Skip to main content

Aja nggumunan, aja kagetan, aja dumeh

Aku tak tahu

Entah kekuatan apa yang ada dalam diri anakku ini. Mungkin dia punya sihir, atau kemampuan indera keenam yang tak pernah kuketahui.

Tentu saja itu hanya kekonyolan, kataku.

Itu yang disebut dengan buah hati, yang dengan segala tingkah lugunya akan membuat kita tersenyum dan tertawa. Dan walaupun dia kerap melakukan hal yang membuat kita kesal atau marah atau tersinggung, tak membuat kita memalingkan wajah darinya.

Sepertinya begitu. Setidaknya bagi ibuku saat menghadapi sosokku. Perempuan itu sebenarnya sudah 60 tahun namun uban hanya satu-dua terlihat berkilat di sela rambutnya yang tipis. Satu-satunya penanda bahwa dia sudah sepuh adalah penyakit encoknya, yang kali ini mendadak kambuh saat menggendong cucunya ini.

Tentu saja aku bukannya tak tahu untung. Seorang asisten sudah kusewa untuk menjaga anakku yang tengah lucu-lucunya itu. Namun pipinya yang gembil itu membuat ibuku tak berpaling untuk memanjakannya, seperti ibuku memanjakanku.

Begitulah seorang ibu. Nalurinya bahkan hingga ke cucu dan cicitnya.

Dan sepertinya aku tertular ibuku yang dengan senang hati menjawab, "Itulah anugerah Tuhan untukmu. Kau harus pandai bersyukur."

Nadanya judes. Menekan. Mengaturku.

Tapi aku tahu bahwa kalimat perempuan yang melahirkanku 27 tahun yang lalu itu benar.

Aku harus bersyukur di tengah kawan yang terus merajut harapan anugerah Tuhan itu. Manusia-manusia egois itu - yang merasa berhak merebut hak Tuhan dalam memberi anugerah itu - lantas menuding-nuding perempuan tak beranak sebagai perempuan mandul, perempuan sial, tak cerdas dalam memberikan keturunan.

Ya ya ya...aku pernah merasakan momen itu meski durasinya hanya dua tahun saja Konyolnya, salah satu manusia egois itu adalah sahabatku sejak SMA. Ah Rustriningsih. Dia sudah kucoret dari kehidupanku.

Ibuku menanggapi dingin tapi serius, "Jangan kau ambil hati sikap mereka. Mereka hanya lupa kalau momongan itu adalah rahasia Tuhan."

Aku membisu. Sudah kuputuskan. Bulat dan yakin. Tak pernah aku menarik keputusan dalam hidupku.

Begitulah manusia. Ketika ia mengira sudah menguasai hidupnya, kehidupan mempermainkan hatinya lagi.

Kali ini dengan sepupu dari ayahku. Perempuan itu cantik, modis, lulusan kampus ternama negeri ini dan melanjutkan kuliah di Hongkong. Dia secerdas ibunya yang dokter spesialis anak, dan sereligius ayahnya.

Lulus kuliah hanya sebentar saja dia berkantor di sebuah perusahaan kontraktor. PMA. Gajinya tak pernah terbayangkan untukku yang cuma karyawati perusahaan percetakan kecil. Di belakang angka 1, ia mendapatkan nol yang berderet-deret yang membuatku terheran-heran.

Nggumun, kata orang Jawa.

Dan ketika ia memutuskan menikah dengan lelaki yang ditemuinya lewat proses ta'aruf dan hamil, ia memilih tidak bekerja. Aku, yang sok tahu dan sok ikut campur, mempertanyakan keputusannya.

Saat itu anakku masih satu tahun. Dan sepupuku, yang bahkan belum melahirkan, sudah panjang kali lebar menjabarkan dalil kepadaku. Sialan, tentu saja aku kalah berdebat dengannya, batinku.

Dan ia bahkan menemaniku sebuah komunitas yang bahkan tak pernah terlintas di otakku maupun benakku. Sebuah komunitas suci, oooh sinis sekali ku menyebutnya, berisi ibu-ibu berkerudung panjang namun tetap bergaya.

Mereka bercuap-cuap mengenai pentingnya mendidik anak oleh ibu. Aku hanya mengangguk-angguk sembari iri pada tas yang mereka pegang. Meski KW sekian, harganya bisa Rp25 juta per item.

Aku lempar alasan itu pada sepupuku sepulang dari pertemuan itu. Tentu saja suami-suami mereka bergaji puluhan juta bisa memilih tak bekerja. Sedangkan aku, suamiku sudah pergi pagi pulang pagi, hasilnya pas-pasan kalau aku tak bekerja. Kataku mengungkap curahan hatiku.

"Kamu harus percaya rezeki dari Tuhan. Pasti cukup bila kau ada di rumah sementara suamimu bekerja," dalilmu menelan dalilku.

Sejak itu, aku memilih tak berbicara dengan sepupuku dengan alasan sibuk bekerja. Berkali-kali menelepon mengajakku belajar agama, yang aku jawab dengan sinis dalam hati. Tak lama, dering darinya tak terdengar lagi.

Aku, perempuan keras ini tak terima. Dengan intelektualitas sekelas kampus Hong Kong, seharusnya dia tahu bahwa kehidupan tiap orang berbeda. Dia sungguh naif.

Ibuku menanggapi keluh kesahku yang lebih mirip celotehan gak jelas, dengan bijak.

"Ojok nggumunan.Ojok kagetan. Ojok dumeh."

Aku nggerundel tiap kali ibuku mengeluarkan falsafah hidup orang Jawa tersebut.

Toh begitu, aku tetap merasa kaget dan nggumun saat anakku yang terlelap tidur tersenyum usai kucium pipinya. Ajaib.

Surabaya, 24 November 2015
Mengenang nasehat seorang panutan, Mulyadi Adhisupho wartawan KR yang wafat Selasa (23/11/2015) pukul 23.00 WIB.



Sugeng tindak, Pak!

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej