Skip to main content

Apalah arti sebuah nama?

"What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi)

Itu sepenggal gombalan William Shakespeare, yang masih membahana hingga saat ini. Apalagi buat yang tengah mabuk kepayang.

Namun, saya menemukan banyak kejadian jika ternyata nama itu sangat penting. Tidak hanya dalam kepentingan pergaulan, tetapi juga dalam hal menentukan "kesan pertama".

Seperti nama Felix Liauw, yang sepertinya tak henti mendapatkan bully dan caci maki dari para hatersnya. Tidak cuma mencerca isi dakwahnya, nama dan etnisnya pun tidak lupa dibawa-bawa untuk jadi bahan olok-olok.

Masih ingat dengan Mie Bikini? Snack karya anak bangsa ini dihina sebagai bentuk penyebaran konten pornografi. Heloooowwwww??????!!!!?

Snack produksi Darmawanti Oktavia alias Tiwi dari Bandung ini dipaksa ditarik dari peredaran. BPOM Bandung pun memusnahkan seluruh produksinya. Tiwi pun terpaksa meminta maaf atas inovasinya yang dianggap kebablasan.

Produksi anak muda dilibas hanya karena nama.

Hal yang berkaitan dengan nama dan viral tentu saja terkait pemberian nama orang tua kepada anaknya. Kita ingat ada seorang pria di Banyuwangi bernama "Tuhan", ada juga seorang polisi bernama "Andy Go To School" serta seorang bayi yang diberi nama "Pajero Sport".

Dan ramailah aneka tanggapan yang dilempar di media sosial. Kebanyakan menertawakan meski diembel-embeli kreativitas.


Yang terakhir saya alami sendiri ketika saya menyimpan sejumlah foto berisi kalimat motivasi dan diakhiri dengan tagar #mendemciu. Untuk diketahui, ciu merupakan salah satu jenis minuman keras yang dikenal di Jawa.

Meski menegur dengan cara yang sangaaaattt halus, saya paham maksudnya. Karena dia lebih fokus dengan tagar tersebut ketimbang kalimat yang ada. Kenapa tak saya buang tagarnya? Karena itu bagian dari kreasi si penulis, apa hak kita untuk memotongnya?

Saya pun menjelaskan itu nama seorang penulis di Facebook. Bukan cerita pendek, mungkin lebih tepatnya cerita singkat. Kisahnya dengan kekasih-kekasihnya sembari ditemani kopi. Ringan namun makjleb...seakan semua orang mengalami kisah yang dituliskannya.

Silakan saja di-googling.

Kenapa si penulis membuat tagar #mendemciu? Silakan tanya sendiri sampai puas. 

Ada nama yang kecina-cinaan, kita pukul rata sebagai pencaplok ekonomi rakyat
Pun ada nama yang kearab-araban juga kita menjadi mudah antipati dan menyebutnya bukan bagian dari diri Indonesia.
 
Begitu sensitifnya kita atas sebuah nama...yang sebenarnya disebabkan atas praduga-praduga kita atas hal yang tidak diketahui. Hal-hal baru yang tak pernah kita jamah (atau tak mau kita jamah).
 
Dan atas ketidaktahuannya itu, kok berani-beraninya kita memberi penilaian, tuduhan pada nama-nama tersebut dengan berbagai pasal. Daaaan menyebarkannya secara sembrono di media sosial.

Situ sehat?

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej