Tidak ada air mata yang menetes.
Atau nafas yang begitu menggelegak.
Ekspresinya peres.
Hanya saja, matanya memang tidak bisa berbohong kalau hatinya tengah berontak.
Tetap saja, dia berusaha tenang dan ceria seperti yang kukenal.
Yakinlah itu bohong. Kami bersahabat sejak lama.
Dan sejak lama aku iri dengannya.
"Aku ingin keliling ke kota-kota di Indonesia. Aku akan menikmati tiap sudut kota. Untuk makan, aku akan bekerja," ujarnya saat masih duduk di bangku kuliah.
"Ngawur kamu. Mana ada pekerjaan semacam itu?" sanggahku.
"Ada...gak usah takut. Kita hidup sekali, harus senang-senang. Bekerja itu cuma sambilan," katanya enteng.
Aku hanya menatap wajah optimisnya saat itu. Entah keirian yang ke berapa kali hinggap di hatiku saat itu.
Malini memang serba beruntung. Apa yang diinginkan dia pasti terwujud. Orang tuanya termasuk golongan berada. Meski tak kaya raya, dia selalu dimanja dengan berbagai keinginan yang sudah terpenuhi. Dan dia cantik dengan tubuh sempurna.
Saat dia ingin menjelajah negeri ini, sebuah acara televisi menggandengnya menjadi host. Maka berkelilinglah dia ke Indonesia. Mimpinya terwujud.
Saat dia memutuskan untuk berhenti berkeliling Indonesia, itu pun tak membuat dia merana. Seorang pria tampan meminangnya di saat yang tepat. Kenapa aku bilang begitu? Banyak yang menaksir kawanku itu.
"Belum saatnya," katamu seolah sambil lalu.
Dan ketika kutanya apa alasan dia menerima pinangan itu, jawabannya pun klise dan membuatku sebal. "Ya sudah waktunya menikah," katamu tersenyum simpul.
Ah bisa-bisanya kamu membuat alasan seperti itu. Terang saja kamu menerima lelaki itu. Anak seorang sekretaris direksi perusahaan ternama. Kalau kencan pun bawa mobil mahal.
Ah iri memang tanda tak mampu.
Dan senyum sinis pun sempat terlukis di wajahku ketika dia datang ke rumah. Bercerita nasib mirisnya. Suaminya berselingkuh dan menghamili perempuan lain. Dia dicampakkan.
"Ya Tuhan.....," ucapku lirih atas sikap picikku.
Kawanku bersusah hati, aku bahagia. Sahabat macam apa?
Kesadaranku muncul lagi. Lamat-lamat ceritanya mulai terdengar jelas.
Nadanya bergetar.
"Perempuan itu hamil. Anak laki-laki, seperti yang diidamkan masku," tuturnya.
"Harusnya masku menunggu sabar sebentar. Aku bukannya nggak mau hamil lagi, tapi memang kan Tuhan belum memberi. Andai aku bisa mencetak kehamilan sendiri, tentu aku lakukan termasuk jenis kelamin," Malini mulai meracau.
"Masku pergi karena aku nggak bisa ngasih anak laki-laki. Dia pergi begitu saja dengan fuc***g idiot itu," nadanya mulai mendendam.
Seorang anak perempuan berhidung mancung dan mata bulat di sebelahnya tampak merasakan kemarahan perempuan itu. Dia, yang sedari tadi bertingkah menggemaskan layaknya anak empat tahun, mendadak diam.Matanya ingin bertutur, tapi mulutnya mengunci begitu rapatnya. Dia pun cuma duduk disamping ibu yang telah membesarkannya.
Urmila namanya. Dalam bahasa Sansekerta, nama itu berarti wanita yang sangat memikat. Ibunya juga bernama Sansekerta yang berarti wewangian. Namanya memang seharum figurnya yang cukup dikenal luas.
Dan kini, keduanya ngenes. Meski tetap modis, mata Malini tidak berbohong dia tengah gulana.
Aku ngilu melihatnya.
"Sabarlah Mal....sabar. Sekarang kamu mau kemana dengan Urmila?" tanyaku.
"Entahlah Shezan.....aku belum tahu. Tapi aku sudah yakin mengajukan cerai padanya. Lelaki itu parasit, hanya mampu hidup menumpang padaku. Anak orang kaya tapi gak becus cari uang," ucapnya lirih tapi menusuk. Tangannya mengelus-elus putri semata wayangnya.
Otakku berpikir cepat. Tidak mungkin kalau Malini kusuruh tidur di rumahku. Aku sedang bermasalah dengan suami.....
*deg*
Mendadak aku merasa ngeri.
Aku rawan mengalami apa yang dialami Malini sekarang.
Banyak teror yang sedang menghiasi hari-hari aku sekarang.
Teror yang berawal dari akun Facebook suamiku. Sebuah perselingkuhan terkuak lewat pesan yang dikirim dari laman jejaring sosial tersebut. Hatinku kecut. Ini adalah perselingkuhan yang kesekian kalinya dalam tujuh tahun pernikahannya.
Aku meraba-raba ingatannya apakah ini perempuan yang sama yang berselingkuh dengan suamiku setahun lalu. Saat mencoba menegur tiga bulan lalu, suamiku uring-uringan. Tidak hanya marah besar, dia membanting rice cooker tepat dihadapanku. Dadaku naik turun, tubuhku bergetar di pojokan sudut tempat tidur kami. Kami sudah tidak mesra sejak peristiwa itu.Upayaku untuk menyadarkan suami dan kembali ke keluarga selalu gagal. Ujung-ujungnya, Azka selalu membanting barang-barang yang ada di dekatnya. “Apa salahku,” kataku meratapi peristiwa pahit itu.
“Uhuk…” suara Malini berdehem. Aku tersentak mendengarnya.
“Ada apa Shey…tampangmu kok sedih gitu,” tanya Malini. Lamunanku tampaknya diperhatikannya.
“Ngga papa Mal….aku cuma masih belum tahu apa solusi yang bisa kukasih ke kamu. Untuk menginap di rumahku, tampaknya kurang nyaman. Kamu tahu kan kalau anak-anakku masih kecil dan suka berisik. Pasti mengganggu kamu yang ingin ketenangan dan berpikir jernih,” ucapku.
Aku tiba-tiba begitu pintar mengarang alasan menutupi masalahku.
“Iya iya…gak usah khawatir Shey. Aku mau menemui orangtuaku di Lembang. Setelah itu mau kemana, aku belum tahu. Makanya aku mau pamitan ke kamu,” kata Malini.
“Halaahh…mau ke Lembang aja pake pamitan. Kayak mau pergi kemana aja Mal,” kataku tertawa kecil.
Sore berlalu sembari ditemani gerimis dan kopi.
****
Sepulangnya Malini, aku bertekad untuk menuntaskan masalahku dengan suamiku, Azka.
Beban itu sudah terlalu berat kutanggung. Menyaksikan berulangkali foto-foto mesra Azka dengan perempuan lain lewat surat kaleng yang terus-menerus dikirim ke rumah. Pernah suatu ketika ada yang mengusulkan agar pindah rumah saja. Jadi, perempuan penggoda akan kehilangan jejak Azka, si pria yang mudah tergoda.
Usulan itu hanya kusambut tertawa. Aku tahu, itu usulan banyolan saja.
Tapi perselingkuhannya kali ini sudah bukan banyolan lagi. Pikiran bercerai sudah menggelayuti sejak lama. Sebagai perempuan, hatiku sudah tidak berbentuk lagi. Dua anakku tidak bisa jadi alasan untuk tetap bertahan. Shezan tidak tahan pengkhianatan, apalagi harus hidup bersama hanya untuk terus dikhianati.
Kehadiran Malini ke rumahnya menambah tekadku untuk bercerai.
Aku sudah tidak tahan disakiti. Esoknya, aku mempersiapkan diri menghadapi peristiwa terbesar dalam hidupku. Pertama-tama, kulepaskan cincin nikah dari jemariku dan kusimpan ke dalam kotak yang jadi penanda aku dilamar Azka tujuh tahun lalu. Kuletakkan di tengah-tengah tempat tidur. Dia pasti paham.
Langkah kedua, aku mengemasi barang-barang pribadiku. Juga barang milik anak-anakku. Sebisa mungkin aku tidak membawa barang banyak karena tidak ingin tetangga ikutan rebut. Setelah itu, semua barang tersebut kukemasi dalam mobil.
Mobil itu aku bawa karena aku beli dengan dana pribadi, hasil jerih payah berjualan barang di internet atau online shop. Dulu sebenarnya aku adalah wanita karier, tapi demi keluarga aku rela melepas hal tersebut dan berganti berbisnis online shop. Keluarga tetap harmonis, anak-anak terpantau dan aku tetap menghasilkan. Setelah tujuh tahun, hasil yang kuidamkan ternyata tidak tercapai. Apa nyana, Azka malah asik bermesraan dengan perempuan lain.
“Kampretttt… ,” semburku pada hampa.
Selanjutnya, aku membereskan kamar dan menyelesaikan menata baju-baju Azka di lemari. Aku juga memasak makanan kesukaan Azka, sop ayam dengan sambal kecap. Kubuka dompetku untuk memastikan bahwa aku membawa uang memadai. Kupantau saldo rekening bank-ku lewat internet banking. “Cukuplah untuk hidup setahun,” gumamku.
Tanpa menunggu Azka pulang, aku pergi.
Aku tahu konsekuensinya. Meninggalkan rumah berarti mendapatkan talak. Tidak apa-apa. Bagiku itu hadiah setelah tujuh tahun merana. Kuedarkan wajahku ke rumah yang selalu kurawat dengan penuh cinta dan kasih sayang. Kududuk di sebuah sofa yang biasa diduduki Azka bila membaca koran.
Aku tersenyum.
Kupandangi foto pernikahan kami tujuh tahun lalu yang menempel di ruang tersebut. Aku ingat, kami terpaksa ngeyel dan akhirnya memelas pada sepasang kekasih yang ingin membeli cincin nikah yang kupakai. Salah kami, waktu itu tak pasti membeli dan memilih melihat-lihat ke toko perhiasan yang lain. Akibatnya, ada sepasang yang tengah memegang cincin itu. Untung, setelah kami memohon dan merayu, pasangan itu akhirnya menyerahkan cincin yang juga belum tentu mereka pakai.
Aku tersenyum.
Sama seperti Malina, tidak ada air mata yang menetes dari pipiku siang itu.
Aku tersenyum karena bahagia. Keputusan ini memang menyakitkan. Tapi aku tahu, kami tidak akan saling menyakiti satu sama lain lagi. Selamat tinggal Azka. I love you.
Kali ini, gerimis kedua kembali menyapaku saat mobil kupacu pergi dari rumah.
Comments