Skip to main content

Thirty Nine vs Twenty One-Twenty Five

 Annyeong haseo.... 

Lagi pengen nulis review dua drama korea (drakor) yang lagi booming di awal 2022 ini yaitu Thirty-Nine dan Twenty Five-Twenty One. Kenapa pengen nulis dua drakor itu ketimbang yang lain? Selain karena lagi hits di bulan Maret 2022, kisahnya relate banget ama kehidupan saya. 

First of all, ini opini pribadi yah. Jadi maaf kalo beda dengan rasa yang Anda rasakan. Hihiihhii

1. Thirty Nine

Drakor ini bercerita tentang persahabatan tiga wanita berusia 39 tahun (nah langsung relate kan ama usianya). Kepala klinik kecantikan, Cha Mi-Jo (Son Ye-Jin); guru akting Jeong Chan-young (Jeon-Mi Do); serta Jang Jo-Hee (Kim Ji-Hyun). Secara ringkas, Cha Mi-Jo punya krisis kepercayaan diri karena meski dibesarkan di keluarga kaya dan lulus sebagai dokter kecantikan serta punya klinik sendirid di Gangnam, ternyata dia adalah orang anak yatim. Ibunya mendekam di penjara karena melakukan 7 penipuan. Kondisi itu membuat kisah cinta ikutan rumit karena ayah kekasihnya, Kim Seon-U menentang hubungan mereka.    

Poster Thirthy-Nine (Google)

Jeong Chan-young, seorang guru akting berbakat, menderita kanker pankreas di usianya yang ke-39. Hal ini membuatnya termotivasi untuk mewujudkan mimpi yang ditundanya selama ini. Salah satunya soal berperan di sebuah produksi film, mencarikan jodoh untuk Jeong Chan-young, menemukan ibu kandung Mi-Jo serta membuat TTMnya, Jin-seok bahagia. 

Jang Jo-Hee, di film ini ibarat itdak pernah ada karena konfliknya tidak sebesar Mi-Jo dan Chan-young. Satu-satunya yang membuat peran ini "berarti" adalah ibunya menyimpan rahasia soal keberadaan ibu Mi-Jo.

Nah, penonton yang suka dengan gimmick-gimmick love story khas Korea, jangan nonton drakor ini. Ya Gak ada sama sekali yang bikin kita jadi makserrrr serrr serrr...keinget kisah asmara waktu masih bocil. Hahahahaa... 

Jadi bener-bener ini drakor yang temanya dewasa banget.... dan berasa membosankan karenaaaaa itu kita alami sendiri. And we dont need it show on television. Wakakakaakakak... mohon terima aja karena drakor ini berasa mencerminkan kehidupan perempuan 39 tahun. At least buat saya...     

Masuk episode 10, kesannya drakor ini datar banget. Banyak nangisnya. Konfliknya berasa biasa aja. Dan itu kayak episode saya di usia 39 tahun ini. Konfliknya biasa, hubungan asmara dibilang dingin juga nggak, dibilang panas juga gak. So so gitu, persis yang ditunjukkan Mi-Jo dengan Seon-U. Gak ada flirting berlebihan, ga ada ciuman panas, adegan ranjang atau yang bikin jiwa menggelegak. Wakakakakaka....

Dan entah kenapa, nonton ini selalu sukses bikin saya flashback kehidupan 39 tahun terakhir. Kalau krisis Mi-Jo adalah konflik batin antara ibu kandung dan keluarga angkatnya. Kalau saya, konflik batinnya berantem ama ibu sendiri perihal pengasuhan dan kehidupan pernikahan, yang menutupi kekhawatiran apakah bisa jadi seorang yang tangguh dan kuat melindungi keluarga sendiri, seperti ibu.

Peran Chan-young mengingatkan kita untuk tetap menjaga kesehatan jiwa dan raga. Di usia 39 tahun, jika pada umumnya, kita harus makin memperhatikan kesehatan tubuh kita. Kalau bukan kita, siapa lagi? Jangan sampe kena penyakit berbahaya. Naudzubillah...  

Atau seperti Jo-Hee, yang di usia 39 tahun dengan jabatan manajer penjualan, memutuskan berhenti kerja di departemen yang selama ini mempekerjakan dia. Dengan status jomblo akut, keputusan Jo-Hee terkesan kekanak-kanakkan, tetapi juga membuat pilihan menyehatkan mentalnya. Seperti halnya saya, apakah memutuskan berhenti jadi jurnalis adalah pilihan tepat di usia menjelang 40 tahun. Aaarrggghhh....   

Makanya sering ikutan mewek gegara adegan di drakor ini natural banget. Bikin penontonnya relate banget sama kisah mereka.  

2. Twenty Five-Twenty One 

Drakor ini seperti menampilkan adegan yang bikin gemes penontonnya, termasuk saya. Kisahnya seputar Na Hee-Do (Kim Tae Ri) dan Back Yi-Jin (Nam Joo-Hyuk). Juga ada kisah teman-teman mereka Ko Yu-Rim (Bona), Moon Ji-Wong (Choi Hyun-Wook) dan Ji Seung-wan (Lee Joo Myoung). 

Na Hee-Do adalah seorang siswi SMA yang bercita-cita menjadi atlit anggar di timnas Korea. Dia punya atlit favorit, Ko Yu-rim, karena jadi atlet yang meraih medali emas di usia 17 tahun. 

Back-Ye Jin adalah seorang mahasiswa dari keluarga kaya raya yang terdampak krisis moneter 1998. Keluarganya tercerai-berai setelah sang ayah dituduh menggelapkan dana dan melarikan diri. Dia lalu kerja serabutan mulai loper koran, penjaga toko komik, penjual ikan dan akhirnya menjadi reporter televisi UBS. 

Poster Twenty Five-twenty One (Foto : Google)

Sejauh ini, alurnya adalah transformasi kisah cinta remaja menjadi kisah cinta orang dewasa. Hee-Do yang polos dan Yi-jin yang dewasa, menjadi pasangan yang melengkapi satu sama lain. Yi-jin mencintai Hee-Do apa adanya, sedangkan Hee-do mengidolakan Yi-jin yang selalu melindunginya. 

Drakor ini masuk kategori menarik. Yang pertama tentu adalah perjalanan seorang atlet anggar masuk ke tim nasional sebuah negara. Ini tentu hal yang tidak pernah kita ketahui sebagai orang biasa. Yang bikin saya kesengsem, Kim Tae Ri bisa bertransformasi begitu halus. Di drakor Mr. Sunshine, dia berperan sebagai Go Ae-shin, seorang perempuan tangguh yang berani mendobrak tradisi perempuan adalah kaum lemah. Dengan kemampuannya sebagai sniper, ketangguhan fisiknya, kemampuannya bermain kuda serta kecantikan wajahnya tidak menghalanginya menjadi pejuang kemerdekaan Korea Selatan. Sebuah kisah yang sangat heroik di tengah kisah perempuan yang sering kali jadi korban kekerasan dimana-mana. 

Di drakor ini, Tae-ri jadi anak SMA dengan tingkahnya yang polos, bikin ngakak dan senyum yang nggemesin. Dia secara khusus berlatih dengan atlet anggar untuk mendalami perannya di drakor Twenty Five-Twenty One ini. Saluuuuuttt... totalitas banget. 

Hal menarik kedua tentu ketampanan Back Yi-jin yang diperankan Nam Jo-Hyuk. Ehmm sebenernya sih biasa aja peran dia, cuma relate banget bagi saya. Di drakor ini, dia berperan sebagai reporter yang tugasnya menceritakan fakta. Bahkan meski fakta itu akhirnya menyakiti kekasihnya Hee-do dan teman-temannya yang selalu mendukung Back Yi - jin. 

Peran ini pula yang pernah saya lakoni selama 15 tahun terakhir. Memang tidak sampai seekstrim Back Yi-jin, tetapi saya merasa juga tidak bisa merasa dekat dengan orang-orang yang menurut saya hebat. Karena saya yakin, tiap orang punya plus-minus yang bisa saja merugikan masyarakat. Kalau saya dekat sekali dengan mereka, saya akan merasa segan untuk menulis tentang mereka. 

Omong kosong? Nope. Jaga jarak dengan nara sumber memang jadi aturan wajib seorang reporter, selain Kode Etik Jurnalistik. Ketika tidak bisa menjaga jarak dengan nara sumber, maka berita yang kita tulis jadi bias. 

Emang pernah? Pernaaaah.... ketika suami dosen pembimbing saya, jadi salah satu korban kecelakaan kapal KRI Nanggala 402. Kantor menelepon meminta saya menuliskan kisah itu. Bahkan redaktur senior ikut-ikutan menelpon karena tahu saya berkuliah di kampus yang sama dengan si dosen. Yang tidak dia ketahui, dosen tersebut adalah dosen pembimbing saya. 

Jadi conflict of interest-nya kuat sekali. Saya sungguh-sungguh-sungguh tidak tega untuk menuliskan kisah beliau. Tangis beliau. Tatapan nanarnya. Tubuhnya yang meringkuk. Pikirannya yang melayang entah kemana. 

Jadilah web berita tempat saya bekerja tidak punya berita eksklusif soal peristiwa ini 

Kesimpulan

Kesimpulan buat saya sih, sesuai dengan judulnya drakor ini sama-sama menarik dengan menyasar usia penonton yang berbeda. Soal persepsi drakor ini silakan diartikan masing-masing yaaah... 


*Entah kenapa saya jadi dapat pencerahan setelah membandingkan dua drakor ini : menjelang 40 tahun lebih baik fokus ke bidang lain yang bukan jurnalistik? Masih tanda tanya 😃


Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej