Skip to main content

Warna Warni Warna yang Tak Lagi Berwarna

Warna menjadi hal yang sangat indah seperti pelangi. Ciptaan Tuhan ini memiliki tujuh warna yang dikompilasi dan mengesankan kisah romantis dikala hujan usai merintik.

Warna juga seringkali jadi acuan bagi para fashion designer ketika merancang busana terbarunya. Bahkan di dunia mode,warna menjadi sangat penting dan membuat tren dunia.

Warna juga dimaknai sebagai sifat seseorang. Ada pula yang menggunakannya untuk terapi kesehatan karena dianggap memiliki aura tertentu. Bahkan ada pula yang memanfaatkan warna untuk dimaknai jalan asmara seseorang.

Tapi yang paling maknyussss adalah warna kerap kali diklaim menjadi milik golongan tertentu (a.k.a parpol) sebagai miliknya. Salah satu contoh yang paling baru yang saya alami sendiri adalah saat berkenalan dengan seorang caleg di Facebook. Dilihat dari foto profilnya dan pengakuan dari yang bersangkutan, caleg tersebut tampaknya berasal dari PDI Perjuangan.

Tentu saya tidak berkeberatan berkenalan dengan caleg tersebut. (Biasanya) Mereka memiliki pikiran-pikiran baru yang mengguncang kestabilan hidup kita. Sebenarnya masyarakat menyadari itu tapi seringkali mati rasa untuk mempertanyakan kondisi tersebut.

Ngobrol santai dan asyik, tiba-tiba dia mempertanyakan dari mana saya berasal. Awalnya saya menyebut kota Surabaya sebagai tempat tinggal saya. Namun dia menjelaskan bukan itu maksud dari pertanyaan yang diajukannya. Saya paham. Dia bertanya saya caleg PDIP dari dapil berapa??

Ooops...kok bisa dinilai semudah itu?
Secara refleks, saya melihat foto diri saya yang mengenakan baju dan jilbab berwarna merah. Seketika itu juga saya merasa mangkel, jengkel dan merasa sedih dengan penilaian caleg tersebut. Marah karena kenapa pakaian saya diidentikkan dengan parpol tertentu. Apalagi, sebelumnya saya pernah 'digoda' oleh caleg dari partai berwarna lain, sebagai bagian dari PDIP.

Rasa jengkel saya makin menjadi saat saya bekerja dan mengenakan seragam yang berwarna dominan biru. Supaya lebih match, saya kenakan jilbab biru. Oleh seorang caleg dari partai lain, yang bukan PDIP, saya digojlok, ''Orang Demokrat ya mbak?,''. Saya pun menjawab dengan celetukan pula, ''Bukan, PAN,'' kata saya merujuk warna partai ini yang juga berwarna biru.

Saya pun mencoba berpikir. Kenapa orang politik begitu sensitifnya dengan pakaian yang dikenakan seseorang. Toh...warna LEBIH DULU HADIR ketimbang partai politik. Warna LEBIH DULU MUNCUL sebelum filosofi soal demokrasi dicetuskan. Warna juga LEBIH DULU DIKENAL oleh masyarakat bahkan kelompok primitif lewat lukisan-lukisan gua-nya.

Dari pemikiran sederhana, saya melihat klaim caleg-caleg tersebut tidak lepas dari proses identifikasi parpol terhadap masyarakat. Orang terlanjur mengidentikkan merah dengan PDIP, kuning pada Golkar, Biru pada PAN/Demokrat. Juga ada warna putih pada PKS (meski belakangan jadi gak jelas karena ada kuningnya), oranye adalah Partai Hanura, hijau adalah PKB/PPP/PKNU.

Pendapat saya, identifikasi warna partai sangat penting mengingat masyarakat masih belum bisa membeda-bedakan satu parpol dengan parpol lainnya terutama lewat platform yang diberikan. Kebanyakan platform parpol lebih mengedepankan pencapaian kekuasaan memerintah.

Itu kalau partai punya platform jelas. Lah yang platform-nya amburadul? Wah...gak janji deh kalo ada masyarakat yang kenal dan mau peduli. Warna juga dijadikan alat komunikasi pada masyarakat mengenai apa tujuan parpol tersebut secara awam.

PDIP dengan warna merah saya nilai sebagai perwujudan sebuah perjuangan untuk rakyat
PKS dengan warna putih (yang ditambahi kuning) tetap ingin dicitrakan sebagai partai bersih, suci dan belum terkontaminasi oleh politik kotor di Indonesia.
Golkar dengan warna kuningnya, saya melihatnya sebagai sebuah kemakmuran. Alasannya? Kalau padi akan dipanen kan menguning. hehehe

****

Tidak ada yang salah dengan warna-warna parpol tersebut.
Tapi klaim warna sebagai milik parpol tertentu akhirnya bikin saya muntab.
Terlepas dari hanya sekedar guyonan atau komunikasi politik dengan pendukungnya, klaim ini jelas membuat saya jengkel.
Merah dan Biru adalah warna favorit saya.
Tapi itu tidak berhubungan dengan kesukaan saya pada parpol tertentu.
Mengingat saya tidak sedang berafiliasi dengan parpol manapun atau kelompok siapapun.

Kalau semua warna diklaim oleh semua parpol dan saya tetap menolak bergabung dengan partai yang ada, kira-kira saya harus pakai baju warna apa ya?? Ada yang tahu?

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej