Skip to main content

Menjelang 40 Tahun


Dalam beberapa tahun ke depan, aku akan berusia kepala empat alias 40 tahun. Tapi galaunya udah dimulai dari sekarang. 

Di sejumlah momen, kita tentu menyadari rencana Tuhan lebih baik dari rencana manusia. Sebaik-baiknya rencana manusia, rencana Allah SWT yang terealisasi. Itu sudah kunci hidup. Tinggal kita ikhlas menjalaninya.

Kok masih ada galaunya? Mbuuh...mungkin ini yang disebut manusiawi. 

Entah kenapa, soal usia menjadi pemikiran. Entah kenapa, tiba-tiba takut ketika tidak punya "sangu" banyak. Apalah saya yang bukan lulusan pondok pesantren, baru khatam Alquran di usia segini. Hikss... 

Galau juga apakah cara mendidik anak sudah betul. Masih belum bertanya di level "benarkah cara mendidik anakku?". Aaargghh... Menulis kutipan itu aja udah mendadak insecure

Soal pekerjaan pun kepikiran. Awalnya, jalan menjadi jurnalis adalah pilihan hidup yang akan kujalani sampai tua nanti. Pada kenyataannya, aku memilih untuk menepi. Berhenti. 



Saat profesi yang baru kurasa sudah mulai menetap di hati, banyak yang ngeriwuki. Riuh sekali hidupku selama tiga tahun terakhir. Gugup karena meski udah berumur, statusku masih rookie alias anak bawang di pekerjaan ini. Tapi ekspektasinya sudah sangat tinggi. 

Di tengah kegugupan, ada yang awe-awe sisan, yuk nulis lagi. Liputan lagi. Kuiyakan saja. Karena siapa tahu cita-citaku jadi jurnalis perang bisa terealisasi. Kwkwkw... 

Waktu masih muda, boleh lah kita masih suka ini-itu. Bahkan kata Dahlan Iskan, habiskan kesalahanmu di masa muda. Jadi ketika sudah berumur, udah tahu apa yang kita mau. 

Kata orang, usia 40 kita sudah harus jangkep, netep, teguh dengan pilihan hidup kita. Gak boleh oleng. Gak boleh gonta-ganti lagi. 

Tapi di usia jelang 40, aku masih mau ini-itu. Menimbang-nimbang, apa ya yang harus dipilih. 

Inginnya sih kayak Najwa Shihab, yang jadi jurnalis, ibu, pegiat literasi, pejuang sosial, tokoh masyarakat.

Bisakah?

Mampukah?

Apakah keistimewaan itu cuma dimiliki Najwa Shihab? 

Akhirnya kuputuskan untuk kujalani saja. Salah benar, biar urusan Maha Kuasa. Semoga diri ini diberi kesehatan dan panjang umur serta rejeki lancar. Doa yang sama kupanjatkan untuk sampeyan yang baca tulisan ini. 

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej