“Sudah tidak ada waktu untuk mencintaimu lagi,” ucap Rendra
Roma terkejut bukan alang kepalang mendengar ucapan Rendra. Dia tahu dia
bersalah karena tak lagi fokus mencintai pria yang sejak empat tahun terakhir
bersamanya tersebut.
Tapi dia tidak mau didesak seperti ini. Roma masih muda, punya cita-cita, ambisi
dan mimpi yang harus diraih. Kenapa masalah ini selalu dipermasalahkan bahkan
hingga Rendra terpaksa mengeluarkan ultimatum yang mengerikan itu. “King!!!
Kenapa kamu bicara seperti itu?,” tegur Roma.
Emosinya tertahan, nafasnya naik turun, dunia sekitarnya bagai bermendung. Pekat
dan hitam.
Rendra, yang dipangil Ceking oleh Roma, acuh pada pertanyaan itu. Dia sudah
mengambil keputusan. Tak mungkin hubungan ini diteruskan. Tubuhnya kaku
menghadap matahari yang memerah, sudut matanya melihat bahu Roma yang tertegun.
Naik turun, menahan isak. Rendra tahu Roma tak mau menangis di hadapannya. Tapi
selama empat tahun nii Rendra juga tahu Roma adalah wanita yang rapuh, lemah dan
lembut hatinya.
Tak pernah Rendra mengeluarkan kalimat-kalimat yang ingin menyakiti wanita
berwajah keras itu. Wajah yang terbentuk dari kerasnya kehidupan semasa kecil
yang penuh penyiksaan dan makian dari keluarganya yang menganggapnya biang
kematian ibunya sendiri. Selama empat tahun, Rendra sadar dia mencintai Roma
hanya karena merasa kasihan. Tak tega untuk menambah pedih hati gadis yang
dikenalnya secara tak sengaja di sebuah seminar mengenai kesehatan. Roma yang
seorang asisten dokter gigi harus menemani bosnya itu, sedangkan Rendra adalah
penjual alat kesehatan.
Seperti sebuah kisah klise, pertemuan itu berujung dengan pertemuan selanjutnya.
Awalnya Rendra hanya ingin menawarkan alat-alat kesehatannya ke dokter gigi itu
lewat asistennya. Lama kelamaan, sebuah rasa aneh menyelimuti tiap kali bertemu
Roma yang bertubuh mungil, kulitnya yang putih mulus dan senyumnya yang manis.
Hati lelaki mana yang tak tertarik untuk berkenalan dengannya. Namun yang
paling menarik perhatiannya adalah dibalik wajah cantiknya ada garis kesedihan
yang mengeras bagai batu.
Namun, karena itulah Rendra terpaksa terperangkap dalam sebuah asa yang tak
kunjung tiba. Selama empat tahun, nyaris tiap saat Rendra sadar betapa
menderitanya Roma hidup dalam serba keterbatasannya. Rendra bukannya tak berani
untuk mendampingi Roma di tiap kesulitannya, namun dia sendiri yang pengecut dan tak mau hidup merana lagi.
“Sudah tak mungkin ada waktu untuk mencintaimu lagi, Ma,” ujarnya lirih.
Langkahnya berat namun mantap. Rendra tetap memandang matahari merah yang saat
itu terlihat lebih merah lagi. Hatinya marah namun dia terlalu pengecut untuk
kembali pada Roma dan meminta maaf. “Aku tak mau merana bersamanya,” kata ego
dalam hatinya.
“Aku sudah memilih perempuan yang akan membawaku pada kemakmuran dan kejayaan,”
lirih suaranya makin menggema di hatinya.
Roma menangis. Tak mampu lagi ditahan mendung di matanya melihat Rendra pergi
meninggalkannya. Dia tidak mengerti Rendra tak mau mengerti kesalahan yang
bahkan bukan disebabkan olehnya. “Kenapa kamu pergi?,” tanyanya.
“Kenapa kamu pergi?,” ulangnya.
“Kenapa kamu pergi?,” ulangnya lagi.
“Kenapa kamu pergi?!,” ulangnya lagi dan lagi.
“Kenapa kamu pergi???,” jeritnya ketika dia melihat Rendra melangkah masuk ke
sedan Corolla-nya.
“Rendra JANGAN PERGI!!” teriaknya sembari berlari mencoba mengejar mobil itu
yang melaju pelan.
Tetap saja, deru mobil itu lebih cepat meninggalkannya sendiri disana. Di sebuah
taman yang sejuk dengan aneka bunga anggrek yang digantungkan di pohon soka.
Deru suara pesawat selintas membelah langit yang masih merah.
Roma berlutut. Menangis.
****************************
3 tahun kemudian
berjalan dalam balutan gaun putih model kemben sepanjang lututnya. Rambutnya
dipotong pendek dan memperlihatkan lehernya serta dadanya yang putih terawat. Di
dadanya ada benjolan menarik yang disebut payudara, dengan sebuah tahi lalat di
salah satu sisinya. Kakinya yang jenjang dan putih susu membuatnya bagai pualam
yang rawan untuk pecah.
Sebuah tangan hangat memeluk pinggangnya dan membawanya ke kerumunan massa.
Tangan kekar itu lantas mengajaknya berdansa. Itu adalah sebuah pertemuan
politik dengan meja-meja bundar bernilai puluhan juta rupiah. Meski mahal,
banyaklah yang berebutan mendapatkan meja tersebut hanya demi bisa dilihat sang
ketua umum.
Roma tak peduli. Dia benci politik. Dia benci politisi. Satu-satunya yang tak
dibencinya hanyalah pria yang ada di depannya. Berambut jabrik, wajah bersih
tanpa kumis serta kemeja khas pria metropolis telah menarik hatinya. Roma memang
benci politisi. Tapi politisi muda dari Partai Kebangsaan Demokratik ini
dinilainya berbeda dengan politisi lainnya. “Deas itu sangat rapi, cerdas dan
tidak main uang kalau main politik,” alasan inilah yang terus menerus
disampaikan pada sahabat-sahabatnya.
Tidak hanya itu, sikap Deas yang keras kepala dan berdebat hingga urat lehernya
menegang membuat pria yang lebih tua lima tahun itu menarik ketimbang pria-pria
yang mengelilinginya. Bagi Roma, hanya Deas yang bisa menandingi kemampuan
berdebatnya.
“Ma, kamu terlihat cantik malam ini,” kalimat Deas mulai merayu membelit hati
Roma.
Roma tahu pria ini tengah membual dan mengucap kalimat gombal. Toh senyum
mengembang tak luput dari wajahnya. Matanya berbinar dan membulat. Pelukan Deas
makin erat membuat dahi mereka saling bertemu, ujung hidung mereka pun saling
bertemu.
Dia tahu Deas mencintainya sepenuh hati, mabuk bukan kepalang. Tapi posisi ini
membuat Roma grogi. Deas yang postur tubuhnya lebih tinggi membuat Roma
terintimidasi secara seksual. Dia tidak suka karena mengingatkannya pada masa
kecilnya yang buruk. Tubuhnya meremang, bibirnya geragapan sembari mencoba
membuat matanya fokus pada mata Deas. Dia tak mau menyakiti hati pria yang telah
bersamanya selama setahun terakhir ini.
Namun belum lagi Roma mengambil tindakan, tiba-tiba tubuhnya ditarik oleh tangan
yang kekar. Tubuhnya langsung didekap erat, seolah-olah mencoba melindunginya
dari terkaman hewan buas. Selintas, dia melihat tubuh pria. Entah siapa.
Tapi Roma ingat bau tubuhnya, pria yang selama ini selalu membayanginya.
Membuntutinya. Merengkuh erat dirinya dalam mimpi. “Rendra!,” jerit Roma
terkejut.
Roma menatap wajah pria yang tiga tahun terakhir tak pernah ditemuinya lagi.
Matanya merah. Bukan sedih namun seperti singa kelaparan dan marah. Tangan
kanannya terangkat dengan genggaman kuat. Sedetik kemudian, genggaman tangan itu
mendarat keras di wajah Deas.
Roma terkejut.
“DEAS!!!,” serunya begitu melihat politisi muda itu tersungkur akibat pukulan
yang tak dinyana.
“SIALAN!! PRIA KAMPRET! MAU LO APAIN ROMA, HAH!!!! LO PIKIR ROMA ITU CEWEK
MURAHAN YANG BIASA LO PESEN KE HOTEL-HOTEL!!!” ujar Rendra setengah berteriak.
Nafasnya memburu, matanya melotot. Otot-otot lengannya mengeras dengan tangan
yang masih tergenggam. Deas yang setengah limbung tak menyadari kalimat-kalimat
yang dijelujurkan Rendra. Secara tiba-tiba, kerah kemeja sutera berwarna biru
dongker itu ditarik, disusul kemudian dengan pukulan selanjutnya.
Deas sukses tersungkur mencium lantai dansa. Kehebohan pun terjadi di tempat
pertemuan para politisi Partai Kebangsaan Demokratik. Mereka semburat
menyelamatkan diri. Tujuh pria kekar berpakaian jas serba hitam langsung
menyelamatkan Si Ketua Umum partai ke pintu darurat yang muncul entah dari
mana. Sebagian politisi lelaki mengerumuni ‘arena pertarungan’ antara Deas dan
Rendra. Seorang pria yang berusia lebih dewasa terlihat maju mencoba menenangkan
Rendra. Empat sekuriti, yang sebenarnya lebih mirip satpam, tiba dengan
pentungan di tangan.
Pria itu yang ternyata salah satu ketua bidang pemuda partai ini berbicara agar
Rendra tak mengacau lebih lama di pertemuan tersebut. Dia meminta agar Rendra
segera meninggalkan tempat dan tak mengganggu lagi pasangan Deas-Roma. “DIAM
KAMU!!!” bentak Rendra.
“KAMU TIDAK TAHU APA YANG SEDANG TERJADI DISINI!!! TEMAN KEPARATMU ITU SEDANG
MERAYU WANITA BAIK-BAIK INI. DIA TIDAK TAHU KALAU PRIA YANG MERAYUNYA ITU
SUDAH BERISTRI DAN BERANAK!!!!” Rendra mencerocos tak henti sembari menunjuk
bergantian antara Deas dan Roma.
“RENDRA! Kamu ngapain disini?,” tukas Roma. Dia tidak tahu dan bingung dengan
kehadiran tiba-tiba Rendra di tengah kebahagiaan yang dimilikinya sekarang.
Sekilas, dia teringat adegan perpisahannya di sebuah tanah lapang dekat bandara
di kotanya.
Roma mencoba menghilangkan perih yang tiba-tiba muncul. “KAMU NGAPAIN DISINI?,”
tanyanya dengan suara lebih berat tapi pelan. Roma melotot, marah sekaligus
meneliti garis-garis wajah pria yang pernah sangat dicintainya tersebut.Dia
sadar, pria didepannya sudah hidup makmur, bekerja begitu keras. Rendra
mengenakan manset emas dengan jas wol yang hangat berwarna hitam. Namun, sorot
mata yang dimilikinya sudah berubah menjadi tamak dan menyedihkan.
Nafas Rendra yang memburu berubah pelan menyadari kemarahan Roma. “Aku cuma
melindungi kamu. Dia ini pria hidung belang. Politisi busuk ini sudah punya anak
dan istri. Kamu harus percaya aku. Ini aku, Ceking,” katanya. Tangannya
menggapai-gapai udara seiring dengan upayanya menjelaskan aksinya kepada Roma.
“NGELINDUNGIN GUE?!??! SETELAH LO NINGGALIN GUE GITU AJA DULU, SEKARANG LO
NONGOL BILANG MAU MELINDUNGI GUE??!?!?” tanya Roma yang lebih terdengar sebagai
sebuah pernyataan.
Hati Rendra mencelos mendengar reaksi Roma. Dirinya sadar telah menyakiti
perempuan yang pernah ditinggalkannya tiga tahun lalu. Namun dia tidak menyangka
pedih hati yang disisakan masih diingat jelas oleh Roma. Sakit hati itu
dilemparkan ke udara lewat kalimat-kalimat kasar yang mengejutkannya.
Roma sudah berubah.
“PERGI!!! GUE GAK BUTUH LO LINDUNGI!” usir Roma.
Wajah Rendra memerah. Nafasnya kembali memburu mendengar pernyataan Roma
tersebut. Rendra mencoba mendekat dan menyodorkan bukti. Tapi Roma enggan
melihat tumpukan foto yang disodorkan Rendra.
Dia keburu alergi dengan Rendra karena perih hatinya masih belum betul-betul
sembuh jika mengingat peristiwa empat tahun lalu. Di peristiwa itu, Roma tidak
tahu alasan sesungguhnya Rendra meninggalkannya. Roma sudah memberikan segalanya
buat Rendra, tapi itu tidak cukup. Rendra memilih wanita yang lebih tua darinya
tetapi memiliki posisi dan kekayaan yang melimpah.
Cinta Roma tidak pernah cukup bagi Rendra.
PLAK!!!!
Tangan Roma mendarat dengan mulus menampar pipi Rendra.
Pria paruh baya yang ternyata seorang Ketua bidang kepemudaan itu langsung maju
mencegah terjadi pertengkaran lebih lanjut. Empat sekuriti langsung mengamankan
Rendra yang bajunya sudah kusut tak karuan. Rendra berteriak-teriak. “DIA PRIA
PENIPU! KAMU JANGAN PERCAYA DIA, MAAAAA! DIA PEMBOHONG! KAMU TAKKAN BAHAGIA
DENGANNYA!” kata Rendra.
Roma tidak percaya Rendra datang lagi dalam hidupnya. Lagi, dia menatap nanar
kepergian Rendra. Bulir tanginsya pun turun deras di pipinya. Roma tak percaya
dia menangisi lagi pria yang sudah dua kali menyakiti hatinya.
Entah bagaimana, Deas sudah berada disampingnya dan langsung merengkuh bahu
Roma. Dipeluknya erat tubuh mungil tersebut, dengan payudara mungil namun padat.
“Sudah Ma, tidak usah kamu pikirkan lagi pria itu. Sudah. Aku disini bersamamu,”
katanya.
Deas mencium kepala Roma, turun ke pipinya lantas ke tengkuk Roma yang putih
mulus.
Roma begidik. Dia benci kontak seperti ini. Namun, upayanya menolak aksi yang
dilakukan Deas terhenti dengan foto di tangannya.
Dirinya lebih terkejut menatap foto seorang pria dengan wanita bertubuh gemuk di
tangannya. Wanita itu berwajah bulat, bermata sipit dengan rambut lurus tajam
bagai sapu ijuk. Seorang anak berusia sekitar 2 tahun berada di
gendongannya.Keluarga itu tampak bahagia.
Roma tak tahu siapa wanita itu. Tapi dia hafal betul lelaki itu. Pria dalam foto
itu ada di sampingnya, tengah melumati tengkuknya dengan ciuman hangat.
Refleks, Roma menolak Deas dengan kasar. Terkejut, Deas melotot meminta
penjelasan.
“Siapa ini?,” tanya Roma. Deas makin terkejut melongo. Politisi gagah itu tak
bisa mengeluarkan satu kata pun untuk dilontarkan ke Roma.
“Kenapa aku tak pernah ketemu dengan istri kamu. Dimana dia,” kejar Roma. Deas
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak bisa menjelaskan secara
berurutan.
“Dia bukan, ya itu istriku.”
“Tidak, sudah takada lagi. Dia pergi.”
“Tapi kita masih berhubungan. Tapi jauh. Aku kesepian Roma.” Aku Deas.
“DIAM….DIAM…..Aku mau pergi,” kata Roma.
Namun tangan Deas mencegah dan mencoba menarik ke dalam peluknya lagi. Tapi Roma
menolak.
“Maaaa….aku minta maaf tak bisa jujur padamu. Aku sungguh sayang dengan kamu,”
kata Deas merajuk.
“Tapi kamu sudah beristri dan beranak,” kata Roma tajam.
Deas menunduk lemah. “Maafkan aku.”
“Aku pergi. Pergi. Tinggalkan aku. Jangan ganggu aku.” Roma melangkah perih
keluar ruang pertemuan. Kekacauan di tempat itu tak sedekat dengan kekacauan
hatinya.
Roma butuh minum.
**********************
Satu minggu lamanya, Roma menolak segala jenis hubungan antara dirinya dengan
Deas. Begitu pula semua telepon dari Rendra diabaikannya begitu saja. Pikirannya
kalut. Pekerjaannya ikut carut marut. Ide-ide kreatif yang bias anya keluar dari
otak encernya tiba-tiba mandeg. “Seharusnya lo segera selesaikan masalah lo ama
Deas, termasuk juga Rendra,” ujar Nico yang tiba-tiba nongol di bilik
partisinya.
Yang diajak berbicara diam tak bereaksi.
“Beuh…nih cewek kelamaan ngelamun ya. Kesambet tau rasa,” ujar Nico setengah
dongkol setengah menggoda.
“Gue gak tau harus ngapain lagi, Koh,” ujar Roma pada pria sipit di depannya.
Melihat rekannya butuh bahu untuk curhat, Nico buru-buru menyeret kursi plastik
dari bilik partisi lainnya. Si pemilik kursi tengah istirahat makan siang. Nico
hafal betul masalah asmara Roma yang tak pernah beruntung dengan pria yang
dicintainya. “Realistis aja Ma, gak mungkin kan lo jalan lagi ama Deas secara
dia udah punya anak ama bini. Jalan ama Rendra malah celaka 12 karena dia itu
cowok matre,” katanya.
Mata Roma menerawang. Nafasnya berat. Kalimat pembuka dari Nico adalah yang
didengarnya, ocehan selanjutnya bagai uap ditelan panas. Bahunya tiba-tiba
ditowel.
“Ah sialan lo Ma, gue ngomong ampe berbusa ternyata gak lo dengerin. Gimana sih
nih anak,” Nico mulai khawatir dengan kesadaran Roma. Nico kembali mengguyur
Roma dengan aneka nasihat yang tak sebenarnya tak didengar sama sekali oleh
Roma.
“Yah….ngelamun lagi. Udah ah, kita makan siang aja. Laper banget nih gue,” kata
Nico setengah menarik lengan Roma. Gadis berambut sebahu itu gontai menuruti
ajakan Nico.
****************
Terletak di daerah segitiga emas, plasa ini biasanya ramai di akhir pekan. Tapi
hujan deras membuat suasana mall ini tak seramai biasanya. Pun di Kafe …. Yang
biasanya ramai dengan para eksekutif muda yang ingin menghabiskan waktu makan
siang dengan bersantai.
Roma memandang keluar ke jalanan ibukota yang terlihat lebih lengang karena
hujan. Dari laptopnya terpampang berita peristiwa banjir nyaris merata. Tubuh
Roma menggeliat resah membaca berita tersebut. “Telat nih,” pikirnya.
Belum sedetik pikiran itu menghilang, sebuah tangan merengkuhnya dan mencium
pipinya. Hawa dingin tiba-tiba menjalar dari pipi ke sekujur tubuh Roma. “Oh
Deas, kupikir kamu datang telat,” kata Roma terkejut.
Deas mengambil tisu yang ada di atas meja makan dan mengelap tangannya yang
basah oleh hujan. Titik-titik basah di kemejanya menunjukkan kalau Deas sempat
terkena hujan deras. “Kamu gak bawa mobil?,” katanya.
“Uh…mobilku dibawa…,” kalimat Deas menggantung.
Roma langsung merasa tak nyaman.
“Dibawa istrimu,” sambar Roma.
“Eh….iya,” sahut Deas.
“Oke…kita buat ini simpel dan singkat aja deh. Gue enggak mau ketemu ama lo
lagi, gak usah telepon, SMS atau sekedar jemput pulang kerja lagi. Setuju,”
ujarnya tegas. Dia sudah menggunakan lo-gue ke Deas.
“Lho…Ma kamu kok terburu-buru. Aku minta maaf kalau selama ini aku udah
ngeboongin kamu, tapi itu karena…,” ucapan Deas terpotong melihat Roma
mengibas-kibaskan tangannya pertanda tak peduli.
“Udah deh, sekarang lo sebaiknya pergi dari hadapan gue. Gak perlu nongol lagi,”
ketus Roma.
Deas tak menjawab. Dia paham betul karakter keras dari gadis manis di depannya.
Semakin dibantah, Roma akan bersikap semakin dingin dan kaku.
“Baik. Aku akan pergi. Tapi aku harap kamu mau memaafkan aku,” katanya sembari
menjulurkan tangan.
Roma diam.
“Aku pergi, Ma,” kata Deas pamit. Roma bergeming.
“Kita jumpa lagi,” tutur Deas tanpa mengharapkan reaksi Roma.
*****************************
Awan hitam masih menggelayut. Roma diam saja di kafe tersebut. Kali ini dia
menunggu kedatangan Rendra. Dia berencana menyelesaikan masalahnya dengan Rendra
sekeras dan sedingin caranya mengakhiri hubungannya dengan Deas.
Tetapi raut wajah Roma kali ini lebih kaku dan matanya memancar ketidaksabaran.
Berkali-kali dia melihat ke jam tangan Alexandre Christie. Melihat jam tangan
tersebut, Roma baru sadar belum mengembalikan semua barang-barang mahal
pemberian Deas. Dia pun berjanji setelah bertemu Rendra bakal mengepak hadiah
dari politisi muda tersebut.
“Duuh….molor banget sih Rendra ini,” desisnya memberengut.
Telunjuknya mulai diketuk-ketuk di atas meja. Lututnya sudah resah. Tubuh Roma
bergoyang ke kanan kiri meski tak ada musik beat up yang mengajaknya
berjingkrak. Dia kembali melihat jam tangan warna silver tersebut. Matahari
sudah tergelincir jauh ke barat. Roma sudah tak sabar menunggu. “Sudah…ini
artinya hubungan kita telah berakhir,” ujarnya melengos memandang ke arah jalan
raya.
Bersamaan dengan itu, sebuah mobil ambulans terlihat berjalan terburu-buru
dengan lampu warna merah. Semua kendaraan yang ada di depan ambulans dengan
patuh menurunkan kecepatan kendaraannya dan memberi jalan.
Roma tak tertarik melihat lebih lanjut kemana arah ambulans itu berada. Dia
menutup netbooknya, memasukkannya ke soft case dan menyimpan rapi ke tas
kerjanya. Kaki jenjangnya melangkah ke kasir dan membayar tagihannya.
Roma kesal karena dia tak bisa membalas perkataan Rendra tiga tahun lalu:“Sudah
tidak ada waktu untuk mencintaimu lagi.”
Tidak jauh dari mall tersebut, sebuah mobil Yaris merah menabrak tiang jembatan
Semanggi. Seorang pria yang denyutnya sudah berhenti berhasil dievakuasi
paramedis. Petugas lantas mencari identitas pria yang denyutnya sudah berhenti
tersebut: Rendra Subi akto.
TAMAT
Comments