Skip to main content

pa..pa...pa....pa...pa...

Alhamdulillaaaah....

Itu kata saya ucapin ketika Ayun bisa mengucapkan kata pa pa pa pa pa

Kerasa lebay sih...anak kecil memang harus bisa melafalkan kata-kata itu. Ketika usianya antara 9-11 bulan. Tapi Ayun baru melafalkan dengan jelas di usianya menginjak 18 bulan.

Yap. Memang Ayun sudah divonis telat bicara oleh dokter spesialis di RS Graha Amerta Dr. Soetomo.

Sedih...iya. Apalagi si dokter itu menekan saya sebagai ibunya, bahwa saya tak berusaha lebih keras. Bahwa meski tahu ibunya juga telat bicara - yang katanya bisa diturunkan ke anaknya - tak responsif segera mencegah berulangnya telat bicara yang saya alami.

Duuuh duuh duuuh...aku sakiiiiit sakiiiitt. Rasanya ingin meraung-raung.

MANA AKU TAU KALAU TELAT BICARA ITU GENETIK?

Dan itu semua salahku?? Aaaaargghh rasanya ingin ku menjerit. Tapi aku redam. Waktu itu Ayun sangat gembira. Ia berlari kesana kemari di koridor rumah sakit.

Dia juga salim dengan seorang dokter yang lewat kala itu. Selama diobservasi oleh bu dokter Mira yang cantik dan tegas itu, Ayun tak menangis. Dia keliling ruangan praktek dokter itu yang lumayan luas.

Duh air mata rasanya pengen meleleh. Aku tahan-tahan.

Di-ultimatum : Dua bulan harus bisa ada kata yang jelas yang dikeluarkan dari mulut Ayun.

Dan Alhamdulillah...

Ayun sebenarnya sudah paham jika diajak bicara dengan orang-orang sekitarnya. Dia hanya enggan untuk berbicara kata/kalimat jelas. Biasanya dia hanya menunjuk-nunjukkan tangan ketika dia menginginkan sesuatu,menggelengkan kepala atau diam saja jika setuju.

Fiuhhh...rasanya plong.

Alhamdulillahnya lagi, si adik sepupu Arum bisa ikut membantu. Sebagai bayi yang baru berusia 10 bulan, Arum sudah ngoceh sana-sini dan merambat kemana-mana. Hahahaha...ya memang tiap anak berbeda kemampuannya. Dan saya tak niat untuk menggunggulkan salah satunya.

Kalau suruh mengunggulkan ya tetap unggul Ayun. Kekekekekkekek....

Comments

Popular posts from this blog

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran ...

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,...

Uang Tunai Hilang, Onde-onde Melayang

Kehidupan manusia di era digital sangat dimanjakan. Ada smartphone, smarthome, sampe udah ada konsep smartcity. Begitu juga kehidupan sehari-hari banyak teknologi memudahkan manusia. Salah satunya uang digital.  Saat ini, saya termasuk pengguna aktif uang digital. Kemana-mana ga pernah bawa uang cash banyak... Secukupnya aja. Biasanya Rp50 ribu. Paling banyak Rp100 ribu. Buat beli bensin atau sekedar jaga-jaga ban bocor/kempes. Kalo ga ada insiden di atas, bisa berhari-hari ngendon di dompet. Kartu debet aneka bank.  Ada kartu vaksin juga. Wkwkkw Lah gimana enggak? Belanja di minimarket, gesek kartu debet. Lewat tol, pake e-money. Beli pulsa, bayar tagihan, BPJS, langganan internet, tinggal tutul-tutul aplikasi keuangan di hape. Belanja makanan tinggal scan barcode hape. Hmm apalagi yah... Banyak deh.  Uang digital emang membantu banget sih buat saya. Karena ga harus bawa uang yang banyak. Otomatis di dompet cuma berisi KTP, SIM, STNK, dan kartu ATM. Wkwkkwkw... Gak enakn...