Skip to main content

Menikmati Masakan India ala Jogjakarta


 
JOGJA – Apa yang terpikirkan ketika mendengar kalimat masakan India? Anda bisa menyebut apapun jenis makanannya. Yang jelas rasa pedas, asam dengan bau khas dari bumbu rempah asli India tentu mengundang selera.
Aroma khas India sangat terasa ketika pertama kali menginjakkan kaki di Restoran de Taj Mahal. Dapur yang diletakkan di halaman parkir, membuat setiap masakan yang diolah semakin memancing perut untuk menikmati. Tulisan yang dimodifikasi ala aksara India, Devanagiri, ornamen gajah serta interior berwarna merah menyala, plus selingan musik India membuat suasana restoran bak di India. 
Salah satu konsumen Restoran de Taj Mahal, Dewi dan Andra mengaku penasaran dengan masakan India. Mereka pun mencoba menikmati menu Naan Bread dengan saos daal dan curry. Melengkapi makanan tersebut, mereka memesan Mango Lassy dan Gahwa Sari.
Minuman Gahwa Sari merupakan kopi yang biasa dikonsumsi para raja yang disajikan dengan teko tinggi berwarna emas dan gelas kecil. Uniknya, untuk menimbulkan rasa manis, kopi tidak disajikan dengan gula tetapi dengan kurma. Kebiasaannya, para raja memakan kurma setelah meneguk kopi.
Dewi sendiri mencoba merasakan roti Naan yang dicocol dengan saos curry dan saos daal. “Rasanya enak dan unik, terutama untuk saosnya. Beda banget, ada rasa-rasa rempah yang gimana gitu,” ungkap wanita berjilbab itu saat ditemui di Restoran de Taj Mahal, Senin (14/3).
Salah satu yang membuat restoran ini khas adalah kehadiran Tandoor, sebuah oven berbentuk tabung berbahan baja, didatangkan asli dari India. Mesin tradisional ini  menggunakan arang sebagai bahan bakarnya. “Dengan mesin ini, bau yang dikeluarkan lebih khas, ” ujar General Affair Restoran de Taj Mahal, Danni Kurniawan. 
Chef Agus Kelik mengatakan pihaknya juga sengaja mengimpor bumbu khas India yaitu masala yang diracik khusus. Namun diakuinya komposisi bumbu masala disesuaikan dengan lidah orang Jogjakarta. Meski dilakukan penyesuaian rasa, Kelik mengatakan tak mengubah secara keseluruhan masakan India tersebut. “Kalau orang lokal lebih suka Chicken Tandoori,” tuturnya. 
Restoran ini awalnya menyajikan konsep western dengan makanan ala Barat. Namun dengan seiring waktu dan makin menjamurnya restoran ala Barat, diputuskan untuk menyajikan masakan India, sebagai salah satu andalan sajiannya. “Kita menyasar konsumen middle up,” akunya. 
Sementara itu Restoran Colonial Cuisine di Jl. Timoho menyajikan tema berbeda yaitu mengusung menu India yang otentik terutama untuk bumbu. Pemilik yang juga pengelola restoran, Yuni Omega Putri mengatakan tidak ada modifikasi atas bumbu masakan yang disajikan. Restoran ini bahkan sengaja mendatangkan chef asli India untuk meracik bumbu-bumbu yang ada. “Kami sajikan asli seperti yang ada di India,” tuturnya.
Beberapa yang jadi menu andalan restoran ini di antaranya Chicken Seekh Keebab, Tandoori Chicken, Mutton Rogan Josh sera Butter Chicken.
Mega, panggilan akrabnya, mengatakan keputusan untuk menyajikan masakan yang asli India, sempat menghambat pertumbuhan restoran yang berdiri sejak setahun lalu menginginkan ciri khas yang membedakan dengan restoran lain. Langkah ini awalnya sulit karena masyarakat tidak terbiasa dengan menu India. “Awalnya malah bule-bule seperti dari Inggris maupun India yang menikmati makanan ini,” tuturnya.
Namun selama satu tahun terakhir, restoran yang tak jauh dari kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jogjakarta itu malah diserbu oleh mahasiswa.(sit)  


Fotografer: Setiaky/Jogja Raya 
*tulisan ini (belum diedit) sudah dimuat di Jogjaraya (Group Jawa Pos) 15 Maret 2011* 

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej