumah,” kata beliau.
“Iya…sedang
beberes ini. Masih harus nyari kardus yang lebih besar lagi,” ucapku sedikit
enggan.
Lalu
obrolan selanjutnya mulai mengalir. Mulai dari pekerjaanku, mantanku, sampe
marah-marah karena aku yang selalu susah makan tepat waktu.
***
Ibu
bukan sekedar pertanyaan, tapi desakan yang cenderung untuk memerintah. Ibu
tahu, kalau terlalu keras memaksa, aku akan makin keras menolak. Secara pelan
namun pasti, Ibu meminta untuk kembali ke rumah.
Awalnya,
berat karena tentu ada pertanyaan apa yang harus dikerjakan? Apa yang harus dilakukan
kalau kembali ke rumah? Apa tidak membebani orang tua? Bagaimana pekerjaan yang
sekarang?
Banyak
ketakutan. Banyak keresahan.
Sedih
dan kecewa meninggalkan pekerjaan lama memang sempat menggelayut hati.
Tapi
mengabaikan pernyataan Ibu bukan hal yang gampang dilakukan. Mengecewakan
permintaan Ibu bukan pilihan yang lebih mudah.
Bertahan,
juga bukan pilihan yang tepat karena zona nyaman membuat kita menjadi stagnan
dan tidak berkembang. Yaaah…boleh lah memperdebatkan ‘tidak ada yang salah
dengan zona nyaman’. Toh, itu bukan hal yang buruk. Tempat jenak untuk
berlindung dari segala gangguan yang ada. Hmmm…untuk kehidupan pribadi, ini
yang sedang kulakukan. Hihihii.
adek, ibu, me |
Tapi,
ya itu tadi.
Menolak
permintaan Ibu bukan hal yang mudah. Niatnya pengen membuat Ibu senang. Makanya
aku pulang. Meski awalnya tidak jelas pula apa yang ingin aku kerjakan. Di
rumah, tempat favorit kami adalah kamar Ibu. Disana segala macam hal akan ditemui
mulai dari dokumen TK (Ibu punya sebuah TK yang berdiri selama enam tahun
terakhir dan terakreditasi B), baju-baju hingga anak-anaknya yang malas mandi. Hahahahh…..
Kadang
melihat hal itu, Ibu ngomel-ngomel karena anak-anaknya kok malas mandi. Kadang omelan
juga meluncur kalau melihat dokumen TK tidak jua dikerjakan olehku atau adikku.
Kadang juga kami pringas-pringis
ngelihat Ibu yang suka lupa naruh kacamata-nya dimana.
Itu
pula yang terjadi di suatu sore. Aku baru saja menyelesaikan naskah berita
tentang kuliner Jogja. Adikku menggelempangkan diri di atas kasur, di
sebelahku. Kakak laki-lakiku bersliweran di ruang tengah.
Ibu
mulai mengomel tentang hari itu. Tentang guru yang kurang detail dalam
mengajar, tentang organisasi yang di dalamnya beliau jadi bendahara, tentang
mainan yang rusak, seragam yang kurang. Tentang baju-baju yang belum dilipat,
tentang rumah yang lupa di pel, tentang motorku yang masih rusak, tentang
semuanya.
Di
ujung omelan (yang sebenarnya bukan omelan sih :D), beliau berkata :”Tapi Ibu seneng, semua anak-anak Ibu sudah di rumah.”
Aku
terpana sejenak mendengar kalimat itu. Ekpsresiku cuma senyum simpul saja.
Kadang
aku merindukan liputan di Jogja seperti dulu. Kotanya indah. Nyaman. Meski tukang
parkirnya paling galak di antara kota-kota yang pernah aku kunjungi. Yaa memang
kurang dieksplorasi olehku sih. Apalagi kan modelku anak rumahan, mlebu kos
yo turu. Hahahaha…
Tapi
berada di samping Ibu, juga tidak kalah menggembirakan. Dan aku bersyukur untuk
itu. Obrolan dengan seorang teman di seberang telepon maupun saat makan di
Ciputra World, beberapa waktu lalu, cukup mengendapkan keinginan untuk
meninggalkan rumah.
Ohya,
dalam sembilan tahun terakhir ini memang aku berpindah-pindah kota. Berpindah-pindah
pekerjaan, kebanyakan karena perusahaan medianya bangkrut. Kwkwkw…. Dan meski
profesinya tetap: jadi jurnalis. Hemm…ini kayaknya emang udah panggilan hati ya
cyiiint….
Lanjut
lagi soal Ibu.
Ibu
mungkin tidak mengatakan apapun soal anaknya, yang paling suka mengembara
keliling ke berbagai kota di Indonesia ini. Kwkwkwk. Tapi Ibu memang paling
tahu, sejauh-jauhnya aku jalan-jalan, pasti akan pulang ke rumah. Dan memang,
serangkaian ‘hantaman’ baik kecil maupun
yang terbesar sekalipun seperti perceraian orang tua hingga putus ama kamu
(ahayyy…sapa nih), Ibu memang jadi tempat melabuhkan seluruh keluh kesah.
Ibu
jadi samudera bagi anak-anaknya.
Aku bersyukur masih bisa menemani beliau, pas
lagi ketawa, makan, ngantuk, tidur, cuci baju, masak, bahkan ketika pura-pura
ngomel, ngomel ala kadarnya, beradu debat sampai ngomel beneran
Pulang
ke rumah bukannya tanpa resiko. Karena ternyata, di rumah perasaan tidak bisa
memberi kebahagiaan untuk Ibu, begitu kuat. Beliau memang diam. Tapi aku pun
paham beliau tidak akan menuntut apapun atas kasih sayang yang telah diberikan
pada anak-anaknya. Pun demikian, betapa aku begitu khawatir telah menjerumuskan
Ibu sebagai penghuni neraka karena perbuatanku. Naudzubillahimmindzalik.
Comments