Media sosial (medsos) semakin dilirik untuk dijadikan ‘alat kampanye’ bagi tokoh, politisi, atau parpol yang ingin memenangkan pemilihan kepala daerah/pemilihan legislatif. Termasuk juga organisasi sosial atau korporasi yang sedang mengkampanyekan programnya.
Dan pada akhirnya, ‘main’ di medsos hari-hari ini udah gak asyik lagi. Apalagi kalo bukan gara-gara perhelatan pemilihan presiden tahun ini. Menampilkan dua jago yaitu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dengan sabuk biru melawan Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan sabuk merah. Jreng-jreng-jreng...
Ruweeettt benerrrr yeee kalo baca status-status medsos, terutama di fesbuk maupun twitter – sayah punya akun di dua medsos ini. Pendukungnya saling menghujat dan menghujam serta mengumbar kata-kata cacian dan makin begitu lancar dan tanpa polisi tidur. Blung-blung-blung….nyeplos aja seenaknya mengumbar aib. Biasanya di awalnya ada tulisan, “Gw cuma sharing aja, sisanya silakan nilai sendiri.”
Kalau ditegur, marah-marah dan ujung-ujungnya ngomen, “Kalo gak suka gak usah baca status saya. Gitu aja kok repot.”
Gedubrak!!!
Kalau masih belum paham dengan berita, pendapat, atau peristiwa yang belum dipahami lebih baik gak usah di-share. Seharusnya kita berpikir dulu sebelum membagikan pada teman-teman kita di media sosial. Kalau emang gak terlalu paham, lebih baik diam saja. Gak usah komentar. Dan jaaaauuuhhh lebih baik, ketimbang menimbulkan pertengkaran antar teman/sahabat, lebih baik tidak usah dibagikan di media sosial.
Kalau memang ingin berbagi pendapat yang kontroversial atau bahkan bersifat fasis, baiknya kita menahan diri. Katakan saja itu untuk diri sendiri, lalu setelah itu carilah perbandingan dengan yang terjadi di masyarakat saat ini. Kalau perlu, carilah literatur-literatur untuk mendukung sikap Anda dan kalau perlu berdiskusi dengan tokoh yang kompeten. Setelah itu, baru Anda bisa mengambil sikap bijaksana (selfnote juga sih buat sayah).
Sayah jadi ingat perkataan bijak ibu saya, “Jangan ngomong sembarangan ke orang-orang, nanti ada yang tersinggung.”
Sayangnya, di era kebebasan kali ini memang sulit sekali untuk meminta orang mengontrol dirinya ketika berbicara/menyuarakan pendapatnya. Dan lebih disayangkan, masih banyak orang yang enggan untuk berdiskusi secara sehat. Perbedaan pendapat atau berdebat tidak harus disikapi secara emosi melainkan jadi kawan untuk bertukar pikiran.
Tentu berbeda ketika sepuluh tahun lalu, sosial media mulai dikenal di Indonesia meski belum seperti ini. Seingat sayah, waktu itu smartphone masih belum banyak kecuali Iphone yang emang sedari dulu harganya amit-amit harganya ampe gak bisa beli…wkwkkw
Di tahun pemilu 2009 lalu, belum ada akun-akun bayaran untuk mendukung calon tertentu. Yang ada, gerakan-gerakan sosial yang muncul usai ramai dibicarakan di media sosial. Wakil Ketua DPR RI 2009-2014 asal PDIP Pramono Anung menulis dalam bukunya “Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi” kala itu media kampanye masih konvensional yaitu spanduk, brosur, kaos, bendera, stiker dan media massa. Selain itu, juga menggunakan kegiatan tradisional di lokasi tertentu seperti wayangan, maupun kompetisi olahraga.
Sayah ingat, punya akun Friendster (aiih…zaman batu banget) dan MySpace untuk sekedar kepengen eksis di dunia maya. Itu pun baru bisa update errr…maksudnya nulis-nulis ide kalo pas di kantor daaaan dapat bagian komputer yang punya akses internet. Jumlahnya gak seberapa, itupun komputer untuk redaktur.
Tetapi dengan perkembangan yang ada, politisi mulai banyak yang ngeh dengan pemanfaatan media sosial. Dengan lingkup yang tanpa batas hingga ke ujung dunia, media sosial akhirnya menjadi salah satu cara untuk menggaet pemilih. Daaaan…orang-orang awam yang bergerak di media sosial pun beramai-ramai menjadi pengamat politik. Mulai dari pendapat ecek-ecek sampai kelas pengamat wahid Indonesia, yang keluar dari mulut orang berpendidikan rendah hingga bergelar PhD.
Mereka tuang semua ide-ide mereka mulai dari mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Path yang booming plus sosmed lain yang juga bermunculan. Plus status di blackberry messenger, kakao talk, whatsapp, LINE dan lain-lain-lain. Semua opini politik dijebretkan begitu saja di smartphone mulai dari harga 800 ribu hingga yang harganya jutaan.
Duuuuuhhh…kenapa ane ngerasa jadi rempong yeeeee.
Buat sayah, medsos itu bermanfaat untuk menjalin persahabatan dan memperluas jaringan. Kita juga bisa mempererat pertemanan yang udah ada saat ini, terutama yang lokasinya berjauhan. Kita bisa tau, dia lagi ngapain sekarang dan dia mikir apaan sih?
Anda lagi mikir apa? Hehehhehe….
Dan pada akhirnya, ‘main’ di medsos hari-hari ini udah gak asyik lagi. Apalagi kalo bukan gara-gara perhelatan pemilihan presiden tahun ini. Menampilkan dua jago yaitu Prabowo Subianto – Hatta Rajasa dengan sabuk biru melawan Joko Widodo – Jusuf Kalla dengan sabuk merah. Jreng-jreng-jreng...
Ruweeettt benerrrr yeee kalo baca status-status medsos, terutama di fesbuk maupun twitter – sayah punya akun di dua medsos ini. Pendukungnya saling menghujat dan menghujam serta mengumbar kata-kata cacian dan makin begitu lancar dan tanpa polisi tidur. Blung-blung-blung….nyeplos aja seenaknya mengumbar aib. Biasanya di awalnya ada tulisan, “Gw cuma sharing aja, sisanya silakan nilai sendiri.”
Kalau ditegur, marah-marah dan ujung-ujungnya ngomen, “Kalo gak suka gak usah baca status saya. Gitu aja kok repot.”
Gedubrak!!!
Kalau masih belum paham dengan berita, pendapat, atau peristiwa yang belum dipahami lebih baik gak usah di-share. Seharusnya kita berpikir dulu sebelum membagikan pada teman-teman kita di media sosial. Kalau emang gak terlalu paham, lebih baik diam saja. Gak usah komentar. Dan jaaaauuuhhh lebih baik, ketimbang menimbulkan pertengkaran antar teman/sahabat, lebih baik tidak usah dibagikan di media sosial.
Kalau memang ingin berbagi pendapat yang kontroversial atau bahkan bersifat fasis, baiknya kita menahan diri. Katakan saja itu untuk diri sendiri, lalu setelah itu carilah perbandingan dengan yang terjadi di masyarakat saat ini. Kalau perlu, carilah literatur-literatur untuk mendukung sikap Anda dan kalau perlu berdiskusi dengan tokoh yang kompeten. Setelah itu, baru Anda bisa mengambil sikap bijaksana (selfnote juga sih buat sayah).
Sayah jadi ingat perkataan bijak ibu saya, “Jangan ngomong sembarangan ke orang-orang, nanti ada yang tersinggung.”
Sayangnya, di era kebebasan kali ini memang sulit sekali untuk meminta orang mengontrol dirinya ketika berbicara/menyuarakan pendapatnya. Dan lebih disayangkan, masih banyak orang yang enggan untuk berdiskusi secara sehat. Perbedaan pendapat atau berdebat tidak harus disikapi secara emosi melainkan jadi kawan untuk bertukar pikiran.
Tentu berbeda ketika sepuluh tahun lalu, sosial media mulai dikenal di Indonesia meski belum seperti ini. Seingat sayah, waktu itu smartphone masih belum banyak kecuali Iphone yang emang sedari dulu harganya amit-amit harganya ampe gak bisa beli…wkwkkw
Di tahun pemilu 2009 lalu, belum ada akun-akun bayaran untuk mendukung calon tertentu. Yang ada, gerakan-gerakan sosial yang muncul usai ramai dibicarakan di media sosial. Wakil Ketua DPR RI 2009-2014 asal PDIP Pramono Anung menulis dalam bukunya “Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi” kala itu media kampanye masih konvensional yaitu spanduk, brosur, kaos, bendera, stiker dan media massa. Selain itu, juga menggunakan kegiatan tradisional di lokasi tertentu seperti wayangan, maupun kompetisi olahraga.
Sayah ingat, punya akun Friendster (aiih…zaman batu banget) dan MySpace untuk sekedar kepengen eksis di dunia maya. Itu pun baru bisa update errr…maksudnya nulis-nulis ide kalo pas di kantor daaaan dapat bagian komputer yang punya akses internet. Jumlahnya gak seberapa, itupun komputer untuk redaktur.
Tetapi dengan perkembangan yang ada, politisi mulai banyak yang ngeh dengan pemanfaatan media sosial. Dengan lingkup yang tanpa batas hingga ke ujung dunia, media sosial akhirnya menjadi salah satu cara untuk menggaet pemilih. Daaaan…orang-orang awam yang bergerak di media sosial pun beramai-ramai menjadi pengamat politik. Mulai dari pendapat ecek-ecek sampai kelas pengamat wahid Indonesia, yang keluar dari mulut orang berpendidikan rendah hingga bergelar PhD.
Mereka tuang semua ide-ide mereka mulai dari mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Path yang booming plus sosmed lain yang juga bermunculan. Plus status di blackberry messenger, kakao talk, whatsapp, LINE dan lain-lain-lain. Semua opini politik dijebretkan begitu saja di smartphone mulai dari harga 800 ribu hingga yang harganya jutaan.
Duuuuuhhh…kenapa ane ngerasa jadi rempong yeeeee.
Buat sayah, medsos itu bermanfaat untuk menjalin persahabatan dan memperluas jaringan. Kita juga bisa mempererat pertemanan yang udah ada saat ini, terutama yang lokasinya berjauhan. Kita bisa tau, dia lagi ngapain sekarang dan dia mikir apaan sih?
Anda lagi mikir apa? Hehehhehe….
Comments