Skip to main content

Stress Sistemik

Sistemik....

Kata ini tiba-tiba saja populer dalam tiga bulan terakhir. Ya apalagi kalau bukan karena Pansus Angket Kasus Bank Century DPR RI yang membahas mengenai dugaan skandal penyelamatan bank yang dimiliki Robert Tantoelar itu.

Kalimat tepatnya adalah bank gagal berdampak sistemik. Secara global artinya adalah kegagalan bank yang bisa berdampak meluas ke sistem perbankan. Bank Century dianggap gagal, karena tidak mampu memenuhi rasio likuiditasnya. Berdampak sistemik, karena kejatuhan dia bisa mengancam sistem perbankan Indonesia yang rawan karena adanya krisis ekonomi global. Maka diselamatkanlah Bank Century itu dengan mengucurkan dana Rp 6,7 triliun. WOW!!!

Yang jadi masalah, proses pengucuran itu diduga bermasalah. Mulai dari perubahan Peraturan Bank Indonesia, Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung kilat serta rapat KSSK yang berlangsung hingga dini hari memang patut mengundang kecurigaan. Belum lagi di dalam internal bank sendiri juga terjadi praktek yang diduga menguntungkan satu pengusaha asal Surabaya, Budi Sampoerna (BS). Tak hanya itu, banyak juga ditemukan rekening-rekening fiktif dalam upaya deposan besar (diatas Rp 2 miliar) untuk mendapatkan jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Untuk diketahui, batasan LPS untuk memberikan jaminan adalah Rp 2 miliar.

Prosesnya? Semua tahu, semua melihat dan semua bisa menilai sendiri apa yang terjadi dalam proses bailout Bank Century tersebut.


Yang jelas, aku disini mengikuti dari awal pansus hingga nyaris usai tugas pansus, jadi bosan. Muak.
Sebal.
Lelah.
Stres.

Dalam guyonan bersama kawan-kawan : "Kita lagi stress sistemik."

Gimana enggak? Dari pagi hingga malam, isu yang dibawa adalah soal pansus melulu. Belum lagi pansus yang secara maraton melakukan pemeriksaan saksi dan berkonsultasi dengan beberapa pihak seperti BPK, KPK dan PPATK. Waktunya pun gila-gilaan. Dari pagi sampai tengah malam, bahkan saat awal-awal dulu sampai dini hari.

Otomatis, banyak jadwal kawan terganggu. Mulai dari hal sepele seperti makan, tidur, hingga mengalami lelah otak dan psikis. Tekanan-tekanan dari kantor itu hal yang biasa, tapi kadang ketika kantor kerap tidak manusiawi dalam memberikan tugas, rasanya pengen teriak juga.

Stres sistemik.

Untungnya...untungnya adalah kita memaklumi bahwa dalam bekerja kadang kita pada titik tertentu menjadi jenuh dan bosan. Tapi selama meliput pansus, rasa bosan ini naik dua kali lipat. Bleeeh.....!!

Mengatasinya? Yaaa.....paling sering-sering kabur dari pansus. Memantau dari press room ampe breaking news televisi berita.

Pansus masih kurang setengah bulan lagi. Semangaad...!!!

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej